Cerita Dosen dari Sumbar sampai Papua Ikut Aksi Tuntut Tukin Cair di Jakarta
- Ratusan dosen berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) demo menuntut pencairan tunjangan kinerja (tukin) tahun 2020-2024 di kawasan Patung Kuda dekat Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Senin (3/2/2025).
Setidaknya, aksi diikuti oleh sekitar 300 dosen di seluruh Indonesia. Massa pendemo datang dari sejumlah wilayah, mulai dari Jawa Timur, Sumatera Barat, hingga Papua.
Dony Djitmau (40) misalnya, datang jauh-jauh dari Manokwari, Papua Barat.
Dosen Kehutanan Universitas Papua ini rela merogoh kocek untuk naik pesawat ke Jakarta demi menuntut haknya.
Tunjangan kinerja (tukin) yang seharusnya diterima Dony setiap tahun, tidak kunjung cair.
"(Jadi dosen sejak) 2008. Kita menuntut saat ini (agar tukinnya cair) 2020 hingga 2024. Kalau untuk tiket ini kan bervariasi, kalau melihat di lapangan itu Rp 3-4 jutaan untuk sekali datang," kata Dony kepada Kompas.com di sela-sela demo, Senin.
Dony mengungkapkan, ada beragam dampak yang ikut dirasakannya karena tukin tak kunjung cair. Terlebih, menurut dia, gaji dan pendapatannya berada jauh di bawah standar.
Karena tukin tidak cair, banyak dosen yang harus mencari penghasilan tambahan di tengah banyaknya kebutuhan rumah tangga. Hal ini berakibat pada pola mengajar yang tidak maksimal.
"Dengan pendapatan kita yang minim, banyak dosen-dosen kita tidak maksimal untuk bekerja, mengajar. Mereka banyak mengejar proyek di luar atau mencari job-job tambahan, freelance, di luar entah itu untuk mencukupi kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar," ujarnya.
Dony pun mengungkapkan, merasakan sulitnya memenuhi kebutuhan rumah tangga karena tukin yang tak kunjung cair.
Apalagi, lanjutnya, biaya makanan pokok di Papua sangat berbeda dengan Jakarta. Terjadi disparitas harga yang lebih tinggi, imbas biaya logistik yang mahal dipengaruhi akses menuju wilayah-wilayah Indonesia Timur.
"Ada perbedaan kesenjangan harga. Dan itu saya rasa, semua di bangsa kita Indonesia tahu itu. Karena kita pembangunan sedang memang sekarang lagi digenjot, tetapi belum maksimal. Ya memang itu terasa," katanya.
Terancam putus sekolah
Dampak yang sama juga dirasakan oleh salah satu pendemo lainnya, Syafri Amir (63).
Dosen dari Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat ini merasa didiskriminasi karena tukin tak kunjung cair.
Padahal, dosen maupun tenaga pengajar dari kementerian/lembaga lain, masih mendapat tukin. Terlebih, tunjangan dari capaian kinerja merupakan hak yang telah diatur oleh Undang-Undang (UU).
"Jadi, bahkan dengan level yang sama, yang dikatakan pegawai, bukan dosen ya, di perguruan tinggi itu, lebih tinggi penghasilannya dari dosen. Nah, itu yang kami alami selama lima tahun ini," kata Syafri saat ditemui di lokasi yang sama.
Pria yang sudah berkarir sebagai dosen selama sekitar 30 tahun sejak tahun 1990 ini juga merasakan dampak dari nihilnya pencairan tukin. Keluarganya ikut menjadi korban, ada seorang anak yang terancam putus kuliah lantaran kurang biaya.
Meski tukin tak membuatnya menjadi kaya, menurut Syafri, uang itu bisa bermanfaat untuk kebutuhan sehari-hari.
"Saya pribadi merasakan ini, ada keluarga juga ikut (jadi) korban. Yang seharusnya bisa membayar anak kuliah, ini sudah terancam putus. Putus kuliah karena kemampuan membayar itu. Kalau (tukin) dibayarkan itu sebenarnya artinya bukan kaya, tapi lumayan, lah," ujarnya.
Di sisi lain, kedatangannya ke Jakarta sekaligus untuk memberikan dukungan kepada dosen yang lebih muda.
2 tuntutan
Ketua Aliansi Dosen Kemendiktisaintek Seluruh Indonesia (Adaksi), Anggun Gunawan mengatakan, para dosen menuntut dua hal dalam aksi damai ini.
Pertama, para dosen ingin memastikan tunjangan kinerja untuk dosen Kemendikti Saintek tahun 2025 dianggarkan oleh pemerintah, kemudian dicairkan masuk rekening.
"Kementerian mengatakan bahwasannya mereka hanya punya uang Rp 2,5 triliun. Kalau kita hitung, itu hanya bisa meng-cover sekitar 30.000 dosen. Sementara keseluruhan jumlah dosen yang ada itu sekitar 80.000, bapak-ibu semuanya. Jadi kami ingin tukin for all buat semuanya," kata Anggun.
Tuntutan kedua adalah meminta agar pemerintah segera membayarkan tukin dari tahun 2020-2024.
"Selama ini, pegawai lain, dosen di kementerian lain, kemudian juga pekerjaan yang di kampus, seperti laboran, pustakawan, pranata komputer, tenaga administrasi yang ada di kampus, itu dibayarkan tukin-nya. Dan hanya dosen saja yang tidak pernah dibayarkan," ujarnya lagi.
Tag: #cerita #dosen #dari #sumbar #sampai #papua #ikut #aksi #tuntut #tukin #cair #jakarta