



Pagi Hari, Waktu Emas Keluarga yang Rawan Hilang jika Sekolah Terlalu Pagi
– Kebijakan masuk sekolah pukul 06.30 di Jawa Barat yang diinisiasi oleh Gubernur Dedi Mulyadi kembali memicu perbincangan publik.
Meski bertujuan menanamkan kedisiplinan dan efisiensi waktu, kebijakan ini memunculkan kekhawatiran soal dampaknya terhadap kesehatan mental anak dan dinamika keluarga di pagi hari.
Menurut psikolog dan pemerhati anak serta perempuan, Arida Nuralita, S.Psi., M.A., Psikolog, pagi hari adalah momen penting untuk membangun kedekatan emosional antara orangtua dan anak.
“Menanamkan nilai, kebiasaan, dan etika baik itu bukan hanya tanggung jawab sekolah, tapi juga orangtua. Pagi hari adalah waktu yang tepat untuk bonding dengan anak,” ujar Arida saat dihubungi Kompas.com, Minggu (8/6/2025).
Ia menambahkan, ketika anak harus berangkat terlalu pagi, suasana rumah cenderung akan berubah menjadi terburu-buru, penuh tekanan, dan minim interaksi hangat.
“Menanamkan nilai itu seharusnya dilakukan dalam suasana tenang. Sarapan tanpa terburu-buru, berangkat sekolah dengan perasaan siap dan rileks,” lanjutnya.
Pagi yang Terlalu Dini Bisa Jadi Beban
Arida mengingatkan kebijakan jam masuk sekolah tidak bisa digeneralisasi. Kondisi geografis dan sosial ekonomi masyarakat harus menjadi pertimbangan. Terutama bagi anak yang harus menempuh perjalanan jauh ke sekolah.
“Kalau rumahnya jauh, anak harus berangkat jam lima pagi saat matahari belum terbit. Itu artinya mereka harus bangun sangat pagi, kurang tidur, sarapan terburu-buru, dan sampai sekolah dalam kondisi belum siap belajar,” jelasnya.
Menurut Arida, tekanan berlebih di pagi hari bisa memengaruhi kondisi mental anak. Belajar dalam suasana negatif membuat mereka kesulitan menyerap pelajaran secara optimal.
Pagi Hari adalah Waktu yang Bermakna bagi Keluarga
Tak hanya berdampak pada anak, orangtua juga bisa terkena imbasnya. Bagi keluarga yang punya waktu terbatas untuk berkumpul, pagi hari kerap menjadi momen yang tepat untuk bisa bertemu, ngobrol, dan memberi perhatian pada anak.
“Kesempatan bertemu dan bicara dengan anak itu tidak banyak. Pagi hari seharusnya jadi waktu yang hangat antara orangtua dan anak,” kata Arida.
Terutama untuk anak usia sekolah dasar, mereka masih membutuhkan pendampingan orangtua, termasuk saat sarapan.
“Sebagai ibu, saya pribadi merasa lebih tenang jika anak bisa sarapan dengan baik sebelum berangkat sekolah,” tambahnya.
Ketika waktu terlalu terburu-buru, sarapan akan menjadi serba cepat, bahkan hanya dibawa sebagai bekal tanpa dinikmati bersama.
Sisi Positif Menurut Psikolog
Meski demikian, Arida tidak menutup mata bahwa memulai hari lebih awal bisa membawa manfaat bila dikelola dengan bijak.
“Dampak positifnya mungkin, waktu belajar lebih pagi, selesai lebih awal. Ada asumsi otak juga lebih segar, sehingga anak-anak bisa lebih fokus,” ujarnya.
Ia juga menambahkan, masuk sekolah pagi bisa memberi waktu luang lebih banyak di sore hari untuk kegiatan non-akademik seperti olahraga, seni, atau istirahat, asalkan anak cukup tidur dan tidak berangkat dalam tekanan.
Namun, menurutnya, keberhasilan kebijakan semacam ini sangat tergantung pada kesiapan sistem: mulai dari transportasi yang aman, waktu tidur anak yang cukup, hingga kurikulum yang tidak langsung ‘menembak’ anak dengan materi berat sejak pukul 06.30 pagi.
“Kalau misalnya jam 6.30 anak harus masuk, tapi enggak langsung ditembak pakai materi akademik berat, itu bisa disiasati. Misalnya dengan ice-breaking, brain gym, atau sekadar menanyakan kabar anak,” saran Arida.
Tag: #pagi #hari #waktu #emas #keluarga #yang #rawan #hilang #jika #sekolah #terlalu #pagi