Negara Tak Perlu Gusar Mengusut Pagar Laut
DRAMA pagar laut masih berlanjut. Kini, indikasi tindakan korupsi menyeruak, menyeret sejumlah petinggi negeri.
Tentu hal ini bukan barang baru yang mengherankan. Urusan munculnya pagar laut yang terkesan “ujug-ujug” hingga penetapan HGB yang membuat polemik dengan penanganan yang berlarut sudah mengisyaratkan bahwa kondisi ini sarat akan maladministrasi dan tindakan koruptif.
Kepala Perwakilan Ombudsman Provinsi Banten, Fadli Afriadi, pun menjelaskan demikian bahwa telah menemukan maladministrasi yang dilakukan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten.
Problemnya mengapa mengusut pagar laut tak kunjung selesai?
Hal ini juga dilatarbelakangi kejelasan proyek yang simpang siur. Publik dihadapkan pada informasi yang kurang akurat.
Banyak pemberitaan menjelaskan bahwa keberadaan pagar laut milik PIK 2 adalah untuk Program Strategis Nasional (PSN), sehingga serangan ditujukan kepada pemerintah.
Namun di sisi lain, Airlangga Hartarto, Menko bidang perekonomian, juga sudah menjelaskan bahwa lokasi pagar laut dengan PSN adalah dua hal berbeda.
Kondisi ini menyebabkan media disorder dan menyebabkan semakin tidak jelas pangkal dan ujung dari pagar laut.
Ombudsman Banten juga telah berupaya mendorong evaluasi PSN di sekitar pagar laut. Konteks ini jelas menyiratkan bahwa memang PSN dan pagar laut adalah dua proyek yang tidak terkait.
Meskipun demikian, tidak kita memungkiri bahwa pagar laut, PSN, dan PIK 2 cenderung berkelindan dan perlu untuk dievaluasi.
Namun yang jelas, pagar laut adalah potret pertarungan perebutan sumber daya. Nelayan sebagai pihak yang paling terdampak tentu paling riuh untuk menyuarakan keresahannya.
Biaya bahan bakar yang harus ditambah, juga waktu yang semakin lama untuk menangkap ikan jadi alasannya.
Di luar itu, PIK 2 yang digadang sebagai pelaku utama juga sedang berorkestrasi untuk mengakuisisi sumber daya, bahkan pemerintah juga terseret.
Saya menilai bahwa kondisi ini adalah cermin dari tarik ulur kepentingan antara aktor korporasi dengan negara.
Negara dalam hal ini adalah ‘oknum/aktor’ pemerintah, karena bagaimanapun pengabsahan sertifikat-sertifikat yang muncul jelas melibatkan instrumen pemerintahan.
Untuk itu, negara dengan segala sumber daya yang dimiliki perlu mengusut tuntas kasus ini.
Weber menyebutkan bahwa fenomena ini merupakan representasi dari tindakan sosial yang berwujud keputusan dan tindakan ekonomi. Keputusan inilah yang melibatkan struktur sosial, hukum, dan dominasi politik.
Ketika berbicara soal dominasi, dalam konteks inilah pemerintah perlu menunjukkan dominasinya mengusut kasus yang tak kunjung selesai.
Jika tidak, maka kedudukan pemerintah sebagai aktor dalam bernegara semakin lemah dan justru menurunkan kepercayaan dan legitimasi terhadap pemerintah.