UU Kejahatan Siber Pakistan Dikritik karena Kerap 'Membungkam'
Dikutip dari Islam Khabar, Kamis (23/1/2025), UU tersebut dinilai tidak mampu menindak kriminalitas yang sesungguhnya di dunia maya.
Sistem ini sebenarnya dirancang untuk melindungi warga negara dari ancaman digital.
Namun, sering kali penegakan hukum melalui UU tersebut digunakan untuk membungkam jurnalis, aktivis, dan kelompok yang berbeda pendapat.
Selain itu, Islam Khabar menyoroti tingkat penegakan hukum yang buruk dari implementasi UU tersebut, yakni hanya kurang dari 5 persen berdasarkan Undang-Undang Pencegahan Kejahatan Elektronik (PECA). Hal ini menegaskan kegagalan penegakan hukum di dunia maya, sehingga prioritas penegak hukum digital di Pakistan patut dipertanyakan.
Sejak 2020, Badan Investigasi Federal (FIA) Pakistan telah menangkap lebih dari 7.020 orang atas tuduhan terkait kejahatan dunia maya. Namun, hanya 222 kasus yang menghasilkan putusan hukum.
Islam Khabar menyebut rendahnya putusan hukum ini menggambarkan kelemahan signifikan, khususnya dalam proses investigasi dan penuntutan.
Kondisi tersebut dinilai menunjukkan kurangnya mekanisme pengumpulan bukti yang kuat dalam dugaan kejahatan siber. Termasuk, sistem peradilan yang tidak mampu menangani kompleksitas kasus kejahatan dunia maya.
Membungkam Perbedaan Pendapat
Laporan Islam Khabar juga menyebutkan ada investigasi terhadap kejahatan dunia maya seperti penipuan finansial, pencurian identitas, dan pelecehan online, dirusak oleh penundaan dan inefisiensi.
Para korban sering kali melaporkan bahwa mereka harus menunggu pihak berwajib mengambil tindakan, dan itu memakan waktu yang cukup lama. Saat ada tanggapan pun, tindak lanjutnya kurang memadai.
Pakistan dengan 143 juta pelanggan internet, hanya ada 160 ribu aduan kejahatan siber dalam setahun. Jumlah tersebut bahkan diakui sangat rendah, karena setidaknya dapat melampaui 200 ribu aduan per tahun.
Islam Khabar melihat kurangnya laporan ini bukan menunjukkan rendahnya angka kejahatan siber, melainkan kurangnya kepercayaan pengguna internet terhadap sistem di Pakistan.
"Bagi negara yang mengalami peningkatan pesat dalam penetrasi internet dan aktivitas digital, inefisiensi ini bukan hanya merupakan kegagalan institusional; ini adalah risiko sosial yang semakin besar," tulis Islam Khabar.
Meski pelaku kejahatan siber sebenarnya menghindari keadilan, PECA semakin banyak digunakan untuk membungkam perbedaan pendapat. Di sisi lain, jurnalis dan aktivis sering kali menjadi pihak yang terpaksa menerima undang-undang ini, karena aktivitas mereka termasuk dalam ranah kebebasan berpendapat.
Penyalahgunaan PECA mencerminkan tren mengkhawatirkan: alih-alih berfungsi sebagai perisai untuk melindungi warga negara dari ancaman online, undang-undang tersebut malah digunakan sebagai pedang untuk melawan mereka yang menentang status quo.
Penargetan Jurnalis
Jurnalis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah Pakistan telah menjadi sasaran. Mereka dituding 'menyebarkan informasi salah' atau 'mencemarkan nama baik pejabat publik' secara online.
Aktivis yang mengadvokasi isu-isu hak asasi manusia dan lingkungan hidup juga menghadapi tuduhan serupa. Postingan mereka di media sosial dibidik, termasuk diteliti dan disalahartikan sebagai ancaman terhadap keamanan nasional.
Tindakan tersebut tidak hanya melemahkan prinsip kebebasan berekspresi, namun juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap aparat kejahatan siber.
Penargetan jurnalis di bawah PECA telah menimbulkan dampak buruk terhadap kebebasan pers di Pakistan. Ketakutan akan pembalasan telah memaksa banyak orang melakukan sensor diri, sehingga melemahkan kualitas jurnalisme investigatif.
Mereka yang terus-menerus melaporkan topik-topik sensitif sering kali menghadapi serangkaian pemberitahuan hukum, penangkapan, atau bahkan ancaman fisik. Dampak psikologis dari pelecehan ini tidak bisa dilebih-lebihkan, karena hal ini tidak hanya menghambat jurnalis individu, tetapi juga lanskap media yang lebih luas.
Misalnya, pada tahun 2021, jurnalis Asad Toor didakwa dengan PECA karena diduga membagikan konten “anti-negara” di media sosial. Meski tuduhan itu kemudian dibatalkan, insiden tersebut mengirimkan pesan jelas kepada pihak lain dalam profesi ini: perbedaan pendapat harus dibayar mahal.
Kasus-kasus seperti ini menyoroti bagaimana hukum digunakan bukan untuk melindungi namun untuk mengintimidasi.
Kredibitas Penegak Hukum Pakistan
Fokus FIA untuk membungkan perbedaan pendapat ketimbang memerangi ancaman siber, menimbulkan kekhawatiran serius.
Kejahatan siber di Pakistan mencakup berbagai aktivitas. Termasuk, peretasan, pelanggaran data, penipuan keuangan, dan pelecehan online. Kejahatan-kejahatan ini memengaruhi ribuan warga setiap hari. Hal ini menyebabkan kerugian finansial dan emosional yang signifikan.
Namun, kasus-kasus ini kurang mendapat perhatian ketimbang perkara yang melibatkan para kritikus negara. Salah satu masalahnya terletak pada penentuan prioritas sumber daya.
Daripada berinvestasi pada alat forensik canggih dan melatih personel untuk mengatasi kejahatan digital yang kompleks, pihak berwenang tampaknya lebih tertarik untuk memantau media sosial untuk mencari konten yang sensitif secara politik.
Fokus yang salah ini tidak hanya menghambat upaya melawan kejahatan siber, namun juga melemahkan kredibilitas lembaga penegak hukum di Pakistan.
Secara global, negara-negara yang bergulat dengan kejahatan dunia maya telah menyadari pentingnya menyeimbangkan penegakan hukum dengan perlindungan kebebasan sipil.
Negara-negara seperti Estonia dan Singapura telah mengembangkan kerangka kerja yang kuat untuk mengatasi ancaman dunia maya sekaligus memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam penegakan hukum.
Negara-negara ini telah banyak berinvestasi dalam infrastruktur keamanan siber, pelatihan khusus, dan kampanye kesadaran masyarakat—hal-hal yang sebagian besar tidak ada dalam pendekatan Pakistan.
Selain itu, praktik terbaik internasional menekankan perlunya definisi hukum yang jelas dan perlindungan prosedural untuk mencegah penyalahgunaan undang-undang kejahatan dunia maya.
Reformasi Komprehensif
Sayangnya, pasal di PECA digambarkan sebagai regulasi yang tidak jelas, memungkinkan penafsiran yang luas dan rentan untuk disalahgunakan.
Misalnya, istilah-istilah seperti “anti-negara” atau “pencemaran nama baik” tidak memiliki definisi yang tepat. Hal ini memberikan keleluasaan bagi pihak berwenang untuk menargetkan individu secara sewenang-wenang.
Aparat kejahatan dunia maya di Pakistan saat ini dinilai gagal memberikan keadilan. Dengan tingkat hukuman yang berada di bawah 5 persen dan rekam jejak yang menargetkan jurnalis dan aktivis, sistem ini memerlukan reformasi yang mendesak.
PECA, yang dirancang sebagai alat untuk melindungi warga negara Pakistan dari ancaman digital, malah menjadi senjata melawan perbedaan pendapat.
Mengatasi kelemahan aparat kejahatan siber di Pakistan memerlukan reformasi komprehensif. Dengan menyelaraskan kembali prioritasnya, berinvestasi dalam peningkatan kapasitas, dan mendorong akuntabilitas, Pakistan dapat mengubah penegakan kejahatan dunia maya menjadi kekuatan yang membawa kebaikan.
Sampai saat itu tiba, kebisingan yang dihasilkan para penegak hukum digital akan terus menutupi kurangnya pencapaian yang berarti dari mereka.
Tag: #kejahatan #siber #pakistan #dikritik #karena #kerap #membungkam