Ancaman Kekerasan Terhadap Jurnalis Meningkat Pesat di Pakistan
ILUSTRASI JURNALIS - Dikutip dari Daily Asian Age, Selasa (25/2/2025), kekerasan terhadap jurnalis, dan bahkan juga pembunuhan, meningkat pesat di Pakistan. 
15:40
25 Februari 2025

Ancaman Kekerasan Terhadap Jurnalis Meningkat Pesat di Pakistan

- Dalam perjuangan kebebasan pers dan berekspresi, Pakistan disebut menjadi salah satu negara belum ramah untuk jurnalis. 

Dikutip dari Daily Asian Age, Selasa (25/2/2025), kekerasan terhadap jurnalis, dan bahkan juga pembunuhan, meningkat pesat di negara tersebut.

Peningkatan terjadi di tengah kekacauan politik dan sensor media di Pakistan.

Menurut laporan Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), Pakistan berada di peringkat kedua dalam jumlah pembunuhan jurnalis secara global.

CPJ, yang berbasis di New York, telah mendokumentasikan enam kematian jurnalis di Pakistan pada 2024.

Hal tersebut menjadi pengingat suram perihal nasib jurnalis dan pekerja media di negara tersebut.

Sejarah kelam penyerangan terhadap jurnalis

Pakistan telah lama terkenal karena permusuhannya terhadap jurnalis. Pegiat media sering menjadi sasaran kekerasan, pelecehan, dan intimidasi. 

Negara ini menghadapi tantangan terkait ketidakstabilan politik, korupsi, dan kontrol militer. Bobroknya ketiga unsur itu berkontribusi menciptakan lingkungan yang tak ramah media.

Jurnalis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, operasi militer, atau elit berkuasa sering kali menghadapi ancaman. Mulai dari penyerangan fisik hingga penghilangan paksa, dan dalam banyak kasus mereka dibunuh.

CPJ rutin memasukkan Pakistan ke dalam daftar negara di mana jurnalis menghadapi risiko tertinggi. Selama bertahun-tahun, puluhan jurnalis dibunuh atau dihilangkan, dan banyak lainnya terpaksa meninggalkan negara tersebut karena ancaman terhadap nyawa mereka. 

Laporan pada 2024 ini merupakan indikasi nyata. Yakni, betapa sedikitnya perubahan yang terjadi pada media di Pakistan, bahkan ketika perhatian global terhadap kebebasan pers semakin meningkat.

Laporan CPJ menyoroti meningkatnya ancaman

Pada 2024, CPJ melaporkan enam pembunuhan jurnalis di Pakistan. Hal ini menandai tren meresahkan atas penurunan kebebasan pers secara global. 

Laporan tahunan CPJ menyoroti bahaya yang dihadapi jurnalis di seluruh dunia. Termasuk, penangkapan sewenang-wenang, ancaman, sensor, dan, yang paling meresahkan, pembunuhan. 

Meskipun jumlah pembunuhan jurnalis secara global menurun, situasi di Pakistan masih tetap memprihatinkan. Jurnalis yang bekerja di negara ini terus bergulat dengan kombinasi ketegangan politik, sensor media, dan impunitas sistemik. 

Laporan CPJ mencatat bahwa banyak dari pembunuhan ini tidak terselesaikan, dan pelakunya jarang diadili. Impunitas bagi pelaku kejahatan terhadap media di Pakistan, telah menciptakan budaya ketakutan.

Kopndisi itu menghalangi banyak orang untuk bersuara menentang korupsi, ketidakadilan, dan kekerasan oleh negara. Kurangnya akuntabilitas ini memperkuat gagasan bahwa wartawan dapat disingkirkan, dan suara mereka dapat dibungkam tanpa mendapat hukuman.

Kerusuhan politik dan dampaknya terhadap jurnalisme

Situasi politik di Pakistan bergejolak dalam beberapa tahun terakhir, dengan seringnya pergantian pemerintahan, pengaruh militer terhadap kepemimpinan sipil, dan sejarah protes dan kerusuhan. Ketidakstabilan politik ini berdampak buruk pada kebebasan pers, karena jurnalis seringkali terjebak dalam baku tembak antara berbagai faksi yang berebut kekuasaan. 

Media di Pakistan sering kali digunakan sebagai medan pertempuran bagi kekuatan politik yang ingin mengendalikan narasi dan mereka yang berani menentang status quo berisiko menjadi sasarannya. Selama periode kerusuhan politik, jurnalis menjadi sasaran karena liputan mereka mengenai protes, korupsi pemerintah, dan aksi militer.

Dalam beberapa kasus, wartawan dituduh bias atau bekerja melawan kepentingan nasional, sehingga berujung pada pelecehan atau bahkan kekerasan. Salah satu faktor utama yang mendorong penargetan jurnalis adalah meningkatnya pengaruh militer di bidang politik dan sosial Pakistan. 

Militer, yang telah memerintah Pakistan dalam sebagian besar sejarahnya, dikenal karena kontrolnya yang ketat terhadap media dan dituduh menyensor liputan-liputan kritis. Jurnalis yang melaporkan operasi militer, seperti konflik yang sedang berlangsung di Balochistan atau situasi di sepanjang perbatasan Afghanistan, berisiko tinggi menghadapi intimidasi, penangkapan, atau hal yang lebih buruk lagi.

Sensor media

Faktor lain yang berkontribusi terhadap meningkatnya bahaya bagi jurnalis di Pakistan adalah meningkatnya sensor media. Selama bertahun-tahun, pemerintah Pakistan, militer, dan badan intelijen telah melakukan upaya signifikan untuk mengendalikan arus informasi dan menekan jurnalisme independen.

Lanskap media di negara ini sangat dipengaruhi oleh kebutuhan pemerintah untuk mempertahankan citra positif, yang sering kali mengorbankan kebebasan pers. Jurnalis di Pakistan menghadapi berbagai tekanan untuk menyesuaikan diri dengan narasi resmi. Tekanan-tekanan tersebut datang dalam bentuk pembatasan hukum, ancaman, dan sensor langsung. 

Pemerintah dan militer sering menggunakan undang-undang penodaan agama, undang-undang penghasutan, dan undang-undang anti-terorisme untuk membungkam perbedaan pendapat dan menghukum wartawan yang melaporkan hal-hal buruk tentang pihak berwenang.

Media yang gagal mematuhi batasan sering kali ditutup, dan jurnalis yang menolak mematuhinya akan dipaksa melakukan sensor mandiri atau menghadapi konsekuensi serius.

Otoritas Pengaturan Media Elektronik Pakistan (PEMRA) diketahui mengeluarkan perintah kepada media, mendikte apa yang boleh dan tidak boleh disiarkan. Perintah ini seringkali tidak jelas dan dapat digunakan untuk membenarkan penyensoran terhadap liputan kritis.

Ketakutan akan dampak buruknya telah menyebabkan banyak jurnalis menghindari liputan topik-topik sensitif, seperti operasi militer, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Mereka yang berani menyelidiki masalah ini berisiko menjadi sasaran otoritas negara, kelompok militan, atau unsur kriminal.

Nasib jurnalis di lapangan

Bagi banyak jurnalis di Pakistan, lingkungan menjadi semakin tidak bersahabat, dengan ancaman datang dari segala arah. Pekerja lepas dan reporter investigatif merupakan kelompok yang paling rentan karena mereka sering kali tidak mendapatkan perlindungan yang diberikan oleh organisasi berita besar.

Banyak reporter yang terpaksa bekerja di bawah tekanan berat, karena mengetahui bahwa mereka bisa menjadi target berikutnya. Meski terdapat risiko, banyak jurnalis yang terus melaporkan isu-isu penting, seringkali dengan kerugian pribadi yang besar. 

Namun, pekerjaan mereka sering kali tidak dihargai, dan pengorbanan mereka dilupakan begitu mereka dibunuh atau dibungkam. Organisasi internasional seperti CPJ telah berulang kali menyerukan perlindungan yang lebih besar bagi jurnalis dan akuntabilitas yang lebih besar bagi mereka yang bertanggung jawab atas kekerasan terhadap pers. 

Pembunuhan jurnalis di Pakistan bukanlah satu-satunya insiden, namun merupakan bagian dari tren otoritarianisme dan penindasan media yang semakin meningkat di wilayah tersebut. Komunitas internasional mengutuk meningkatnya kekerasan terhadap jurnalis di Pakistan, dan mendesak pemerintah untuk mengambil langkah-langkah berarti dalam melindungi kebebasan pers.

Perserikatan Bangsa-Bangsa, Reporters Without Borders (RSF), dan organisasi hak asasi manusia lainnya telah meminta Pakistan untuk menyelidiki pembunuhan jurnalis, memastikan bahwa mereka yang bertanggung jawab harus bertanggung jawab, dan menciptakan lingkungan di mana jurnalis dapat beroperasi tanpa rasa takut akan kekerasan atau sensor.

Ada seruan untuk melakukan reformasi terhadap kerangka hukum dan kelembagaan Pakistan untuk menjaga kebebasan pers.

Situasi di Pakistan menjadi pengingat akan pentingnya kebebasan pers dan peran jurnalisme independen dalam demokrasi yang sehat. 

Ketika jurnalis dibungkam, masyarakat kehilangan kemampuannya untuk meminta pertanggungjawaban pihak yang berkuasa, dan korupsi, kekerasan, dan ketidakadilan tidak terkendali.

Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, jurnalis di Pakistan terus menjadi mercusuar perlawanan, berdiri teguh dalam menghadapi kesulitan, bahkan ketika mereka mempertaruhkan nyawa untuk melaporkan kebenaran.

Posisi Pakistan sebagai negara kedua yang paling mematikan bagi jurnalis pada 2024 merupakan cerminan suram dari ancaman yang terus berlanjut terhadap kebebasan pers dan keselamatan jurnalis.

Kerusuhan politik, meningkatnya sensor media, dan kurangnya akuntabilitas atas kekerasan terhadap wartawan, berkontribusi terhadap lingkungan yang tidak bersahabat bagi pers.

SUMBER

Editor: Wahyu Aji

Tag:  #ancaman #kekerasan #terhadap #jurnalis #meningkat #pesat #pakistan

KOMENTAR