Didorong Krisis, Militer Israel Rekrut Gelombang Pertama Kaum Yahudi Ultra-Ortodoks ke Brigade IDF
Pria Yahudi Ultra-Ortodoks memblokir jalan raya selama protes terhadap perekrutan tentara di Bnei Brak, Israel, pada 27 Juni 2024. 
15:30
7 Januari 2025

Didorong Krisis, Militer Israel Rekrut Gelombang Pertama Kaum Yahudi Ultra-Ortodoks ke Brigade IDF

Militer Israel (IDF) telah mendaftarkan gelombang pertama sekitar 50 rekrutan ke dalam brigade ultra-Ortodoks barunya.

Perekturan kaum Yahudi Ultra-Ortodoks ini menyusul keputusan kontroversial rezim Israel untuk mengakhiri pengecualian dinas (wajib militer) mereka selama puluhan tahun.

Krisis personel militer dilaporkan menjadi latar belakang kenapa IDF akhirnya ikut memasukkan kaum Yahudi ultra-Ortodoks ke dalam militer.

"Pada akhir hari, sekitar 100 rekrutan ultra-Ortodoks tambahan akan didaftarkan untuk layanan cadangan," kata Pasukan Pertahanan Israel (IDF) pada Minggu (5/1/2025).

“Kedua kompi yang terdaftar hari ini menandai langkah awal dalam pembentukan brigade ultra-Ortodoks, tonggak penting dalam memperluas layanan sektor ultra-Ortodoks di IDF, terutama mengingat kebutuhan operasional yang timbul dari tuntutan perang,” bunyi pernyataan dari IDF.

Israel mulai merekrut orang-orang Yahudi ultra-Ortodoks (atau Haredi) yang sudah cukup umur untuk wajib militer setelah lebih dari setahun berperang – melawan Hamas, Hizbullah, dan kelompok lain yang didukung Iran di Timur Tengah – yang telah membuat militernya kewalahan.

Petugas polisi Israel bentrok dengan pria Yahudi Ultra-Ortodoks selama protes Ultra-Ortodoks menentang wajib militer pada 16 Juli 2024 di Bnei Brak, Israel. Bulan lalu, mahkamah agung negara tersebut mengeluarkan keputusan yang mengakhiri kebijakan pemerintah yang mengecualikan pria ultra-Ortodoks, atau Haredi, dari wajib militer. Wajib militer telah menjadi bagian besar dari kehidupan warga Israel, namun terdapat pengecualian bagi pria Haredi, yang justru melanjutkan studi Taurat secara penuh waktu. Petugas polisi Israel bentrok dengan pria Yahudi Ultra-Ortodoks selama protes Ultra-Ortodoks menentang wajib militer pada 16 Juli 2024 di Bnei Brak, Israel. Bulan lalu, mahkamah agung negara tersebut mengeluarkan keputusan yang mengakhiri kebijakan pemerintah yang mengecualikan pria ultra-Ortodoks, atau Haredi, dari wajib militer. Wajib militer telah menjadi bagian besar dari kehidupan warga Israel, namun terdapat pengecualian bagi pria Haredi, yang justru melanjutkan studi Taurat secara penuh waktu. (Itai Ron / Gambar Timur Tengah / Gambar Timur Tengah melalui AFP)

Pada bulan Juni, Mahkamah Agung memutuskan bahwa orang Yahudi ultra-Ortodoks tidak dapat dikecualikan dari dinas militer, sebagaimana yang telah terjadi sejak berdirinya Israel.

Namun langkah itu sangat tidak populer di kalangan komunitas yang mengandalkan dukungan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk koalisi pemerintahannya.

Ribuan orang Yahudi ultra-Ortodoks telah memprotes rancangan undang-undang tersebut dan beberapa bahkan menentangnya.

Pada bulan November, militer Israel mengeluarkan 1.126 surat perintah penangkapan bagi wajib militer yang tidak menanggapi rancangan perintah.

Sebagian besar penganut Yahudi ultra-Ortodoks tidak berpartisipasi dalam wajib militer negara tersebut.

Banyak pria Haredi menghabiskan sebagian besar masa muda mereka di luar dunia kerja , dan sebagai gantinya belajar di sekolah agama yang dikenal sebagai yeshivas, yang mereka anggap penting bagi pelestarian Yudaisme dan sama pentingnya bagi pertahanan Israel seperti militer.

Tetapi banyak orang Israel percaya bahwa semua warga negara Yahudi harus bertugas di militer, terutama selama masa perang.

Militer Israel mengatakan pada hari Minggu kalau mereka akan merekrut lebih banyak orang sepanjang bulan untuk bergabung dengan mereka yang telah direkrut dalam pelatihan dasar.

“Dalam persiapan pembentukan brigade, proses persiapan yang ekstensif telah dilakukan, yang meliputi identifikasi dan pelatihan personel, penyesuaian kebijakan, renovasi pangkalan pelatihan, dan penyesuaiannya untuk mengakomodasi gaya hidup ultra-Ortodoks,” kata IDF.

Pemukim Yahudi di Bandara Ben Gurion, Tel Aviv. Media berbahasa Ibrani, Haaretz menyatakan jumlah warga Israel yang bermigrasi ke luar negeri naik lima kali lipat sejak awal 2024. Pemukim Yahudi di Bandara Ben Gurion, Tel Aviv. Media berbahasa Ibrani, Haaretz menyatakan jumlah warga Israel yang bermigrasi ke luar negeri naik lima kali lipat sejak awal 2024. (khaberni/HO)

Eksodus ke Luar Negeri

Buntut perang yang kian memanas antara militer IDF dan Hamas beserta sekutunya, lebih dari 82.000 warga Yahudi meninggalkan negara Israel sepanjang tahun 2024.

Biro Pusat Statistik Israel mengatakan bahwa 82.700 orang meninggalkan Israel pada 2024. Jumlah ini melonjak dari sekitar 55.000 pada tahun sebelumnya.

Sementara itu, hanya ada 23.800 orang yang kembali ke negara tersebut di periode yang sama.

“Angka resmi menunjukkan lebih dari 82.000 warga Israel telah meninggalkan negara itu pada tahun 2024 di tengah perang genosida Tel Aviv di Jalur Gaza,” kata Biro Pusat Statistik Israel  dikutip dari Anadolu.

Imbas eksodus massal itu, pertumbuhan penduduk Israel turun 1,1 persen pada tahun 2024.

Angka itu turun dari 1,6 persen apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Ini jadi perlambatan pertama yang tercatat sejak tahun 2020 selama pandemi Covid-19.

Tak hanya itu, dampak dari kaburnya penduduk Israel dalam jumlah luar biasa itu juga berisiko membalik demografi di wilayah tersebut.

Gambarannya, saat ini ada sekitar 7,7 juta imigran Yahudi dari Eropa dan Timur Tengah di seantero wilayah Palestina yang kini menjadi wilayah Israel. Sementara itu, total populasi penduduk asli Palestina sekitar 7,5 juta. 

Biro Pusat Statistik Israel mencatat eksodus massal tahun ini mulai melonjak pada Juli lalu, dimana jumlah warga Israel yang meninggalkan negaranya secara permanen meningkat 285 persen setelah tanggal 7 Oktober 2023.

Itu menunjukkan peningkatan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada Oktober 2023 dibandingkan periode yang sama tahun 2022.

Laporan terbaru mengenai eksodus warga Israel membenarkan data yang diterbitkan dua bulan setelah serangan 7 Oktober yang menunjukkan bahwa hampir setengah juta orang meninggalkan Israel.

Warga Israel Ogah Terlibat Perang

Biro tersebut tidak merinci alasan kepergian warga Israel tersebut.

Namun, laporan media lokal Israel menyebut eksodus atau perpindahan massal ini terjadi akibat perang yang tak berkesudahan yang memicu datangnya roket dari Lebanon, Jalur Gaza, dan Yaman.

Data dari CBS menunjukkan bahwa banyak warga Israel yang memiliki pilihan untuk memiliki rumah kedua di luar negeri memilih untuk pindah pada saat konflik meningkat, mencari keamanan dan stabilitas di tempat lain.

Tren ini sangat kontras dengan klaim yang dibuat oleh para pendukung Zionisme yang berpendapat bahwa Israel adalah tempat perlindungan utama bagi orang-orang Yahudi di seluruh dunia.

Banyak dari warga Israel mengatakan mereka ingin hengkang karena mereka kecewa dengan cara pemerintah menangani perang di Gaza.

40.000 Perusahaan Gulung Tikar 

Tak hanya memicu eksodus, perang yang semakin memanas membuat lebih dari 40.000 perusahaan Israel bangkrut dan gulung tikar sejak pecahnya perang pada 7 Oktober 2023.

Menurut laporan surat kabar Israel Maariv perusahaan yang terdampak  77 persen berasal dari usaha kecil diantaranya bisnis konstruksi dan industri seperti keramik, AC, aluminium, dan bahan bangunan.

Perang yang terus memanas juga membuat sektor perdagangan, termasuk fesyen, furniture dan peralatan rumah tangga, serta sektor jasa, termasuk kafe, hiburan dan jasa hiburan, serta transportasi juga ikut terkena dampaknya.

Selain banyaknya perusahaan yang tutup, aktivitas korporasi di berbagai sektor juga menurun drastis sejak dimulainya perang.

 EO perusahaan informasi bisnis CofaceBDI, Yoel Amir mengonfirmasi bahwa dalam jajak pendapat terkini, sekitar 56 persen manajer perusahaan komersial di Israel mengatakan telah terjadi penurunan signifikan dalam upaya kegiatan mereka sejak dimulainya perang.

Ia menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan Israel menghadapi saat ini tengah menghadapi tantangan yang sangat sulit.

Hal ini diperparah dengan adanya kekurangan tenaga kerja, penurunan penjualan, masalah transportasi dan logistik, kekurangan bahan baku, ditambah dengan munculnya masalah lonjakan suku bunga tinggi dan biaya pembiayaan tinggi.

Apabila permasalahan ini terus terjadi dan tak segera diatasi dengan bijak, para analis memprediksi bahwa pada akhir tahun 2024, sekitar 60.000 perusahaan di Israel akan tutup permanen.

Ekonomi Israel Diambang Kehancuran

Konflik Israel vs Hizbullah juga membuat negara Zionis ini perlahan mengalami kerugian finansial. Diantaranya pengeluaran pemerintah dan defisit anggaran yang melonjak,

Tercatat selama beberapa bulan terakhir,  anggaran militer Israel mengalami pembengkakan sebesar  582 miliar shekel atau sekitar 155 miliar dolar AS untuk digunakan membeli perlengkapan dan alat tempur serta membiayai perekrutan tentara cadangan yang akan dikirim ke Gaza.

Dampaknya perekonomian Israel kini berada di ambang kehancuran, sejak Oktober hingga Juli kemarin defisit atau pengeluaran negara membengkak mencapai 8,1 persen  jadi 8,5 miliar shekel atau naik 2,2 miliar dolar AS dari produk domestik bruto (PDB).

Angka tersebut melesat jauh dari target defisit Israel di tahun 2024 yang hanya dipatok 6,6 persen.

Tag:  #didorong #krisis #militer #israel #rekrut #gelombang #pertama #kaum #yahudi #ultra #ortodoks #brigade

KOMENTAR