Hari Pahlawan dan Jasa Besar Orang-orang Tionghoa di Medan Perang Surabaya...
- Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 merupakan salah satu babak heroik dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pertempuran besar ini melibatkan ribuan pejuang dari berbagai kalangan yang bersatu mempertahankan kemerdekaan.
Tak hanya rakyat pribumi, masyarakat Tionghoa turut memainkan peran penting dalam mempertahankan Surabaya dari serangan tentara Inggris.
Bermula dari terbunuhnya Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby pada 30 Oktober 1945, pertempuran ini memuncak ketika Inggris mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Indonesia.
Namun, alih-alih menyerah, rakyat Surabaya bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan masyarakat dari berbagai latar belakang, termasuk masyarakat Tionghoa, melawan dengan gagah berani. Berikut perjalanan dan kontribusi besar masyarakat Tionghoa dalam pertempuran ini.
Ikut perang dengan senjata Jerman
Seperti diceritakan dalam buku berjudul "Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran, Sejak Nusantara Sampai Indonesia (2014)" karya Iwan Santosa, peran masyarakat Tionghoa cukup besar kala itu.
Mereka ikut angkat senjata hingga mengumpulkan bantuan kemanusiaan dalam pertemuan yang terjadi sekitar kurang lebih tiga minggu tersebut.
Dalam bukunya Iwan mengungkapkan, sejumlah surat kabar turut memuat peran masyarakat Tionghoa pada kala itu.
Salah satunya tertulis di Harian Merdeka, saat menerbitkan Majalah Merdeka untuk memperingati 6 bulan kemerdekaan RI tanggal 17 Februari 1946.
Harian Merdeka memberinya judul "Pendoedoek Tionghoa Membantoe Kita".
"Dijelaskan betapa 'Rakjat Tionghoa poen insjaf akan hal ini. Dengan bekerdja bersama, bahoe-membahoe dengan bangsa Indonesia, rakjat Tionghoa toeroet berdjoeang di Soerabaja oentoek Indonesia Merdeka'," jelas Iwan dalam bukunya, dilansir Kompas.com, Rabu (29/1/2025).
Untuk perlawanan, sebagian Tionghoa di Surabaya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Chungking dengan bendera kebangsaan Tiongkok.
Pasukan mereka dilengkapi dengan helm Jerman atau Fritz Helmet yang biasanya digunakan oleh militer Jerman.
Begitu pula senapan Karaben (Kar) 98-K yang sempat dipasok Nazi Jerman di tahun 1930-an ke Pemerintah Chungking (Kuomintang), sebelum Jerman akhirnya bersekutu dengan Jepang dan memutus bantuan militer ke Tiongkok.
Harian Merdeka juga memperlihatkan empat foto sebagai bukti adanya persatuan antara masyarakat Indonesia dan Chungking kala itu.
Tak hanya itu, masyarakat Tionghoa membentuk Barisan Palang Merah Tionghoa di Surabaya, yang bertugas untuk memberikan pertolongan kepada para korban pertempuran.
Mereka tak kenal suku maupun ras saat memberikan pertolongan, semua "pasien" yang datang, diterima. Mobil palang merah itu pun terlihat mengibarkan bendera Chungking dan Merah Putih.
Kontribusi di berbagai lini
Bukan cuma di Surabaya, masyarakat Tionghoa juga mendirikan Angkatan Muda Tionghoa (AMT) di Kota Malang. Tugas dan fungsinya sama seperti di Surabaya, yakni mendukung kemerdekaan Indonesia.
Ada pula Palang Biru, yang didirikan para pemuda tionghoa yang sempat dilatih dalam kebotai semasa pendudukan Jepang.
Kemudian, satuan medis yang telah dibentuk itu lalu diberangkatkan, atas persetujuan pimpinan Rumah Sakit (RS) Militer Malang, Dokter Imam dan wakilnya, Sumarno.
AMT dan Palang Biru juga bertugas memasok ransum bagi para pemuda yang bertempur.
"Siauw Giok Bie dan Siauw Giok Tjhan terlibat dalam operasi tersebut. Mereka beroperasi hingga kawasan Jembatan Merah dalam Pertempuran Surabaya," tutur Iwan.
Tak berhenti di sana, beberapa pemuda Tionghoa di Malang juga bergabung dalam Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) pimpinan Bung Tomo.
Mereka di antaranya adalah Giam Hian Tjong dan ahli amunisi dan peledak Auwyang Tjoe Tek.
Beberapa pemuda Tionghoa asal Minahasa lainnya menggabungkan diri dalam Kesatuan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS).
"Siauw Giok Tjhan mencatat beberapa pemuda Tionghoa kemudian mendapat "Bintang Gerilya" karena peran lebih lanjut dalam menghadapi Agresi I dan Agresi II dalam Perang Kemerdekaan di Malang Raya," bebernya.
Buka 10 pos dengan 600 paramedis
Dalam buku yang sama, Iwan juga memaparkan isi dari majalah terbitan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) edisi 9 Bulan Desember 2001.
Majalah itu mencatat bahwa Palang Merah Tionghoa membuka 10 pos dengan 11 dokter, berikut 600 paramedis dalam pertempuran 10 November 1945. Pembiayaan dipikul oleh organisasi Chung Hua Chung Hui.
Kala itu, pertahanan Indonesia di Surabaya dibagi menjadi tiga titik, yakni Barat yang dipimpin Koenkijat, tengah dipimpin Kretarto dan Marhadi, dan Timur dipimpin Kadim Prawirodihardjo.
Di malam hari, pasukan ikut menyerbu sarang tentara Inggris dan Gurkha. Kemudian pada pukul 22.00 saat itu, salah seorang warga Tionghoa berpidato dalam bahasanya, bahasa Mandarin, bahwa korban dari kalangan Tionghoa sangat besar sehingga perlu desakan untuk membentuk TKR Tionghoa.
Berjuang bersama, gugur bersama
Pertempuran sudah pasti memakan banyak korban. Rumah sakit yang beroperasi di Surabaya dipenuhi korban, yang sebagiannya adalah warga Tionghoa Surabaya.
Korban-korban yang berjatuhan ini juga diberitakan oleh Reuters, yang menyebut bahwa ribuan orang Indonesia menjadi korban dari serbuan militer sekutu yang meliputi berbagai ras, Tionghoa, Indo-Belanda, dan India.
Panglima Sekutu, Jenderal Christison, kemudian tak suka jumlah korban pembunuhan massal itu dibesar-besarkan. Menurut dia, jumlah korban karena serangan itu tidak lebih dari 1.000 orang.
Di sisi lain, Radio Pemberontak di Surabaya turut mewartakan terjadi pengeboman yang membabi buta sehingga menjatuhkan banyak penduduk Tionghoa, terutama yang tinggal di Kramat Gantung.
Pemimpin tentara pemberontakan rakyat pun menyeru kepada penduduk Tionghoa seluruh Jawa untuk menyusun "Tentara Keamanan Penduduk Tionghoa" dan mengibarkan bendera Tiongkok sebagai panji-panji Perang.
Lalu pada tanggal 18 November 1945, Kantor Palang Merah Tionghoa ditembaki sekutu hingga seorang pengurus tewas. Akibat agresi Sekutu di Surabaya, ada sekitar 1.000 penduduk Tionghoa tewas dan 5.000 lainnya luka-luka.
Jumlah itu tidak termasuk masyarakat indonesia yang juga banyak tumbang. Insiden ini mengundang protes Presiden ke-1 RI, Soekarno pada tanggal 11 November 1945.
"Surabaya telah ditembaki dan dibom secara kejam oleh tentara Inggris. Laporan resmi yang memastikan jumlah korban belum diterima. Nyata ribuan mati dan luka-luka termasuk perempuan dan anak-anak," kata Soekarno dalam protesnya, dikutip dari buku.
Pertempuran tercatat berakhir tanggal 28 November 1945 di Gunung Sari. Korban tentara dan rakyat Surabaya mencapai 20.000 orang dan korban di pihak Sekutu mencapai 1.500 jiwa.
Catatan resmi pihak Inggris dalam Kronik Revolusi Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer mengklaim jumlah korban penduduk Indonesia di Surabaya mencapai 6.315 jiwa.
Pertempuran Surabaya adalah pertempuran terakhir yang dihadapi militer Inggris saat Perang Dunia II. Inggris kehilangan dua jenderal dalam pertempuran Surabaya, yakni Brigadier General Aubertin Walther Sothern (A.W.S.) Mallaby dan Brigadier General Robert Guy Loder Symonds yang kini dimakamkan di Menteng Pulo, Jakarta.
Kini, pemerintah Indonesia menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan Nasional, merujuk pada puncak perlawanan di pertempuran Surabaya.
Tag: #hari #pahlawan #jasa #besar #orang #orang #tionghoa #medan #perang #surabaya