Putusan Dimissal dan Bersih-bersih Meja Kerja Hakim
SECARA sederhana, putusan dimissal (judicial dismissal) adalah mekanisme penyaringan yang dilakukan oleh pengadilan untuk memastikan bahwa hanya perkara yang layak secara peradilan yang diproses lebih lanjut.
Putusan dismissal tidak hanya digunakan dalam perkara perselisihan hasil Pilkada, tapi digunakan juga pada perkara peradilan lainnya.
Prosedur dismissal dikonsepkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas peradilan agar pengadilan tidak menghabiskan waktu dan sumber daya hanya untuk “mengopeni perkara recehan” yang sejak awal sudah tidak layak hukum.
Sebagai contoh, dalam perkara perselisihan hasil Pilkada, gugatan yang dilayangkan tidak selalu mencerminkan keyakinan penggugat akan menang, melainkan hanya ingin mengulur waktu agar rival tak segera dilantik atau sekadar mencari perhatian.
Logika korporasi
Dalam iklim profesionalisme, sistem peradilan dituntut untuk dirancang minim biaya, tidak boros sumber daya, dan hemat waktu.
Untuk ini, maka “diselundupkanlah” mekanisme dimissal dari sistem manajemen korporasi, yang menekankan pada efisiensi administratif, ke dunia peradilan.
Muncul pertanyaan, apakah praktik dismissal yang diadopsi dari tradisi korporasi tidak akan menjadi “masalah” bagi mereka yang mencari keadilan, terutama pihak yang memiliki keterbatasan dalam memenuhi persyaratan formal peradilan.
Penerapan praktik efisiensi bisnis yang mengutamakan kecepatan di pengadilan dikhawatirkan bisa menjadi penghalang tegaknya substansi keadilan.
Praktik dismissal pada proses peradilan diklaim dapat menjadi sistem filtrasi hukum, sehingga pengadilan memiliki keleluasaan besar dalam menentukan perkara mana yang layak diproses dan tidak.
Namun, mekanisme dismissal tidak menutup kemungkinan menjadi alat eliminasi perkara-perkara yang dianggap "tidak menguntungkan" secara politik atau ekonomi, terutama ketika tidak ada standar filtrasi yang jelas dan terukur.
Bisa saja ada gugatan yang ditolak pengadilan dengan alasan formalitas administratif dan efisiensi sumber daya, padahal substansinya sangat relevan.
Dalam tingkat tertentu, praktik dismissal bukan sekadar mekanisme penyaringan teknis administratif, tetapi bisa juga menjadi sarana “kontrol keadilan”.
Membersihkan meja kerja
Para hakim di pengadilan bukan manusia “setengah malaikat”, walaupun dituntut demikian. Adalah lumrah mereka cenderung ingin memilih jalur yang lebih mudah dalam mengatasi beban kerjanya.
Alih-alih melakukan pemeriksaan mendalam yang memerlukan waktu dan keseriusan, karena punya senjata dismissal, mereka akan banyak menolak gugatan sejak awal.
“Dugaan ini” bisa terjadi dalam sistem peradilan kita yang memiliki tingkat beban kerja perkara yang cukup tinggi. Sehingga, bukan tidak mungkin dismissal menjadi alat untuk "membersihkan meja kerja" ketimbang benar-benar menegakkan hukum.
Kita khawatir andaikan prosedur dismissal bukan sekadar alat efisiensi peradilan, melainkan juga instrumen pragmatis yang digunakan personel pengadilan untuk menghindari beban kerja yang dianggap merepotkan.
Bahasa nakalnya, "akal-akalan hukum” untuk membersihkan meja kerja dari tumpukan berkas perkara yang menggunung.
Tidak ada jaminan bahwa prosedur dismissal tidak dijadikan “jimat” oleh para hakim untuk melindungi keengganan pengadilan untuk benar-benar masuk ke dalam substansi perkara.
Hakim yang berhadapan dengan ratusan perkara memiliki “modal instan” untuk mengurangi beban kerjanya.
Kalau terpaksa harus digunakan, prosedur dismissal hanya digunakan dalam kondisi yang sangat spesifik. Dan untuk ini pun harus ada standarisasi kepatutan perkara yang “didismisskan”.
Praktik dismissal yang berlebihan bisa menjadi bumerang untuk legitimasi peradilan.
Jika prosedur dismissal terus digunakan secara berlebihan sebagai cara "pembersihan tumpukan berkas peradilan”, maka akan semakin banyak kasus yang sebenarnya penting tetapi tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk diperiksa secara substansial.
Ini bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan, karena masyarakat akan merasa bahwa akses terhadap keadilan mereka dibatasi oleh alasan administratif semata.
Sudah rahasia umum bahwa hakim adalah para pekerja peradilan yang menghadapi tekanan waktu dan target kinerja.
Seperti pekerja kantoran lainnya, yang cenderung mengambil “keputusan baik” bukan keputusan optimal.
Prosedur dismissal yang tidak dikendalikan akan memberi ruang terbuka lebar bagi hakim untuk mencari “cara baik” menyelesaikan berkas, sehingga berpeluang terjadinya pemeriksaan perkara yang dangkal.
Jangan sampai mekanisme dismissal menjadi "kemalasan terstruktur" dalam sistem peradilan yang menguntungkan hakim, tapi mengorbankan pencari keadilan.
Atau, prosedur dismissal digunakan untuk membuat citra bahwa sistem peradilan bekerja dengan cepat, padahal terjadi pengabaian atas perkara-perkara yang membutuhkan perhatian lebih saksama.
Hakim tidak “didoktrin” mengutamakan kecepatan di atas akurasi dalam penegakan hukum, malah sebaliknya. Harus mengutamakan akurasi di atas kecepatan.
Demi tujuan keadilan, hakim didoktrin bahwa suatu perkara layak diperiksa lebih lanjut sekalipun mengabaikan alasan formalitas teknis.
Kalau sekadar mengejar kecepatan, apakah ke depan kita masih membutuhkan hakim dari bangsa manusia?
Sebab, kalau targetnya kecepatan, cukup hanya dengan Kecerdasan Buatan (AI) yang bisa menolak perkara dalam hitungan detik.
Putusan MK terkait sengketa Pilkada diharap tidak menggunakan prosedur dismissal sekadar untuk menghindari masuk ke inti perkara.
Setelah MK menggunakan “hak konsepsionalnya’, prosedur dismissal tidak menjadi tren “judicial minimalism”, di mana badan peradilan di negeri kita “ramai-ramai” memilih menghindar dari mendalami perkara secara substantif.
Lebih penting lagi, prosedur dismissal tidak dijadikan sebagai instrumen kekuasaan di mana pengadilan menentukan mana perkara yang layak dilanjut dan mana yang tidak karena atas dasar keuntungan politis.
Sebab, prosedur dismissal semacam ini akan menjadi alat yang memasung lembaga peradilan dan akan berdampak pada penurunan kualitas putusan yudisial dalam jangka panjang.