Kebijakan Trump yang Tak Terduga Picu Ketidakpastian di Pasar Global, Termasuk Indonesia
DONALD TRUMP - Tangkapan layar YouTube White House yang diambil pada Sabtu (22/2/2025) menunjukkan Presiden Donald Trump menyampaikan pidato di Governors Working Session di Washington, DC pada Jumat (21/2/2025). Pengamat menilai Kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump selama masa kepemimpinannya yang pertama lalu telah menciptakan gelombang ketidakpastian di pasar global. 
00:50
23 Februari 2025

Kebijakan Trump yang Tak Terduga Picu Ketidakpastian di Pasar Global, Termasuk Indonesia

- Kebijakan ekonomi dan perdagangan yang diambil Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, selama masa kepemimpinannya yang pertama (2016-2020) lalu telah menciptakan gelombang ketidakpastian di pasar global

Kebijakan proteksionis yang diterapkannya, seperti peningkatan tarif impor dan perang dagang dengan China, tidak hanya memengaruhi perekonomian AS, tetapi juga berdampak signifikan pada negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Chief Economist Bank Central Asia (BCA), David Sumual mengatakan, kondisi pasar sangat erat kaitannya dengan liquidity, yang dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi dan kepercayaan (confidence) pelaku pasar. 

"Ketika orang saling yakin satu sama lain dan confidence dalam melakukan transaksi, baik transaksi domestik maupun ekspor-impor, serta investasi langsung atau portofolio, liquidity akan meningkat," ujarnya saat talkshow Market Outlook 2025: Trump Effect, Potensi Dagang, dan Peluang Indonesia di sela-sela BCA Expoversary 2025 di ICE BSD, Tangerang, Banten, Sabtu (22/2/2025). 

Namun, kata dia kebijakan Trump yang seringkali tidak terduga dan berubah-ubah menciptakan ketidakpastian yang berdampak pada volatilitas pasar.

David mengingatkan era Trump 1.0 (2016-2020), ketidakpastian yang berlangsung selama 1-2 tahun yang mengakibatkan melemahnya mata uang emerging market, termasuk rupiah.

Juga  melemahnya mata uang Yuan yang sengaja dilakukan oleh China sebagai respons terhadap kebijakan AS dan terjadi tit for tat, tit for tat ini di mana yang Amerika menaikkan tarif dibalas lagi oleh Tiongkok dan seterusnya.

"Dan kita berharap sebenarnya kali ini proses tit for tatnya tidak terjadi dan masuk ke meja perundingan dan pada akhirnya mereka bisa deal ya dari sisi kebijakan perdagangan maupun investasinya dari kedua belah atau pihaknya," katanya.

David melihat di semester pertama kemungkinan besar masih penuh dengan ketidakpastian dan suatu waktu market memang akan bergerak sesuai dengan news yang muncul. 

"Seperti contoh 2 minggu lalu Trump mengatakan di hari Sabtu ya 2 minggu lalu itu dia akan menerapkan 25 persen tarif untuk Meksiko dan Kanada tapi beberapa hari kemudian di hari Rabu saya gak tau Trump malamnya mimpi apa gitu ya, di cancel gitu ya hanya 10 persen  jadi untuk Tiongkok yang lainnya ditunda selama 1 bulan," katanya.

Nah ini yang seperti kebijakan-kebijakan yang sifatnya berubah-ubah ini tentunya akan membuat pasarnya juga akan bergerak cukup volatile gitu ya dan ini salah satu isu yang pasti akan diikuti terus oleh pasar karena dampak ke sektorilnya akan cukup besar. 

"Indonesia tidak bisa lepas dari itu ya jadi kenapa sekarang juga kelihatan kebanyakan juga market sedikit switching ya ke fixed asset salah satunya ataupun mencoba mengamankan mungkin profitnya sementara waktu cari yang lebih safe haven gitu ya nah ini juga ada kaitannya dengan itu," katanya.

Selama dealnya belum tercapai, kata dia artinya juga pertumbuhan ekonomi globalnya masih belum akan pulih masih relatively flat dan kita berharap sebenarnya ada terobosan-terobosan juga dari sisi kebijakan di dalam negeri juga bisa.

Head of Research BCA Sekuritas, Andre Benas menyoroti peran China dalam menghadapi kebijakan Trump.

Menurutnya, China saat ini lebih siap dan matang dalam menghadapi tekanan perdagangan dari AS.

"China tidak hanya fokus pada AS, tetapi juga memperluas trade surplus-nya ke berbagai belahan dunia, seperti Afrika, India, Amerika Latin, dan Asia," ujarnya.

Benas juga menekankan pentingnya teknologi dalam menentukan arah ekonomi global ke depan.

"Revolusi industri yang dipicu oleh teknologi seperti AI, renewable energy, robotik, dan quantum computing akan menjadi penggerak utama ekonomi global," paparnya.

Ia optimis bahwa fokus China pada teknologi dalam rencana lima tahun ke depan (2020-2025) akan memberikan dampak positif bagi perekonomian global.

Sektor-Sektor Potensial di Indonesia

Di tingkat domestik, Benas melihat beberapa sektor yang memiliki daya tahan dan potensi pertumbuhan di tengah ketidakpastian global.

"Sektor properti, terutama perumahan, serta sektor jasa yang terkait, akan menjadi penggerak utama ekonomi Indonesia," ujarnya.

Selain itu, program pemerintah seperti MBG (Makanan Berbasis Gizi) dan hilirisasi juga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor terkait, seperti transportasi, logistik, dan kemasan.

Digitalisasi juga menjadi sektor yang berkembang pesat di Indonesia, tidak hanya di sektor finansial tetapi juga non-finansial seperti e-commerce dan layanan on-demand.

"Perkembangan digitalisasi memberikan efek beruntun pada sektor pendukung seperti logistik dan transportasi," tambah Benas.

Namun, ia mengingatkan perlunya kewaspadaan terhadap crowding (kelebihan pemain) di sektor-sektor tersebut, yang dapat memicu konsolidasi di masa depan.

Benas juga menyoroti peluang Indonesia dalam menghadapi pergeseran ekonomi global, terutama dengan fokus China yang mulai beralih dari low manufacturing ke ekonomi yang lebih maju. 

"Indonesia memiliki potensi untuk mendapatkan spillover effect dari pergeseran ini, terutama jika mampu menarik investasi asing langsung (FDI) ke sektor manufaktur," ujarnya.

Dengan upah yang masih relatif rendah dan kebijakan pemerintah yang mendukung, Indonesia dapat menjadi destinasi menarik bagi investasi manufaktur. (*)

Editor: Endra Kurniawan

Tag:  #kebijakan #trump #yang #terduga #picu #ketidakpastian #pasar #global #termasuk #indonesia

KOMENTAR