



Cinta Saja Tak Cukup: Rahasia Pernikahan Tangguh Orangtua ABK
Oleh: Vanesa Aprilia Gozali, Naomi Soetikno, dan Fransisca Iriani Roesmala Dewi*
PERNIKAHAN tidak hanya tentang janji setia dan cinta yang manis. Di kehidupan nyata, ia adalah ruang tumbuh bersama tempat dua individu menghadapi badai kehidupan, sambil tetap belajar saling merangkul dan menggenggam tangan satu sama lain.
Salah satu badai yang paling mengguncang, tapi jarang dibicarakan secara mendalam, adalah saat pasangan menjadi orangtua dari anak berkebutuhan khusus (ABK).
Diagnosis anak sering kali datang tiba-tiba, seperti petir di siang bolong, mengguncang harapan, dan mengubah arah hidup pasangan secara drastis.
Aktivitas sehari-hari bergeser dari rutinitas keluarga biasa menjadi serangkaian terapi, jadwal medis, dan perjuangan melawan stigma sosial.
Tak jarang, salah satu pasangan harus merelakan karier, terputus dari relasi sosial, atau menghadapi tekanan psikologis tidak ringan.
Di tengah beban fisik dan emosional itu, pasangan dituntut bukan hanya kuat sebagai individu, tetapi juga solid sebagai satu tim.
Namun, realitanya, banyak yang merasa tersesat, lelah, bahkan mulai saling menyalahkan. Ada luka yang tumbuh diam-diam tidak terlihat oleh dunia, tapi terasa mengikis dari dalam.
Ketegangan yang tak tertangani bisa menggerus kepuasan dalam pernikahan, pelan tapi pasti. Dalam situasi seperti ini, dukungan pasangan menjadi fondasi penting untuk menjaga ketahanan relasi.
Dukungan yang menyembuhkan luka tak terlihat
Dukungan pasangan bukan sekadar berbagi tugas, tetapi berbagi beban emosional, menjadi tempat berlabuh, dan memberi ruang untuk bernafas tanpa dihakimi.
Penelitian menunjukkan bahwa pasangan yang saling memberi dukungan emosional dan validasi cenderung memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang lebih tinggi terutama ketika mereka menghadapi krisis bersama, seperti membesarkan ABK.
Menurut Dorio (2009), terdapat empat bentuk utama dukungan pasangan:
- Dukungan emosional: kehadiran empatik, pelukan hangat, atau sekadar mendengarkan tanpa menghakimi.
- Dukungan instrumental: bantuan nyata seperti menggantikan tugas rumah, mengantar anak terapi, atau berbagi tanggung jawab pengasuhan.
- Dukungan informasional: memberi saran relevan atau membantu dalam proses pengambilan keputusan.
- Dukungan apresiatif: memberi validasi atas usaha pasangan, memperkuat rasa percaya diri dan keberhargaan diri.
Ketika keempat bentuk dukungan ini hadir secara konsisten, pasangan tidak hanya merasa didampingi, tetapi juga dihargai dan dimengerti dua kebutuhan emosional yang esensial dalam hubungan jangka panjang.
Tanpa dukungan ini, kelelahan bisa berubah jadi keterasingan; dan keterasingan bisa menjadi awal dari perpisahan yang sunyi.
Sayangnya, meski niat untuk mendukung ada, cara menyampaikannya sering kali tidak tepat sasaran. Banyak konflik rumah tangga bermula bukan dari perbedaan prinsip, tetapi dari komunikasi yang tersumbat.
Keluhan diterima sebagai serangan. Permintaan terdengar seperti tuduhan. Apalagi dalam konteks pengasuhan anak berkebutuhan khusus, tekanan yang tinggi sering kali memperpendek kesabaran dan memperlebar jarak.
Salah satu pendekatan sederhana, tapi sangat efektif dalam komunikasi pasangan adalah penggunaan I-message. Pendekatan ini menekankan pada ekspresi perasaan dan kebutuhan pribadi tanpa menyalahkan orang lain.
Alih-alih berkata, “Kamu nggak pernah bantu aku mengurus anak!”, yang bisa memicu rasa bersalah atau defensif, cobalah berbicara “Aku merasa kewalahan dan kesepian akhir-akhir ini. Aku butuh lebih banyak bantuanmu, khususnya saat malam hari setelah jadwal terapi anak.”
Dalam pernyataan ini, pasangan tidak diserang, tetapi diajak memahami perasaan dan kebutuhan pasangannya. Fokusnya bukan pada kesalahan masa lalu, melainkan pada solusi yang bisa dilakukan bersama di masa kini.
Kunci dari I-message adalah tiga komponen:
- Perasaan: “Aku merasa sedih/marahan/lelah…”
- Situasi atau perilaku yang memicu: “…karena aku harus mengurus semua sendiri akhir-akhir ini…”
- Kebutuhan atau permintaan: “…dan aku ingin kamu lebih terlibat, setidaknya selama sesi terapi atau malam hari.”
Metode ini sangat membantu karena:
- Membangun empati, bukan rasa malu atau bersalah.
- Menghindari labeling seperti “kamu egois” atau “kamu malas”, yang sering membuat pasangan jadi menutup diri.
- Membuka ruang dialog dua arah, bukan sekadar penghakiman satu arah.
Dalam rumah tangga yang menghadapi tekanan tinggi, seperti saat membesarkan ABK, I-message bukan sekadar teknik komunikasi. Ia adalah jembatan agar luka bisa dibicarakan tanpa memperparahnya.
Penelitian Gottman (2015) juga memperkuat pentingnya komunikasi terbuka dan empatik dalam menjaga keberlangsungan pernikahan.
Komunikasi yang sehat bukan tentang banyak bicara, tetapi tentang kemampuan untuk hadir secara utuh, mendengar tanpa menginterupsi, dan merespons tanpa ingin segera membetulkan.
Pernikahan: Antara cinta dan kehadiran
Pernikahan yang sehat bukan berarti tanpa konflik. Justru, pasangan yang kuat adalah mereka yang berani menghadapi perbedaan, berdamai dengan kekacauan, dan tetap memilih untuk hadir satu sama lain, bahkan ketika dunia terasa terlalu berat.
Dalam pengasuhan ABK, kehadiran sebagai pasangan kerap tersingkir oleh peran sebagai orangtua. Jadwal terapi menggantikan waktu kencan. Diskusi medis menenggelamkan percakapan intim.
Kehidupan seks, relasi sosial, hingga humor kecil dalam rumah tangga perlahan memudar. Tanpa disadari, pernikahan ikut menjadi "korban pendamping".
Sudah saatnya kita, sebagai masyarakat, berhenti menggampangkan ketangguhan pasangan orangtua ABK. Di balik senyum mereka, ada lelah yang tak terucap.
Dukungan psikososial terhadap pasangan tidak boleh dianggap pelengkap, tetapi bagian inti dari intervensi jangka panjang sejajar pentingnya dengan terapi anak.
Mungkin pertanyaan yang lebih penting untuk ditanyakan hari ini bukanlah: “Apakah kita masih mencintai pasangan kita?”, melainkan: “Sudahkah kita benar-benar hadir untuk pasangan kita hari ini dengan cara yang mereka butuhkan?”
Karena cinta bisa tetap ada. Namun, ketidakhadiran yang terus-menerus bisa membuat dua hati terasa sangat jauh. Dan di tengah perjuangan membesarkan ABK, kehadiran satu sama lain bisa menjadi hadiah paling menyembuhkan.
*Vanesa Aprilia Gozali, Mahasiswa Fakultas Psikologi UNTAR
Naomi Soetikno dan Fransisca Iriani Roesmala Dewi, Dosen Fakultas Psikologi UNTAR
Tag: #cinta #saja #cukup #rahasia #pernikahan #tangguh #orangtua