Gelombang Baru Depresi dan Insomnia di Kalangan Pengungsi Palestina Pasca Perang Gaza: Dampak Psikologis yang Mendalam
Ilustrasi Tatreez, sulaman tradisional yang menjadi terapi bagi perempuan Palestina di Kamp Gaza. (The Guardian)
17:36
27 Januari 2025

Gelombang Baru Depresi dan Insomnia di Kalangan Pengungsi Palestina Pasca Perang Gaza: Dampak Psikologis yang Mendalam

–Sejak perang Gaza pada Oktober 2023, konflik ini memberikan dampak yang mendalam. Tidak hanya di wilayah yang terlibat langsung dalam pertempuran, tetapi juga pengungsi Palestina di kamp-kamp di negara-negara tetangga, termasuk kamp Jerash di Jordania.

Kamp itu pada awalnya dibangun sebagai tempat perlindungan sementara pada 1967. Saat ini, menampung lebih dari 40.000 pengungsi yang sebagian besar merupakan keturunan warga yang terpaksa meninggalkan Gaza.

Meskipun kamp ini sudah ada selama hampir enam dekade, perang yang berkepanjangan di Gaza memperburuk kondisi kehidupan pengungsi, terutama dari segi kesehatan mental mereka. Melansir The Guardian pada Senin (27/1), Mokhtar Yahya, seorang penghuni pertama kamp Jerash, menggambarkan bagaimana dampak psikologis perang Gaza memperburuk kehidupan mereka.

”Setiap hari membawa kabar buruk. Bagi warga kamp Gaza, konflik ini adalah perang psikologis. Saya tidak mengenal satu pun orang di sini yang tidak terpengaruh,” tutur Mokhtar Yahya.

Perasaan panik dan kecemasan semakin mendalam, terutama bagi mereka yang kehilangan kontak dengan keluarga mereka yang terjebak di Gaza. Kehilangan tersebut memperburuk rasa takut dan kecemasan yang mereka alami setiap hari.

Penelitian yang dilakukan Dr. Omar Gammoh, profesor di Universitas Yarmouk, menunjukkan angka yang mengkhawatirkan mengenai dampak kesehatan mental di kalangan pengungsi di kamp Jerash. Berdasar studi yang dimulai pada Oktober 2023, ditemukan bahwa 73 persen perempuan pengungsi di kamp ini mengalami depresi berat, sementara 60 persen mengalami kecemasan yang signifikan, dan 65 persen menderita insomnia.

”Konten kekerasan yang beredar, dengan adegan tubuh yang terpotong, rumah yang hancur, dan anak-anak yang terluka, memberikan beban psikologis yang sangat berat bagi mereka,” ucap Omar Gammoh.

Bagi sebagian besar pengungsi, citra kekerasan ini terus menghantui mereka, memperburuk trauma psikologis yang mereka alami. Dampak psikologis ini tidak hanya terasa di tingkat individu, tetapi juga memengaruhi seluruh komunitas pengungsi di kamp Jerash.

Meskipun UNRWA (Badan Pengungsi Palestina PBB) telah berusaha memberikan bantuan melalui layanan konseling, pengobatan, dan rujukan, stigma sosial terhadap masalah kesehatan mental masih menghalangi banyak orang untuk mengakses layanan ini. Ditambah dengan tingkat pengangguran yang tinggi dan terbatasnya akses terhadap layanan kesehatan yang memadai, kondisi ini semakin memperburuk kesejahteraan mental para pengungsi.

Contoh konkret dari krisis ini dapat dilihat pada kisah Ola Ali Abdul, seorang perempuan berusia 43 tahun yang terjebak di Gaza pada saat perang berkecamuk. Ola seharusnya menjalani operasi kanker rahim yang sangat dibutuhkan, namun kini dia terperangkap dalam ketidakpastian.

”Saya khawatir kami mungkin tidak akan pernah melihat ibu lagi,” ungkap anaknya, Yousef Jaafar, yang berusaha keras mengumpulkan dana untuk membawa ibunya pulang.

Kisah Ola menggambarkan betapa jauh dampak emosional dan psikologis perang ini merambat, bukan hanya bagi mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran, tetapi juga bagi keluarga yang terpisah.

Hal ini diperburuk dengan kenangan tentang rumah mereka yang hancur dan harapan akan masa depan yang semakin memudar. Salah satu dari sekian banyak contoh adalah Umm Ahmed, seorang perempuan berusia 57 tahun yang berasal dari Desa Al-Faluja, yang kini tinggal di Kamp Jerash, Jordania.

”Kami biasanya berkumpul dan membuat Tatreez (sulaman Palestina) sekali seminggu,” ungkap Ahmed, yang pada saat itu sedang menghidangkan teh mint kepada sekelompok perempuan yang turut serta dalam kegiatan tersebut.

Tatreez, sebuah teknik sulaman tradisional Palestina yang telah ada selama berabad-abad, tidak hanya menjadi cara untuk menjaga tradisi, tetapi juga sebagai bentuk pelarian bagi pengungsi dalam menghadapi trauma psikologis. Meski kondisi yang serba sulit, pengungsi Palestina di kamp Jerash tetap berusaha menjaga semangat dan melestarikan budaya mereka.

”Tatreez membantu kami mengarungi perasaan dan menemukan fokus. Yang terpenting, ini adalah cara kami menghormati tradisi dan melestarikan budaya di tengah upaya penghapusan identitas kami,” lanjut Ahmed.

Tradisi ini menjadi sumber kekuatan bagi mereka untuk tetap bertahan dalam menghadapi ketidakpastian yang tak kunjung usai. Di tengah situasi yang penuh kecemasan ini, Yahya, seorang pria yang juga tinggal di kamp Gaza, berdiri di sebuah titik ketinggian, memandang ke arah kamp Gaza dengan perasaan harapan yang terjalin dengan kekhawatiran mendalam.

”Rakyat Gaza tidak pernah merasakan perdamaian tetapi setiap hari, kami berdoa agar keadaan membaik,” ujar dia, sembari mendengarkan suara azan yang bergema di sekitar bukit.

Harapan untuk kembali ke Palestina yang merdeka tetap ada, meskipun kenyataan yang ada semakin memperburuk cita-cita tersebut.

”Suatu hari kami berharap bisa kembali ke Palestina yang bebas dan hidup dengan martabat. Bagaimanapun, seorang manusia tidak memiliki tempat untuk disebut rumah selain tanah airnya,” tambah dia, sembari menatap ke arah Gaza yang sebagian besar hancur, sebuah gambaran kehancuran yang semakin membuat impian untuk kembali pulang terasa jauh dan tidak terjangkau.

Editor: Latu Ratri Mubyarsah

Tag:  #gelombang #baru #depresi #insomnia #kalangan #pengungsi #palestina #pasca #perang #gaza #dampak #psikologis #yang #mendalam

KOMENTAR