Kenapa Tiap Orang Berbeda dalam Menghadapi Stres? Ini Kata Psikolog
Setiap orang pasti pernah mengalami stres, entah karena pekerjaan, hubungan, pendidikan, atau tekanan sehari-hari.
Namun, menariknya, respons tiap orang terhadap stres bisa sangat berbeda.
Ada yang tetap tenang dan produktif, ada pula yang langsung cemas, overthinking, atau mudah lelah.
Psikolog Silviani, M.Psi., dari RS Dr. Soeharto Heerdjan, menjelaskan bahwa perbedaan ini bukan sekadar soal kuat atau tidaknya seseorang.
"Oke, baik kalau terkait dengan stress sendiri, memang sebenarnya stress itu respon yang wajar ya. Karena kita menghadapi situasi yang mungkin sulit gitu. Situasi yang mengancam atau yang mungkin tidak bisa terprediksi gitu. Sehingga akhirnya muncul stress," ujar Psikolog Silviani dikutip dari siaran langsung radio Kemenkes, dikutip Selasa (11/11/2025).
Ada banyak faktor yang memengaruhi cara kita menanggapi stres, termasuk pengalaman hidup, kepribadian, hingga kondisi fisik.
Stres itu wajar, kenali bentuknya
Silviani menegaskan bahwa stres adalah respons alami tubuh ketika menghadapi situasi sulit, menekan, atau tak terprediksi.
Stres juga bisa muncul secara fisik, misalnya gemetar, sakit perut, atau mudah lelah, serta dalam bentuk pikiran seperti kekhawatiran dan asumsi negatif.
Tidak semua stres bersifat buruk. Ada yang disebut eustress, yaitu stres positif yang justru meningkatkan motivasi dan membuat seseorang lebih produktif.
Sebaliknya, distress adalah stres negatif yang membuat seseorang kewalahan dan tidak nyaman.
Perbedaan persepsi inilah yang menjadi awal mengapa respons tiap orang terhadap stres bisa bervariasi.
Kenapa respons setiap orang berbeda dalam menghadapi stres?
1. Kepribadian berperan besar
Menurut Silviani, kepribadian seseorang memengaruhi bagaimana ia menilai dan menghadapi tekanan.
Orang yang optimis cenderung melihat stres sebagai tantangan yang bisa diatasi.
Orang dengan kecenderungan cemas atau perfeksionis lebih mudah merasa terancam dan khawatir berlebihan.
Kepribadian membentuk pola pikir, dan pola pikir menentukan apakah stres direspons sebagai peluang atau ancaman.
2. Pengalaman hidup mempengaruhi cara pandang
Pengalaman masa lalu juga memiliki efek yang kuat.
Jika seseorang pernah mengalami situasi yang tidak menyenangkan, misalnya sering dihakimi atau dipermalukan ketika membuat kesalahan, maka stresor kecil sekalipun bisa terasa berat.
Sebaliknya, orang yang terbiasa menghadapi masalah dan mencari solusi, biasanya lebih terlatih dalam mengelola stres di masa kini.
Yang menarik, menurut Silviani, tingkat kedewasaan usia tidak menjamin kemampuan mengatasi stres.
Ada orang yang lebih tua tetapi tetap kewalahan karena terbiasa membiarkan stres menumpuk tanpa penyelesaian.
3. Dukungan sosial turut membantu
Kehadiran teman, keluarga, atau pasangan sering menjadi penyangga stres.
Ketika seseorang tidak punya tempat bercerita atau tidak tahu harus meminta bantuan ke siapa, stres yang dirasakan bisa jauh lebih berat.
Dukungan sosial memberi rasa aman, validasi, dan ruang bagi seseorang untuk mengekspresikan emosinya.
4. Kondisi fisik juga berpengaruh
Silviani mengingatkan bahwa tubuh dan pikiran bekerja saling berkaitan.
Orang yang sedang lelah, sakit, atau memiliki masalah kesehatan tertentu (misalnya pencernaan sensitif) biasanya lebih mudah terpicu stres.
Ketika tubuh sudah kewalahan, kemampuan untuk berpikir jernih otomatis berkurang.
5. Keterampilan mengelola emosi berbeda-beda
Setiap orang memiliki kemampuan coping yang berbeda. Ada yang bisa mengatur emosi, mengenali kebutuhan diri, atau memecahkan masalah dengan cepat.
Ada pula yang cenderung menahan emosi sampai akhirnya menumpuk.
Silviani menyebut dua jenis coping yang umum digunakan, yaitu:
- Problem-focused voping
Fokus pada penyelesaian masalah secara langsung. Contohnya, menyiapkan materi presentasi lebih baik jika stres menghadapi atasan.
- Emotion-focused coping
Fokus pada menenangkan emosi terlebih dahulu.
Misalnya, menarik napas, menangis, menulis jurnal, atau menenangkan tubuh sebelum mencari solusi.
Keduanya penting dan saling melengkapi.
Relaksasi bukan sekadar cara menenangkan diri. Psikiater menjelaskan, teknik sederhana ini bisa bantu menurunkan stres.
Kunci menghadapi stres dengan mengenali diri
Menurut Silviani, inti dari perbedaan respons stres adalah kemampuan seseorang mengenali dirinya sendiri.
Apa yang dirasakan tubuh? Emosi apa yang muncul? Apa yang sebenarnya dibutuhkan?
Dengan memahami sinyal tubuh dan pikiran, seseorang bisa memilih cara coping yang tepat dan mencegah stres menjadi kronis.
“Stresor tidak akan hilang dari hidup kita. Namun ketika tahu cara mengelolanya, kita bisa tetap berdaya,” ujar Silviani.
Setiap orang menghadapi stres dengan cara berbeda karena dipengaruhi oleh kepribadian, pengalaman hidup, dukungan sosial, kondisi fisik, dan kemampuan mengelola emosi.
Tidak ada satu cara yang cocok untuk semua, tetapi memahami diri sendiri adalah langkah pertama untuk membuat stres lebih mudah ditangani.
Tag: #kenapa #tiap #orang #berbeda #dalam #menghadapi #stres #kata #psikolog