![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/view.png)
![HTI Pasca-Pembubaran: Strategi Baru, Ancaman Lama](https://jakarta365.net/uploads/2025/02/10/kompas/hti-pasca-pembubaran-strategi-baru-ancaman-lama-1187425.jpg)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/clock-d.png)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/calendar-d.png)
HTI Pasca-Pembubaran: Strategi Baru, Ancaman Lama
PADA awal Februari 2025, eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kembali menggelar aksi besar-besaran di 22 kota di 21 provinsi dengan mengusung isu solidaritas Palestina.
Aksi ini bukan hanya bentuk kepedulian terhadap konflik Timur Tengah, tetapi juga bagian dari strategi HTI untuk menjaga eksistensinya di Indonesia pascapembubarannya pada 2017.
Di tengah derasnya arus informasi digital, HTI beradaptasi dengan membangun jejaring virtual sebagai sarana mobilisasi massa.
Meskipun organisasi ini telah dibubarkan secara hukum, ideologi yang mereka usung masih berusaha mencari ruang di tengah publik.
Mereka tidak lagi mengandalkan struktur organisasi formal, melainkan memanfaatkan media sosial, kanal kajian daring, dan diskusi tertutup di komunitas-komunitas strategis.
Ketika kanal-kanal resmi mereka diblokir, HTI tidak berhenti. Sebaliknya, mereka menggunakan strategi desentralisasi untuk menyebarluaskan ajaran mereka melalui berbagai platform digital.
Forum-forum diskusi daring, kanal YouTube, hingga grup WhatsApp menjadi ruang baru bagi mereka untuk merawat jaringan simpatisan.
Kelompok dengan ideologi transnasional seperti HTI sangat lihai dalam melakukan infiltrasi di lingkungan akademik, termasuk kampus-kampus.
Sebagaimana dicontohkan dalam buku Nizham al-Islam karya Taqiyuddin al-Nabhani, HTI selalu menanamkan bahwa sistem khilafah adalah satu-satunya sistem yang sah dalam Islam.
Bahkan dalam al-Syakhsiyyah al-Islamiyyah, ditegaskan bahwa menolak konsep khilafah dianggap sebagai "kemaksiatan besar."
Pemikiran ini terus dipropagandakan di kalangan mahasiswa, yang sering kali masih dalam fase pencarian ideologi.
Sejak 1990-an, HTI telah secara terbuka menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Pancasila, yang mereka anggap sebagai sistem kufur.
Meski pada 2012 mereka mengubah pendekatan dengan menyebut Pancasila sebagai sekadar filsafat yang harus tunduk pada Islam, sikap ini lebih bersifat taktis dibandingkan substantif.
Dalam berbagai kesempatan, HTI tetap memosisikan demokrasi sebagai sistem yang tidak sah dalam Islam dan mengampanyekan khilafah sebagai satu-satunya sistem yang benar.
Keyakinan HTI atas potensi Indonesia sebagai negeri khilafah pernah mereka sampaikan kepada pemerintah melalui surat terbuka kepada Susilo Bambang Yudhoyono pada 8 Januari 2005.
Dalam surat tersebut, HTI menegaskan bahwa Indonesia adalah negeri yang strategis bagi penegakan khilafah.
Demi memperkuat keyakinan ini, para aktivis HTI mengutip pernyataan Presiden Asosiasi Muslim Jepang, Hasan Ko Nakata, yang menyatakan, "Indonesia adalah tempat yang memenuhi persyaratan untuk mendirikan kembali khilafah."
Sebagai bagian dari strategi propaganda mereka, HTI juga memanfaatkan citra tokoh nasional untuk meraih simpati masyarakat.
Contohnya, penggunaan gambar Prabowo Subianto dalam media mereka dengan narasi bahwa sistem khilafah wajib diterapkan.
Bahkan, Muhammad Ismail Yusanto (13/12/2024), yang dikenal sebagai Juru Bicara HTI, menyatakan harapannya agar Prabowo tidak hanya sekadar kagum terhadap Kekhalifahan Utsmaniyah, tetapi juga mendorong penerapan sistem khilafah di Indonesia.
Pernyataan ini mencerminkan strategi HTI untuk menarik simpati dengan memanfaatkan figur tokoh nasional yang memiliki pengaruh besar.
Hal ini menunjukkan upaya HTI untuk membangun hubungan emosional dengan masyarakat melalui figur yang memiliki pengaruh besar.
Mereka berharap pendekatan ini dapat menarik dukungan lebih luas, termasuk dari kalangan yang sebelumnya tidak terpapar ideologi mereka.
Pemerintah masih melihat HTI sebagai ancaman ideologis, tetapi tidak secara eksplisit menggolongkannya sebagai organisasi teroris seperti yang dilakukan Inggris.
Namun, fakta bahwa HTI terus beroperasi dalam bentuk baru menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih sistematis dalam merespons pergerakan mereka.
Keputusan MUI tentang Khilafah
Dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII (2021), Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa sistem kepemimpinan dalam Islam bersifat dinamis dan tidak terbatas pada sistem khilafah.
MUI juga menyatakan bahwa kesepakatan bangsa Indonesia untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sah secara syar’i. Oleh karena itu, upaya mengganti NKRI dengan sistem khilafah bertentangan dengan kesepakatan ini.
MUI menolak dua pandangan ekstrem mengenai jihad dan khilafah: pertama, yang menafikan jihad dan khilafah dalam Islam, dan kedua, yang memaksakan jihad hanya dalam bentuk perang serta menganggap khilafah sebagai satu-satunya sistem Islam yang sah.
Keputusan ini memperjelas bahwa HTI tidak hanya berseberangan dengan negara secara hukum, tetapi juga bertentangan dengan pandangan ulama mainstream di Indonesia.
Sebagai negara dengan mayoritas Muslim, Indonesia telah membangun sistem yang selaras dengan nilai-nilai Islam melalui Pancasila dan konstitusinya.
Dalam banyak aspek, NKRI dengan Pancasila-nya dapat dianggap sebagai bentuk khilafah modern yang sesuai dengan konteks Indonesia.
Sebagai anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Indonesia tidak perlu menyesuaikan sistem kenegaraannya dengan pandangan kelompok-kelompok transnasional yang menghendaki perubahan radikal.
Sistem yang ada telah terbukti mampu mengakomodasi prinsip-prinsip Islam sekaligus menjaga kebhinekaan, sehingga tidak ada urgensi untuk menggantinya dengan sistem khilafah yang bertentangan dengan karakter kebangsaan Indonesia.
Penindakan hukum terhadap HTI saja tidak cukup. Pemerintah harus memperkuat edukasi kebangsaan, meningkatkan literasi digital, dan menggandeng organisasi keagamaan untuk menyebarluaskan narasi moderat.
Kontra-propaganda digital juga harus diperkuat guna menangkal penyebaran ideologi radikal dengan pendekatan lebih persuasif. Jika langkah-langkah ini tidak diambil, maka HTI dan kelompok serupa akan terus menemukan celah untuk berkembang.
HTI bukan sekadar ormas yang telah dibubarkan, tetapi bagian dari gerakan global yang terus beradaptasi. Mereka memahami bagaimana memanfaatkan ruang digital, membangun narasi yang menarik, dan menyusup ke berbagai lini kehidupan masyarakat.
Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan penegakan hukum semata. Harus ada upaya yang lebih serius dalam membangun ketahanan ideologi bangsa, baik melalui pendidikan, regulasi digital, maupun aktivitas lainnya yang lebih inklusif.