Hilirisasi Etika Politik
Ilustrasi Politik(KOMPAS)
06:34
22 Januari 2024

Hilirisasi Etika Politik

DEMOKRASI bukan hanya tentang pemilu, tetapi tentang kebiasaan hati yang demokratis. Tanpa kebiasaan hati yang demokratis, pemilu hanya akan melahirkan tirani.

Dua kalimat ini diringkas dari artikel yang ditulis oleh Robert N Bellah pada 2007. Bellah memberi judul artikelnya, "Ethical Politics: Reality or Illusion?"

Di dalam tulisannya, Bellah menguraikan tentang hubungan etika dan politik pada masyarakat Amerika.

Apakah tulisan Bellah itu relevan di Indonesia? Jawabannya klise, “tentu sangat relevan”. Perdebatan tentang moralitas dan etika dalam politik merupakan perdebatan lama yang tak kunjung selesai.

Politik yang selalu dimunculkan di permukaan adalah politik dengan muatan etika dan moralitas. Citra politik selalu dikhotbahkan dengan bimbingan moralitas dan etika. Dalam praktiknya, etika politik hanyalah sesuatu yang tidak tentu hilir mudiknya.

Memaknai kata hilir

Kenapa dipakai pepatah lama, “tidak tentu hilir mudiknya” dalam tulisan ini? Karena kata “hilir” dengan imbuhan -isasi begitu popular akhir-akhir ini. Sampai ada yang berseloroh, apapun masalahnya, solusinya adalah hilirisasi.

Pertanyaannya, apakah etika bisa dihilirisasi? Mengacu pada KBBI, kata hilirisasi itu artinya penghiliran, yaitu proses untuk menghilirkan sesuatu. Kata hilir di KBBI bermakna bagian sungai sebelah muara.

Penggunaan kata hilir bisa saja bermakna lain, terlebih kata itu dipakai dalam kontestasi politik. Penggunaan kata dalam politik bisa multidimensi. Tergantung siapa yang memakai kata itu dan siapa yang menafsirkan.

Dalam politik tidak ada kata yang bermakna tunggal. Itulah hebatnya dunia politik. Penuh dengan ketidakpastian, bias, ambigu, dan acapkali menampilkan kedunguan serta kelucuan.

Hilirisasi etika yang dimaksudkan di sini adalah proses menjadikan etika sebagai muara dari semua tindakan politik. Politik dalam ranah ideal harus mematri norma-norma etika dan moralitas dari hulu sampai ke hilir.

Tidak boleh ada satupun ruang proses politik yang melanggar standar etika. Proses politik yang etis juga harus sejalan dengan individu politisi yang menjunjung tinggi etika dalam laku lampahnya. Elok basanya dalam kehidupan.

Keelokan basa tentu bisa dicitrakan. Namun, berapa lama bisa bertahan dengan citra yang dipoles?

Karakter dan tabiat asli akan selalu mencari jalan keluarnya sendiri. Satu per satu di saat yang tepat, karakter dan watak yang tidak dipoles dengan citra itu akan dipertontonkan sendiri, disadari atau tidak.

Nasihat-nasihat etika dan moralitas dalam politik kerap disangkakan hanya sebagai pikiran-pikiran kaum tua konservatif (sedikit idealis).

Berlindung di balik status anak muda, milenial, dan sedikit kekuasaan, seseorang bisa saja menciptakan standar etika baru.

Bid’ah-bid’ah etika dan moralitas bisa saja lahir kapanpun selama dibutuhkan untuk merebut kekuasaan. Apalagi disokong oleh basis fandom (pendukung) yang kuat secara kuantitatif, namun terkadang abai dengan kualitas.

Etika fandom

Jika setuju dengan istilah hilirisasi etika, maka etika harus menjadi ikatan bersama dalam setiap proses politik. Politik dengan segala proses dan semua orang yang terlibat di dalamnya harus punya panduan etika dan moral.

Politisi dan para pendukungnya harus sama-sama bermoral dan etis. Lagi-lagi, terlalu ideal rasanya ujaran itu. Menuntut etika bagi fandom sama sulitnya dengan menuntut etika para politisi.

Citra-citra politisi dan fandomnya sering dijumpai dalam wujud yang lampas dan buruk laku. Seharusnya, tidak perlu ada ekspektasi tentang etika dan moralitas pada pelaku politik, baik itu politisinya, lebih-lebih lagi kepada para pendukungnya. Itu hanya membebani mereka.

Rumusan sederhananya, fandom politik itu adalah orang-orang yang butuh hiburan. Orang yang butuh hiburan tidak boleh diberikan fakta dan kenyataan. Itu akan merusak imajinasi mereka.

Benamkan saja fandom itu terus-terusan dalam dunia khayal, maka mereka akan ekstase dengan fantasinya. Begitulah rumus hidup para pendukung politisi.

Fakta bagi mereka hanya pemutus kesenangan. Logika tidak dibutuhkan dalam mendukung, karena itu menghalangi pemberhalaan terhadap tokoh.

Hal yang ajek dalam politik fandom adalah menutup mata, menghilangkan fakta, dan mengaburkan logika. Kalau sudah begitu, sesalah apapun yang dilakukan tokoh yang didukungnya, bisa dicarikan alasan pembenarnya. Tentu saja pembenaran yang dibungkus dengan etika dan moralitas.

Apapun yang dilihat dari pertunjukan politik, anggap saja sebagai atraksi penarik suara. Karena tujuan akhir dari segala yang dipertontonkan adalah usaha meraih tampuk kekuasaan.

Soal moral, adab, dan etika itu soal lain. Simpan saja di saku-saku sebagai konsep pidato yang dibacakan dengan khidmat jika dibutuhkan.

Politik membutuhkan gimmick, tetapi jangan terlalu berlebihan. Jika sudah dipandang berlebihan, maka bisa disebut sebagai usaha untuk menutupi kekosongan ide.

Alangkah anehnya menuntut moral dan etika pada orang yang sedang berebut kuasa. Kepala mereka sudah dipenuhi ide taktis pemenangan, tak sempat lagi belajar adab dan etika.

Ada ungkapan terkenal di kalangan santri, “adab di atas ilmu”. Sepertinya ungkapan itu hanya bisa dipahami oleh manusia yang berproses, bukan manusia yang dikarbit supaya matang.

Mungkin sudah saatnya kita mulai campin melafalkan kata hilirisasi, hilirisasi etika dalam berpolitik.

Tag:  #hilirisasi #etika #politik

KOMENTAR