Korupsi APD Covid-19, Eks Pejabat Kemenkes dan Pengusaha Didakwa Rugikan Negara Rp 319 M
Para staf medis memaku penutup peti mati berisi korban Covid-19 di kamar jenazah Rumah Sakit Darurat Universitas, di Bucharest, Rumania, Senin (8/11/2021). Ratusan orang meninggal setiap hari selama dua bulan terakhir di Rumania yang telah menjadi salah satu yang paling terpukul dalam serangan virus saat ini yang mengamuk di negara-negara Eropa Tengah dan Timur di mana jauh lebih sedikit orang yang telah diinokulasi daripada di Eropa Barat.(AP PHO
19:34
4 Februari 2025

Korupsi APD Covid-19, Eks Pejabat Kemenkes dan Pengusaha Didakwa Rugikan Negara Rp 319 M

Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa eks pejabat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Budi Sylvana dan sejumlah pengusaha merugikan negara Rp 319.691.374.183,06 (Rp 319,6 miliar) dalam kasus dugaan korupsi pengadaan 1,1 juta set lebih alat pelindung diri (APD) Covid-19.

Adapun sejumlah pengusaha yang terlibat itu adalah Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) dan Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM), Ahmad Taufik.

Dalam dakwaannya, jaksa menyebut kerugian negara itu merujuk pada hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

“Mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 319.691.374.183,06,” kata jaksa KPK di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (4/2/2025).

Dalam dakwaannya, jaksa menyebut perbuatan ini dilakukan Budi, Satrio, dan Taufik bersama-sama Komisaris Utama PT PPM Siti Fatimah Az Zahra, legal PT EKI Isdar Yusuf, dan Sekretaris Utama Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Harmensyah pada kurun 2019 hingga Mei 2020.

Dalam pengadaan itu, Budi duduk sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sementara Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dijabat Harmensyah.

Adapun sumber dana pengadaan APD ini berasal dari Dana Siap Pakai (DSP) BNPB Tahun 2020.

Perkara ini berawal dari kondisi pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia pada 2020.

Pada 29 Februari 2020, Kepala BNPB yang saat itu dijabat almarhum Doni Monardo menandatangani Keputusan Kepala BNPB tentang Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia.

Saat itu, terdapat sejumlah perusahaan di Kawasan Berikat Bogor dan Bandung, Jawa Barat yang memproduksi APD merek BOHO.

Merek ini dimiliki perusahaan Korea Selatan UPC Ltd melalui PT Daekyung Glotech dengan tujuan ekspor ke negeri ginseng tersebut.

Perusahaan-perusahaan itu adalah PT Daedong International, PT Permata Garment, PT Pelita Harapan Abadi, PT GA Indonesia, PT Indomatra Busana Jaya, dan PT ING International.

Pada 16 Maret 2020, Menteri Perdagangan saat itu, Agus Suparmanto, menandatangani Peraturan Mendag yang melarang ekspor sementara antiseptik, bahan baku masker, APD, dan masker.

Karena ingin meraup keuntungan dari penjualan APD di Indonesia, Direktur PT Daekyung Glotech, Kim Jae Yeol, meneken perjanjian dengan Direktur Utama PT Yoon Shin Jaya, Shin Dong Keun, untuk memasarkan APD merek BOHO di Indonesia.

“Padahal PT Yoon Shin Jaya bergerak di bidang ekspor barang dagangan, antara lain makanan ternak dan biomassa,” kata jaksa KPK.

Pada 20 Maret, Shin Dong Keun mendengar Ditjen Farmasi Alat Kesehatan (Farmalkes) Kemenkes akan membeli 10.000 APD yang bersumber dari APBN milik Kemenkes.

Ia menghubungi Dirjen Farmalkes Engko Sosialine Magdalene untuk menawarkan APD BOHO.

“Dikarenakan PT Yoon Shin Jaya tidak memiliki Izin Penyalur Alat Kesehatan (IPAK) dan Izin Edar, maka Kemenkes tidak dapat melakukan kerja sama langsung,” kata jaksa KPK.

Sekretaris Ditjen Farmalkes Arianti Anaya kemudian meminta PT PPM menjadi distributor APD merek BOHO.

Shin pun sepakat dan menyebut harga jual APD itu ke Kemenkes Rp 272.000 per set dan meminta barang miliknya dibayar terlebih dahulu oleh PT PPM.

Ahmad Taufik kemudian menyerahkan cek senilai Rp 2,072 miliar kepada Shin.

Sementara dokumen izin edar APD merek BOHO dibuat dengan tanggal mundur. “Setelah itu PT PPM setuju menjadi penyalur APD merek BOHO dengan harga Rp 379.500 per set, padahal saat itu PT PPM belum mempunyai Izin Edar merek BOHO,” kata jaksa.

Kemahalan Harga

Selain 10.000 set APD itu, jaksa juga menyebut bahwa pada 22 Maret 2020, Doni Monardo memerintahkan Wakil Asisten Operasi (Waasops) Panglima TNI, Jorry Soleman Koloay, untuk mengambil APD merek BOHO di Kawasan Berikat Bogor yang sudah siap diekspor ke Korea Selatan.

Jorry menugaskan Kodam setempat untuk mengambil 170.000 set APD dari kawasan itu dan membawanya ke Gudang di Halim Perdanakusuma.

Setelah itu, timbul permasalahan siapa pihak yang bertanggung jawab atas pembayaran 170.000 set APD.

“Terdakwa (Satrio) yang mengaku dari Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menghubungi Ahmad Taufik melalui Siti Fatimah Az Zahra dan menginformasikan terdakwa akan mengurus pembayaran 170.000 set APD yang telah diambil,” kata jaksa KPK.

Setelah itu, dalam suatu rapat yang dihadiri Kemenkes, BNPB, serta sejumlah perusahaan, disepakati harga 170.000 APD itu senilai 48,4 dollar AS (Rp 500 ribu) per set, turun dari 60 dollar AS per set sebagaimana ditawarkan Satrio.

Karena tidak memiliki uang, Satrio meminjam ke BNPB untuk membayar APD merek BOHO.

Pinjaman pun cari Rp 10 miliar melalui PT PPM dan dibayarkan ke perusahaan terafiliasi Korea Selatan di Bogor.

“Padahal saat itu terdakwa belum menjabat Direktur Utama PT EKI, selain itu PT EKI tidak mempunyai kualifikasi sebagai penyedia barang/jasa sejenis di instansi pemerintah,” tutur jaksa KPK.

Meski demikian, permainan Satrio berlanjut.

Ia membuat surat-surat yang menyatakan seolah-olah PT EKI menjadi distributor tunggal APD merek BOHO di Indonesia.

Kemudian, pada Maret 2020 hingga Mei 2020, berdasarkan data Ditjen Bea dan Cukai, bukti pengiriman surat, dan rekapitulasi pengiriman APD, sebanyak 2.140.200 APD telah diterima di Gudang TNI Halim Perdanakusuma.

Namun, baru 1.010.000 set APD yang dibayar dengan harga Rp 711.284.704.680 (Rp 711,2 miliar).

Padahal, berdasarkan audit BPKP ditemukan bahwa biaya nyata (real cost) dan pengiriman 2.140.200 APD itu hanya Rp 391.593.330.496,94 atau Rp 391,5 miliar.

Jaksa lantas menyimpulkan, perbuatan Satrio, Budi, Taufik, Siti Fatimah, Isdar, dan Harmensyah terkait pengadaan 170.000 set APD tanpa surat pesanan, negosiasi, dan penandatanganan surat pesanan 5 juta set APD hingga pembayaran 1 juta set APD senilai Rp 711,2 miliar melanggar hukum.

Satrio dan terdakwa lainnya kemudian didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.

Editor: Syakirun Ni'am

Tag:  #korupsi #covid #pejabat #kemenkes #pengusaha #didakwa #rugikan #negara

KOMENTAR