Pagar Laut dan Pagar Konstitusi
PERISTIWA pagar laut yang mencuat belakangan “menyeret” ingatan kita tentang negara yang telah didudukkan oleh Konstitusi sebagai pengelola utama sumber daya alam.
Sebagai entitas berdaulat, negara memikul amanah untuk memastikan bahwa kekayaan alam tetap milik rakyat dan bukan komoditas eksklusif.
Konstitusi kita menekankan bahwa pengedalian dan pengelolaan sumber daya alam, prioritasnya adalah untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Negara harus menjamin agar masyarakat tetap bisa berinteraksi dengan alam sebagai bagian dari kehidupan mereka, bukan sekadar mengejar optimalisasi profit.
Peristiwa “pagar laut” yang mendapat sorotan luas dan kontroversial harusnya menyadarkan para aktor negara agar tidak begitu mudah memindahkan amanah konstitusional pengelolaan kekayaan alam dari tangan negara ke tangan korporasi. Harus dihitung secara cermat dampak yang timbul.
Sudah barang tentu negara butuh mitra dari kalangan korporasi untuk mengelola sumber daya alam. Namun, sebagaimana dimaklumi bersama, tata kelola sumber daya alam oleh korporasi selalu dijalankan di atas logika mesin keuntungan.
Tidak salah dengan logika tersebut, karena “ritme hukum besi dagang” memang seperti itu. Namun, negara tidak pantas ketika mengutamakan diri menjadi fasilitator dari proses ini, karena mengingkari kontrak sosial dengan rakyat dan mempersempit ruang hidup masyarakat kurang berdaya.
Kehilangan daya tawar
Norma Konstitusi kita tentang tata kelola kekayaan alam meminta agar negara memegang kendali atas sumber daya vital dan strategis, supaya negara tidak kehilangan daya tawar.
Ketika kendali sumber daya alam beralih secara radikal ke korporasi, pemerintah akan terpasung.
Negara akan terjebak dalam posisi subordinat terhadap kepentingan bisnis, tidak lagi menjadi penjamin hak-hak rakyat atas kekayaan alam. Negara akan beralih fungsi dari pelindung kesejahteraan rakyat menjadi pelayan modal.
Kita mungkin selalu berdalih bahwa pengelolaan sumber daya alam oleh korporasi merupakan solusi atas ketidakmampuan negara untuk mengelola kekayaan alam secara efisien.
Bahkan, sangat sering kita menggelorakan narasi bahwa negara lamban, birokratis, tidak efisien, dan terlalu boros untuk mengelola kekayaan alam.
Narasi ini bukan sekadar mengerdilkan fungsi negara, tetapi juga mengaburkan fakta bahwa efisiensi korporasi tidak jarang mengorbankan masyarakat adat, ekosistem lokal, dan juga hak-hak pekerja. Hal ini sudah sangat kasat mata.
Betul bahwa kita butuh investasi dan pertumbuhan. Namun, pertimbangkan bahwa pertumbuhan yang didorong oleh eksploitasi sumber daya alam sering kali bersifat temporer.
Ketika sumber daya habis, kerusakan lingkungan timbul, dan masyarakat lokal kehilangan mata pencaharian, siapa yang akan menanggung bebannya? Korporasi? Tentu tidak.
Akhirnya, dengan anggaran yang terbatas dan morat-marit, negara tergopoh-gopoh memungut kembali reruntuhan yang ditinggalkan.
Nelayan dan perahu reyot
Mudah-mudahan imajinasi ini tidak mewarnai pikiran keumuman kita. Kita membayangkan seorang nelayan kecil dengan perahu reyot yang mengarungi laut tanpa strategi bisnis yang jelas.
Ia hanya memikirkan hari ini, ikan apa yang bisa ia tangkap, dan bagaimana keluarganya bisa makan nanti sore.
Muncullah nyinyiran, apa kontribusi makroekonomi dari tindakan nelayan seperti itu?
Tidak ada laporan dan tidak ada grafik pertumbuhan. Laut, dengan segala potensi keuntungan ekonominya, jelas terlalu berharga untuk diserahkan pada “tangan-tangan lemah” yang hanya mencari sesuap nasi dan tidak berdampak luas.
Lalu, muncullah imanjinasi nakal lanjutan, lisensi penggunaan laut harus dibuat eksklusif, hanya untuk mereka yang mampu mengelolanya dengan visi global dan keuntungan signifikan.
Doktrin kuno bahwa laut milik bersama kita nihilkan karena mengganggu signifikansi keuntungan. Sudah saatnya laut “dipagari secara eksklusif”, bahkan kalau perlu harus birokratis.
Air laut yang dulunya dianggap tak berbatas kini harus dihitung dalam liter, setiap mil lautnya harus ditakar dengan neraca keuangan. Keadilan sosial bukan hal prioritas lagi, tapi keuntungan dan efisiensi ekonomi lebih penting dan mendesak.
Parahnya lagi, kita berimajinasi bahwa nelayan tradisional dengan jaring usang hanya menangkap ikan yang salah ukuran dan tanpa menghitung dampak ekologisnya.
Sebaliknya, korporasi besar memiliki data satelit, algoritma canggih, dan memiliki komitmen ramah lingkungan. Jadikan saja mereka pekerja upahan dalam kapal-kapal modern.
Pikiran imajinatif itu tampak logis, tapi menyesatkan. Jangan dijadikan cara dan kerangka berpikir dalam mengelola sumber daya alam kita.
Konstitusi kita “menormakan” bahwa akses ke laut bukan hak istimewa, melainkan hak dasar. Konstitusi kita tidak memberikan pijakan pemahaman bahwa hanya mereka yang memenuhi standar efisiensi yang layak mendekati garis pantai.
Betul bahwa laut adalah aset strategis, sumber daya ekonomi yang harus dikelola dengan profesionalisme, karena setiap tetes air laut bernilai rupiah.
Namun, jangan sampai rakyat biasa dinihilkan karena mereka dianggap tidak memahami manfaat besar laut. Lalu kita membuat barikade eksklusif untuk mencegah "penyalahgunaan rakyat biasa" atas laut yang penuh “cuan”.
Ketika sumber daya alam tidak dikendalikan sesuai norma Konstitusi, dieksploitasi secara eksklusif, generasi mendatang akan kehilangan akses ke sumber daya yang sudah terkuras. Tidak ada jaminan bahwa mereka akan menikmatinya setelah kita.
Sekalipun korporasi “bernyanyi” bahwa mereka memiliki komitmen keadilan ekologis dalam bentuk program yang menjamin keberlanjutan sumber daya alam, tapi tetap mereka memperlakukan hal itu hanya isu sekunder dibandingkan laba usaha.
Logika dasar korporasi adalah melakukan kebijakan dan tindakan keberlanjutan ekologis sejauh hal itu tidak memengaruhi margin keuntungan mereka secara signifikan.
Tag: #pagar #laut #pagar #konstitusi