



Jejak Sederhana Paus Fransiskus di Indonesia yang Kini Jadi Kenangan
– Kepergian Paus Fransiskus pada hari ini, Senin (21/4), mengundang duka mendalam dari seluruh penjuru dunia. Di Indonesia, umat Katolik dan masyarakat luas mengenang kuat sosok pemimpin Gereja Katolik ini bukan hanya karena jabatannya, tetapi karena keteladanannya dalam kesederhanaan.
Salah satu momen paling menyentuh terjadi saat kunjungan apostoliknya ke Indonesia pada 3–6 September 2024. Sejak mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Paus Fransiskus langsung menunjukkan gaya hidup rendah hati yang telah menjadi ciri khasnya.
Ia menolak pengawalan dan iring-iringan mewah, dan justru memilih menggunakan mobil Toyota Kijang Innova Zenix serta kendaraan taktis ringan buatan dalam negeri, Maung Pindad, selama perjalanan dinasnya di Jakarta. Pilihan ini bukan hanya simbol anti-kemewahan, tetapi juga bentuk apresiasi terhadap kearifan lokal.
Alih-alih tinggal di hotel berbintang, Paus Fransiskus memilih bermalam di Kedutaan Besar Vatikan (Nunsiatura Apostolik) yang sederhana. Di sana, ia tetap menjalankan rutinitas harian dengan cara yang bersahaja, jauh dari kemegahan fasilitas yang lazim bagi seorang kepala negara atau pemimpin dunia.
Saat bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, suasana pertemuan berlangsung hangat dan tanpa formalitas berlebihan. Paus tampak mengenakan jubah putih khasnya yang polos, dengan salib dada berbahan besi, bukan emas—sebuah simbol pilihan hidup yang menekankan kerendahan hati. Dalam setiap pertemuan, beliau lebih memilih berjabat tangan langsung dan menyapa masyarakat dengan senyuman, tanpa sekat kekuasaan.
Puncak kunjungan terjadi di Stadion Gelora Bung Karno, ketika Paus Fransiskus memimpin Misa Akbar di hadapan puluhan ribu umat Katolik. Di sana pun, kesederhanaannya sangat terasa. Ia tidak naik mimbar tinggi atau tampil dengan tata panggung mencolok, melainkan berdiri bersama para imam, menyampaikan homili dengan bahasa yang lugas dan mudah dipahami. “Kita semua bersaudara. Iman bukan soal kemegahan, tapi soal pelayanan,” ucapnya dalam salah satu bagian khotbah yang terus dikenang umat.
Selama kunjungan, Paus juga menolak acara jamuan kenegaraan besar-besaran. Ia lebih memilih bertemu dengan komunitas lintas agama, para relawan, kaum muda, dan masyarakat kecil. Beberapa kali ia berhenti untuk menyapa para petugas keamanan, staf kebersihan, dan umat yang menunggu di pinggir jalan—sebuah tindakan sederhana yang mencerminkan kasih universal.
Kesederhanaan ini bukan hanya strategi komunikasi, melainkan bagian dari hidupnya sejak menjadi Uskup Agung di Buenos Aires, Argentina. Dan sikap itu tetap melekat bahkan ketika ia memimpin miliaran umat Katolik di dunia sebagai Paus.
Kini, setelah wafat dalam usia 88 tahun karena komplikasi pneumonia, kenangan akan kesederhanaan Paus Fransiskus di Indonesia menjadi bagian dari warisan moral yang mendalam. Ia menunjukkan bahwa kekuatan sejati pemimpin tidak terletak pada simbol kekuasaan, tetapi pada ketulusan hati dalam melayani.
Tag: #jejak #sederhana #paus #fransiskus #indonesia #yang #kini #jadi #kenangan