Ini Dia Konsekuensi Jika Donald J Trump Kembali Jadi Presiden AS
Trump diramalklan akan merebut minimal 281 electoral college vote. Sementara Kamala Harris memperoleh minimal 257 electoral vote.
Syarat pemenang Pilpres AS 2024 adalah minimal memperoleh 270 dari 538 electoral college. Prediksi NYT ini sejalan dengan exit poll Edison Research yang dirilis CNN dan jaringan televisi lain.
Exit poll dilakukan terhadap pemilih sesudah menggunakan hak suaranya, dan ada pertanyaan-pertanyaan spesifik diajukan ke responden.
Hasil exit poll Edison Research terkait tingkat kepuasan terhadap pemerintah dan kondisi negara menunjukkan 71 persen pemilih tidak puas dan marah dengan situasi negara di bawah Joe Biden.
Artinya, ketidakpuasan dan kemarahan itu juga ditujukan ke Wapres Kamala Harris karena satu paket dengan kepemimpinan Joe Biden.
Jika ini berkaitan dengan proses dan hasil pemilihan, maka Donald Trump akan sangat diuntungkan dengan persepsi pemilih ini.
Jika persepsi itu sejalan dengan pilihan masyarakat, ketidakpuasan itu pasti akan menggerus minat pemilih terhadap Kamala Harris.
Hasil awal penghitungan suara memperlihatkan Donald Trump secara signifikan memimpin perolehan suara electoral college.
Hingga pukul 22.00 waktu timur Amerika, atau pukul 10.00 WIB, versi situs NYT, Donald Trump mengumpulkan 198 electoral college.
Sementara Kamala Harris mendapat 112 electoral college vote. Versi CNN, Trump mengumpulkan 195 electoral college vote, sementara Kamala 91 dukungan.
Sedangkan di dua negara bagian yang jadi battle ground Pemilu AS 2024, Pennsylvania dan North Carolina, Kamala Harris memenangi pertempuran.
Penghitungan awal menunjukkan Kamala merebut 72,5 persen suara di Pennsylvania, sementara Trump tertinggal jauh, 26,7 persen.
Di North Carolina, Kamala Harris memimpin dengan skor 68,78 persen berbanding Trump yang 30,06 persen. Di New York, Washington DC, Michigan, Kamala Harris juga unggul.
Pemungutan suara telah ditutup pada Rabu pagi (6/11/2024) pukul 06.00 waktu Indonesia, atau pukul 18.00 waktu New York atau standar timur Amerika.
Pasukan Ukraina bertempur melawan Rusia di Donetsk (Staf Umum Angkatan Bersenjata Ukraina via Ukrinform)Dampak ke Eropa
Kemenangan Donald Trump dan kembalinya tokoh eksentrik itu ke Gedung Putih memang akan mengubah banyak hal geopolitik dunia.
Terutama dalam konteks konflik di Eropa, Timur Tengah, dan ketegangan di Asia Pasifik terkait sengketa Taiwan dan Semenanjung Korea.
Bagi Eropa, kemenangan Trump dan Republik berarti akan ada perubahan dalam dukungan politik dan militer AS untuk Ukraina.
Sementara bagi Kremlin, mereka tetap skeptis jika pengusaha kaya itu terpilih lagi. Perubahan kepemimpinan Gedung Putih dianggap tidak akan banyak berdampak bagi Rusia.
Menurut laporan terbaru Financial Times, Eropa benar-benar bersiap menghadapi kemungkinan runtuhnya hubungan transatlantik jika Trump yang menang.
Mereka waspada terhadap kemungkinan perubahan orientasi Gedung Putih terhadap Ukraina. Karena alasan ini, pejabat Eropa telah berupaya menyetujui paket bantuan sebelum pemilihan AS.
Kolumnis geopolitik di Kairo Mesir, Ahmed Adel, menulis di Southfront.press, komando NATO yang baru juga telah mengambil alih beberapa tanggung jawab Pentagon dalam mengoordinasikan bantuan militer ke Kiev.
Menurut anggota parlemen Jerman Thomas Erndl, Eropa kini harus mengambil lebih banyak tanggung jawab atas keamanannya sendiri.
Presiden AS Joe Biden menurutnya mungkin presiden AS terakhir yang benar-benar transatlantik dalam pengertian tradisional, dalam hal karakter dan kariernya.
Para pejabat Eropa mengakui hilangnya dukungan AS di sektor pertahanan akan menjadi pukulan telak bagi blok tersebut.
Publikasi tersebut mengatakan mereka juga telah menyiapkan rancangan tarif perdagangan balasan jika Trump mulai mengenakan tarif pada barang-barang UE lagi.
Media Inggris Financial Times melaporkan pada akhir Juli, Uni Eropa sedang mengembangkan strategi perdagangan jika Trump memenangkan pemilihan.
Strategi tersebut membayangkan penerapan tarif tinggi pada impor AS jika negosiasi untuk meningkatkan perdagangan dengan Washington gagal.
Menurut surat kabar tersebut, jika Trump memenangkan pemilihan, negosiasi dengan pemerintahannya direncanakan akan dimulai sebelum ia resmi menjabat.
Pejabat UE ingin membahas dengannya kemungkinan daftar produk Amerika yang dapat dibeli blok tersebut dalam jumlah besar.
Trump sebelumnya telah berjanji untuk mencapai solusi atas konflik Ukraina melalui negosiasi dan telah berulang kali menyatakan bahwa ia akan menyelesaikannya dalam waktu satu hari.
Meskipun hal ini sangat tidak mungkin, hal itu menunjukkan fakta bahwa ia ingin mengakhiri perang, tidak seperti pemerintahan Biden, yang telah membuatnya terus berkobar.
Kremlin Tetap Skeptis
Meskipun demikian, Kremlin tetap mengutarakan kecurigaannya pada perkembangan di Washington ini.
Mantan Presiden dan Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia Dmitry Medvedev menekankan pemilihan umum AS tidak akan mengubah apa pun.
Posisi para kandidat Pilpres AS 2024 sepenuhnya mencerminkan konsensus bipartisan tentang perlunya kekalahan Rusia.
Medvedev menyebut Wakil Presiden AS saat ini Kamala Harris bodoh, tidak berpengalaman, mudah dikendalikan.
Ia mengklaim para menteri dan pembantunya, selain keluarga Obama, akan memerintah secara tidak langsung. Tapi di mata Vladimir Putin, Kamala Harris akan lebih mudah diprediksi ketimbang Trump.
Menurut Medvedev, Trump juga tidak akan dapat menghentikan konflik di Ukraina tidak dalam satu hari, tidak dalam tiga hari, tidak dalam tiga bulan.
“Jika dia benar-benar mencoba, dia bisa menjadi JFK yang baru," kata Medvedev menunjuk Presiden AS John F Kennedy yang mati ditembak di Dallas berdekade lalu.
Penembakan JFK konon dilakukan elemen-elemen negara dalam negara atau yang lebih dikenal deep state akibat kebijakannya terkait rudal Soviet di Kuba.
"Oleh karena itu, cara terbaik untuk menyenangkan para kandidat untuk jabatan tertinggi Amerika pada tanggal 5 November adalah dengan terus menghancurkan rezim Nazi di Kiev," kata Medvedev.
Meskipun Moskow skeptis tentang kemampuan Trump untuk mengakhiri perang, rezim Kiev "khawatir" tentang miliarder Amerika yang kembali ke Gedung Putih.
"Kami khawatir dengan Trump," kata seorang pejabat senior Ukraina kepada The Guardian.
Presiden Rusia Vladimir Putin berbicara pada pertemuan KTT BRICS di kota Kazan, barat daya Rusia pada Rabu (24/10/2024). (Sergey Bobylev/Handout/brics-russia2024.ru)Sumber lain, kali ini dari struktur keamanan Ukraina, mengatakan hal sama kepada surat kabar Inggris tersebut.
"Semua orang memahami Trump sama sekali tidak peduli dengan Ukraina, dan bahwa kepresidenan Trump akan menjadi perjalanan ke kasino bagi Ukraina,” kataya.
“Kita bisa menang besar atau kita bisa kehilangan segalanya. Namun, sekarang semua orang sudah kelelahan, dan beberapa orang bersedia membuat taruhan yang berisiko," katanya.
Tidak diragukan lagi, seperti rekan-rekan mereka di Eropa, yang sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan kepresidenan Trump, rezim Kiev akan merasa lega jika Harris menang.
Dengan cara ini, hasil pemilihan presiden AS adalah masalah hidup dan mati bagi rezim Kiev karena perlambatan atau penghentian senjata hanya akan mempercepat kemajuan Rusia.
Dukungan militer Eropa sangat penting bagi Ukraina. Namun, itu tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan dukungan AS, yang jumlahnya lebih dari $64 miliar, melampaui bantuan militer yang diberikan oleh semua sekutu lainnya secara kolektif.
Tampaknya Eropa yakin Trump pasti akan memperlambat atau menghentikan bantuan militer ke Ukraina dan sedang mempersiapkan skema otonominya sendiri jika Partai Republik terpilih.
Bantuan Eropa tidak dapat menggantikan sedikit pun bantuan Amerika, yang hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat Ukraina.
Dari Polandia Perdana Menteri Donald Tusk mengatakan era negara-negara Eropa yang menyerahkan keamanan mereka ke Amerika telah berakhir.
Donald Tusk menambahkan, itu tidak akan tergantung Pemilihan Presiden AS akan dimenangkan oleh Kamala Harris atau saingannya dari Partai Republik Donald Trump.
Tusk, yang menjabat sebagai Presiden Dewan Eropa dari 2014 hingga 2019, menyampaikan pernyataan tersebut dalam sebuah posting di platform X.
“Harris atau Trump? Beberapa orang mengklaim masa depan Eropa bergantung pada pemilihan Amerika, sementara itu pertama-tama dan terutama bergantung pada kita,” tulisnya.
Namun, UE menurut Tusk hanya akan dapat mengambil tindakan sendiri jika akhirnya tumbuh dan percaya pada kekuatannya sendiri.
“Apa pun hasilnya (dari pemilihan AS), era serah terima geopolitik telah berakhir bagi Eropa,” tegas Tusk.
Elite Eropa Gusar
Financial Times mengatakan dalam sebuah artikel pada Sabtu menulis, banyak orang Eropa tidak bisa tidur di malam hari karena prospek Donald Trump memenangkan pemilihan.
Pendukung Ukraina di Eropa juga khawatir Trump mungkin mencoba menyelesaikan perang di sana dengan syarat yang pada dasarnya merupakan kemenangan bagi Rusia.
Masih menurut Financial Times, sebagian besar orang Eropa akan merasa lebih nyaman dengan Harris di Ruang Oval.
Selama kampanye, kandidat Demokrat tersebut telah menyatakan dukungan kuat untuk NATO, berjanji untuk terus mendukung Ukraina, dan menekankan pentingnya aliansi Amerika.
Sementara terhadap konflik Israel dengan kekuatan sekitarnya, Trump mungkin akan membuat sedikit perubahan tanpa mengurangi dukungannya terhadap Tel Aviv.
Sebagaimana pernah dilakukan Trump semasa berkuasa dulu, ia akan bersikap keras terhadap Iran. Pendekatannya akan politis diplomatis, bukan menggunakan kekuatan senjata.
Sementara terhadap konflik Semenanjung Korea, Trump pernah merintis peredaan ketegangan atau bahkan reunifikasi dua Korea.
Ia kemungkinan akan melanjutkan upaya itu, dan pasti akan berdampak pada posisi Korea Selatan yang saat ini dipimpin tokoh agresif yang memusuhi Pyongyang.
Terhadap Tiongkok, Trump juga akan meneruskan kebijakan kerasnya yang memicu perang dagang sengit antara kedua kekuatan raksasa ini.
Slogan Trump yang ingin mengembalikan kedigjayaan AS di berbagai bidang, pasti akan berdampak pada upaya menarik kembali investasi besar-besaran ke tanah Amerika.(Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)
Tag: #konsekuensi #jika #donald #trump #kembali #jadi #presiden