![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/view.png)
![Revisi KUHAP dan UU Kejaksaan Jadi Kontroversi, Apa yang Perlu Anda Ketahui?](https://jakarta365.net/uploads/2025/02/08/tribunnews/revisi-kuhap-dan-uu-kejaksaan-jadi-kontroversi-apa-yang-perlu-anda-ketahui-1162478.jpg)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/clock-d.png)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/calendar-d.png)
Revisi KUHAP dan UU Kejaksaan Jadi Kontroversi, Apa yang Perlu Anda Ketahui?
RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan dan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2025.
Sejumlah akademisi dan praktisi hukum mengkhawatirkan revisi UU Kejaksaan.
Sejumlah pakar menilai revisi tersebut berpotensi melemahkan sistem hukum di Indonesia dan membuka celah bagi penyalahgunaan kewenangan oleh jaksa.
Yaitu
Pasal 8 ayat 5 (Pemeriksaan Jaksa Izin Jaksa Agung)
Pasal 11 A ayat 2 (Rangkap Jabatan)
Pasal 30 B huruf 'b' (Menciptakan Kondisi yang Mendukung dan Mengamankan Pelaksanaan Pembangunan)
Pasal 30 B huruf 'e' (pengawasan multimedia).
Salah satu yang juga menjadi perhatian yaitu terkait asas dominus litis atau pengendali perkara.
Asas dominus litis adalah asas hukum yang memberikan kewenangan kepada jaksa penuntut umum untuk menentukan jalannya suatu perkara pidana. Asas ini berlaku dalam Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia.
Pengaturan tentang asas dominus litis atau pengendali perkara yang dimiliki Kejaksaan dalam penanganan perkara pidana tidak diatur gamblang dalam UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Padahal dalam praktek di banyak negara, jaksa kerap terlibat dalam penanganan perkara sejak tahap penyidikan.
Sebab, jaksa memang berfungsi sebagai pengendali dan mensupervisi kerja-kerja penyidik (pengendali perkara). Karenanya, penting pengaturan asa dominus litis diatur dalam Rancangan KUHAP mendatang.
Pakar Hukum Universitas Sriwijaya, Alip D. Pratama, menilai bahwa asas dominus litis yang memberikan kewenangan penuh kepada kejaksaan dalam menentukan kelanjutan suatu perkara berpotensi merusak sistem hukum di Indonesia.
Menurutnya, asas ini adalah pedang bermata dua yang bisa membawa konsekuensi serius jika tidak diterapkan secara objektif dan bertanggung jawab.
"Asas dominus litis memberikan kejaksaan kewenangan luar biasa besar dalam menentukan apakah suatu perkara harus dibawa ke pengadilan atau bisa diselesaikan di luar persidangan. Ini memberikan hak subjektif kepada kejaksaan, yang dalam praktiknya bisa menjadi alat kontrol yang efektif, tetapi juga bisa menjadi sumber ketimpangan hukum yang serius," ujar Alip, Sabtu (8/2/2025) dalam keterangannya.
Alip menyoroti bahwa dalam konsep hukum yang lama, publik memiliki ruang untuk mempertimbangkan apakah suatu perkara perlu diajukan ke pengadilan atau tidak.
Namun, dengan dominasi kejaksaan dalam asas dominus litis, peran warga negara dalam menyeimbangkan sistem hukum semakin tergerus.
"KUHP yang lama masih memberikan ruang bagi publik untuk ikut berperan dalam menentukan jalannya penegakan hukum. Sekarang, negara melalui kejaksaan justru mendapatkan porsi yang semakin besar dalam mengontrol jalannya perkara. Ini berpotensi menimbulkan ketimpangan dan membatasi hak warga negara untuk mendapatkan keadilan secara lebih transparan dan demokratis," jelasnya.
Lebih lanjut, Alip menegaskan bahwa pasca revisi Undang-Undang KPK, peran kejaksaan semakin sentral dalam sistem hukum Indonesia. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah kejaksaan mampu bersikap objektif dalam menggunakan kewenangan dominus litis.
"Kejaksaan punya PR besar untuk membuktikan bahwa mereka bisa bertindak adil dan tidak menyalahgunakan kewenangan ini. Jika asas ini digunakan dengan baik, kejaksaan bisa mendapatkan kepercayaan publik. Namun, jika disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, masa depan hukum di Indonesia akan semakin buram," tegas Alip.
Ia juga menyoroti potensi kejaksaan menjadi alat kekuasaan jika tidak ada mekanisme pengawasan yang ketat.
"Bayangkan jika kejaksaan menggunakan asas ini secara ugal-ugalan, hanya untuk kepentingan tertentu, tanpa transparansi yang jelas. Ini bukan hanya ancaman bagi sistem hukum kita, tetapi juga bagi demokrasi dan hak asasi warga negara," tambahnya.
Alip menegaskan bahwa masyarakat harus tetap kritis terhadap penerapan asas dominus litis.
Ia menekankan bahwa hubungan antara negara dan warga negara harus berjalan dalam keseimbangan, bukan dalam dominasi sepihak yang memberikan ruang besar bagi negara untuk mengkooptasi hak warga negara.
"Kita harus terus mengawasi bagaimana asas ini diterapkan. Jangan sampai hukum menjadi alat bagi kekuasaan untuk mengendalikan masyarakat secara sewenang-wenang. Hukum seharusnya menjadi instrumen keadilan, bukan alat penindasan," pungkasnya.
Sementara itu, Guru Besar UPI, Plt. Kaprodi Ilmu Hukum UPI, Prof.Dr.Cecep Darmawan.S.H.,M.H menilai bahwa asas dominus litis yang memberikan kewenangan penuh kepada kejaksaan dalam menentukan kelanjutan suatu perkara berpotensi merusak sistem penegakan hukum selama ini.
Menurutnya, asas tersebut dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara institusi dan lembaga negara khususnya Kepolisian dan Kejaksaan.
Asas dominus litis memberikan kewenangan kejaksaan yang luar biasa besar dalam menentukan apakah suatu perkara harus dibawa ke pengadilan atau dihentikan yang berpotensi sulit dikontrol.
"Masalahnya kalau sekarang jaksa diberikan kesempatan itu penyelidikan dan penyidikan itu akan sangat tumpang tindih dengan polisi. Untuk tindak pidana kriminal umum, sudah benar ada di kepolisian," ujar Cecep, Sabtu (8/2/2025).
Cecep melihat kewenangan kejaksaan asas dominus litis tidak diperlukan karena sudah ada fungsi yang sudah berjalan selama ini.
"Kejaksaan tidak perlu kewenangan itu. Karena jika tidak setuju dengan penyelidikan dan penyidikan polisi ya tinggal dikembalikan saja jika belum P21 seperti itu," paparnya.
Lebih lanjut, Cecep menegaskan bahwa apabila ada kekurangan pada institusi kepolisian maka yang perlu diperkuat adalah fungsi kontrol.
"Kalau polisi disebut lambat, Kan ada Kompolnas, dan dipantau publik yang kritis. Kalau polisi dianggap kurang kuat dalam penyelidikan dan penyidikan maka kontrolnya yang harus diperkuat. Bukan malah diberikan kewenangan tersebut kepada institusi lain seperti Kejaksaan," terang Cecep.
Ia melihat ada pihak yang ingin membuat institusi kepolisian hanya berperan sebagai alat pengaman di tengah masyarakat dan bukan untuk menegakkan hukum.
"Mungkin ingin Polisi khusus untuk keamanan saja tidak untuk penegakan hukum. Karena polisi itu untuk menangani kriminalitas butuh senjata. Penjahat seperti garong dengan senjata apa, maka perlu polisi. Kalau Kejaksaan kan gak punya. Itu beresiko juga untuk Kejaksaan, nanti muncul kriminal berat seperti itu bagaimana mau menyelesaikan nya. Kalau polisi kan memang untuk penegakan hukum, keamanan itu sudah benar fungsi polisi," kata Cecep.
Cecep menilai tinggal melaksanakan penguatan-penguatan maupun kontrol publik pada institusi kepolisian termasuk untuk diperkuat independensi. Pasalnya apabila Jaksa dan Polisi tidak independen, maka akan rusak penegakan hukum.
"Karena kasus-kasus pidana yang membutuhkan penyelidikan polisi banyak yang jika ada intervensi sama bagian dari pemerintah atau eksekutif. Ditolak saja ide itu karena dapat merusak sistem penegakan hukum," pungkasnya.
Prolegnas
Sebelumnya, semua Fraksi Baleg DPR RI menyetujui sebanyak 41 Rancangan Undang-Undang (RUU) masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 tak hanya itu, terdapat 178 RUU juga disepakati untuk masuk dalam Prolegnas jangka menengah untuk 2025-2029.
Kesepakatan itu ditempuh dalam rapat pleno antara Baleg DPR RI dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum RI, pada Senin (18/11/2024) malam.
Pembahasan RUU Prolegnas berlangsung sebelumnya telah dilakukan oleh panitia kerja (panja) yang mencakup dari unsur DPR, DPD, serta perwakilan pemerintah.
"Apakah hasil penyusunan prolegnas prioritas 2025 dan prolegnas 2024-2029 dapat dilanjutkan sesuai peraturan perundang-undangan?" tanya Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan di ruang rapat Baleg, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2024)
"Setuju" jawab para peserta rapat.
Dengan begitu, maka pembahasan 41 UU yang masuk dalam prolegnas prioritas 2025 dan 178 UU masuk dalam prolegnas 2025-2029 tersebut akan dibawa ke Sidang Paripurna untuk disahkan.
Berikut daftar Prolegnas RUU Prioritas 2025 yang disetujui di tingkat 1 oleh Baleg DPR RI:
Komisi I
RUU tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
Komisi II
RUU tentang perubahan atas undang-undang nomor 20 tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara
Komisi III
RUU tentang perubahan atas undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Komisi IV
RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
Komisi V
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Komisi VI
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
RUU tetang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Komisi VII
RUU tentang Perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
Komisi VIII
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Ibadah Haji dan Umrah
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji
Komisi IX
RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Komisi X
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Komisi XI
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan
Pajak
Komisi XII
RUU tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan
Komisi XIII
RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Baleg
RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Ketahanan Negara (Komcad)
RUU tentang Komoditas Strategis
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
RUU tentang Pertekstilan
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
RUU tentang Pengaturan Pasar Ritel Modern
RUU tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota
RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik
RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
RUU tentang Pengelolaan Perubahan Iklim
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
RUU tentang Masyarakat Hukum Adat
RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
Pemerintah
RUU tentang Hukum Acara Perdata
RUU tentang Narkotika dan Psikotropika
RUU tentang Desain Industri
RUU tentang Hukum Perdata Internasional
RUU tentang Pengelolaan Ruang Udara
RUU tentang Pengadaan Barang dan Jasa Publik
RUU tentang Keamanan dan Ketahanan Siber
RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran
Artikel ini sebagian telah tayang di Tribunnews.com berjudul Praktisi Hukum Dorong DPR RI Revisi UU Kejaksaan: Ada Beberapa Hal yang Perlu Dikaji Ulang
Artikel ini sebagian telah tayang di Tribunnews.com berjudul Daftar 41 RUU Prolegnas Prioritas 2025 yang Disetujui DPR RI
Artikel ini sebagian telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Penerapan Dominus Litis dalam Revisi KUHAP Dinilai Perlu Kehati-hatian
Tag: #revisi #kuhap #kejaksaan #jadi #kontroversi #yang #perlu #anda #ketahui