Sejarah di Balik Pembangunan Gelora Bung Karno 1959–1962, Sempat Terbakar Sebelum Akhirnya Digunakan Asian Games
Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. (Pexels.com/Tom Fisk)
08:24
20 September 2024

Sejarah di Balik Pembangunan Gelora Bung Karno 1959–1962, Sempat Terbakar Sebelum Akhirnya Digunakan Asian Games

 

 Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) umumkan perubahan lokasi pertandingan kualifikasi Piala Asia U-20 yang semula di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) ke Stadiun Madya Senayan, Jakarta, Kamis (19/9) malam.

Dilansir dari Instagram @pssi, perubahan lokasi tersebut menyusul adanya pemeliharaan besar pada Stadion Utama GBK. Untuk pertandingan kualifikasinya sendiri akan diadakan mulai tanggal 24 hingga 27 September 2024.

Namun, apakah kamu tahu kisah dibalik pembangunan Stadion Gelora Bung Karno? Pembangunan stadion tersebut sempat mendapat hambatan karena insiden kebakaran, Bagaimanakah kisah selengkapnya? Simak penjelasan berikut!

Keinginan Bung Karno Agar Indonesia Menjadi Tuan Rumah Asian Games

Dilansir dari artikel jurnal yang berjudul Sukarno dan Pembangunan Stadion Gelora Bung Karno di Senayan, 1959–1962, sejak gelaran pertama Asian Games tahun 1950 Indonesia sudah mengajukan diri untuk menjadi tuan rumah.

Akan tetapi, sebagian besar negara yang tergabung dalam Asian Games Federation (AGF) masih meragukan kemampuan Indonesia. Keraguan tersebut muncul bukan tanpa alasan, pasalnya kondisi politik Indonesia pada periode tahun 1950–1960 masih belum stabil.

Berbagai aksi pemberontakan rakyat kerap mewarnai kondisi perpolitikan Indonesia. Oleh sebab itu, selama perhelatan Asian Games II dan III Indonesia masih tidak terpilih sebagai tuan rumah.

Pada perhelatan Asian Games II tahun 1954, Filipina terpilih menjadi tuan rumah. Sementara itu, AGF memilih Tokyo sebagai lokasi gelaran Asian Games III tahun 1958.

Kemudian, Indonesia kembali mengajukan diri sebagai tuan rumah Asian Games pada sidang AGF di Tokyo tahun 1958.

Dalam sidang tersebut, Indonesia yang diwakili oleh Menteri Olahraga R. Maladi berhasil mengalahkan Pakistan dengan 22 suara, yakni 2 suara lebih unggul. Indonesia akhirnya ditetapkan sebagai tuan rumah Asian Games IV tahun 1962.

Sebagai tuan rumah, Indonesia harus mempersiapkan kebutuhan kompetisi tersebut. Hal ini dianggap oleh Soekarno sebagai ajang untuk menunjukkan eksistensi Indonesia ke mata dunia.

Oleh karena itu, Bung Karno membentuk Dewan Asian Games Indonesia (DAGI) di bawah pimpinan Maladi untuk membangun sebuah kawasan multi-sport complex dan mempersiapkan segala fasilitas yang dibutuhkan, termasuk Stadion.

Dilansir dari buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, Soekarno menjadikan olahraga sebagai instrumen revolusi yang multikompleks, baik ke dalam maupun luar negeri dan salah satu agenda utamanya adalah Asian Games.

Dengan kata lain, Asian Games merupakan agenda revolusi dengan tiga poin utama, yakni mengangkat nama Indonesia di dunia Internasional, menjadi sarana pembentukkan solidaritas dan kebanggaan nasional, menegaskan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme.

Senayan Dipilih sebagai Lokasi Pembangunan Gelora Bung Karno

Masih dari Sukarno dan Pembangunan Stadion Gelora Bung Karno di Senayan, 1959–1962, Bung Karno menetapkan Senayan sebagai lokasi pembangunan kompleks olahraga untuk Asian Games IV.

Sebelum akhirnya ditetapkan di Senayan, Soekarno sempat berkeliling kota Jakarta menggunakan helikopter untuk mencari wilayah yang tepat. Beberapa daerah yang sempat dijadikan sebagai opsi adalah Dukuh Atas serta kawasan antara Kebayoran Baru dan Menteng.

Opsi Dukuh Atas mendapat pertentangan dari Ir. Silaban, yakni salah satu arsitek yang terlibat dalam proyek pembangunan Stadion GBK mengatakan bahwa pembangunan di daerah tersebut akan berdampak pada kemacetan di Bundaran Hotel Indonesia.

Sementara itu, kawasan antara Kebayoran Baru dan Menteng tidak jadi dipilih oleh Bung Karno karena banyaknya perumahan dan bangunan yang sudah permanen.

Oleh karena itu, kawasan Senayan dipilih sebagai kompleks stadion olahraga. Wilayah itu dianggap paling cocok karena bentuknya masih berupa perkampungan, rawa, dan perkebunan besar.

Segera setelah ditetapkan, Dewan Asian Games Indonesia (DAGI) memulai pekerjaannya pada pertengahan tahun 1959. Langkah pertama yang dilakukan oleh DAGI adalah pembebasan tanah, pembongkaran, pemindahan dan penampungan penduduk.

Terdapat empat kawasan yang digunakan sebagai lokasi pembangunan, yakni Kampung Senayan, Petunduan, Kebun Kelapa, dan Bendungan Hilir. Namun nama ‘Senayan’ dipilih untuk mempermudah penyebutan.

Pembangunan Stadion Gelora Bung Karno

Pembangunan Stadion Gelora Bung Karno tidak terlepas dari peran Soekarno sebagai arsitek. Bung Karno memberikan gagasan konsep konstruksi atap yang berbentuk oval atau sedikit bundar. Tujuannya adalah untuk kenyamanan penonton, terbebas dari teriknya matahari atau pun hujan.

Ide Bung Karno tersebut kemudian dikenal dengan istilah “temu gelang,” yang menggabungkan prinsip fungsional dan artistik. Dilansir dari failed architechture, secara garis besar, temu gelang adalah atap yang didesain menggunakan baja kantilever, melingkar, disusun menyerupai gelang di atas beton bertulang.

Bung Karno mendapatkan ide tersebut, setelah bepergian ke beberapa negara sejak tahun 1955 seperti, Amerika Serikat, Kanada, Italia, Jerman Barat, Swiss, hingga Uni Soviet.

Pembangunan Stadion GBK melibatkan banyak perancang dan tenaga kerja. Masih dilansir dari Sukarno dan Pembangunan Stadion Gelora Bung Karno di Senayan, 1959–1962, sejak dirancang pada tahun 1960 proyek ini melibatkan setidaknya 40 sarjana teknik Indonesia, 12.000 tenaga sipil dan militer.

Proyek tersebut juga melibatkan tenaga ahli dari berbagai negara, seperti Uni Soviet, Hongaria, Swiss, Jepang, Prancis, hingga Jerman. Pembangunan berjalan sukses, tapi bukan tanpa hambatan.

Persoalan pertama yang dihadapi pemerintah adalah masalah kepegawaian. Beberapa diantaranya seperti, permasalahan uang makan, kurangnya tenaga kesehatan, hingga gaji yang belum dapat menjamin kesejahteraan pekerja.

Di sisi lain, pembangunan juga sempat terhambat karena sebuah insiden kebakaran. Pada 23 Oktober tahun 1961 tepatnya pada pukul 18.45 kebakaran melahap beberapa bagian Stadion yang waktu itu dalam kondisi setengah jadi.

Meskipun tidak begitu parah, kebakaran tersebut berdampak pada kerusakan bagian atap stadion dan kayu penyangga besi. Akibat peristiwa tersebut muncul kecemasan dari Asian Games Federation (AFG). Bahkan, salah satu media Singapura menjadikan peristiwa kebakaran tersebut sebagai berita utama dengan tajuk “Lonceng Kematian Asian Games akan Berbunyi dari Jakarta.”

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengundang komite eksekutif AGF yang beranggotakan India, Jepang, Filipina, Hongkong, Afghanistan, dan Taiwan pada pertengahan April 1962 untuk melihat persiapan di Jakarta.

Kemudian, komite eksekutif AGF mengumumkan bahwa ketakutan terhadap diundurnya Asian Games IV tidak beralasan dan acara tersebut akan tetap diadakan pada 24 Agustus 1962.

Pembangunan Stadion GBK dapat diselesaikan pada bulan Juli dengan kapasitas mencapai 100.000 penonton dengan lima lantai. Pembangunan tersebut menjadi pembicaraan negara-negara lain, beberapa media Internasional sampai menyebutnya sebagai konstruksi terbaik dalam sejarah olahraga Asia dan dunia.

Pada 24 Agustus 1962, pukul 16.00 WIB Bung Karno secara resmi membuka Asian Games IV. Indonesia berhasil menunjukkan taringnya dengan memperoleh 51 medali (11 emas, 12 perak, 28 perunggu). Torehan tersebut menjadikan Indonesia berada di posisi runner-up.

Perhelatan olahraga terbesar se-Asia itu ditutup pada 4 September 1962 dengan jumlah penonton mencapai 100.000 orang, sekaligus menjadi kebanggaan dan kegemilangan Indonesia.

Editor: Novia Tri Astuti

Tag:  #sejarah #balik #pembangunan #gelora #bung #karno #19591962 #sempat #terbakar #sebelum #akhirnya #digunakan #asian #games

KOMENTAR