



Sanewashing: Istilah Kontroversial yang Justru Picu Stigma Mental Health
- Di era media sosial, istilah-istilah baru bisa viral dalam hitungan jam—tapi tidak semuanya berdampak positif. Salah satunya adalah sanewashing, frasa yang belakangan dipakai untuk menyebut upaya 'melunakkan' narasi ekstrem agar terlihat rasional. Padahal, menurut pakar, istilah ini justru memperkuat stigma terhadap kesehatan mental.
Dilansir dari VeryWellMind.com pada Selasa (22/04), sanewashing awalnya ditujukan untuk mengkritik media yang dinormalisasi pernyataan kontroversial figur publik. Namun, penggunaan dikotomi "sane/insane" (waras/tidak waras) dalam istilah ini dinilai merugikan penyintas gangguan jiwa. Ini seperti menyamakan 'orang jahat' dengan 'orang sakit mental'—analogi yang keliru dan berbahaya.
1. Apa Itu Sanewashing dan Masalah di Baliknya?
Sanewashing adalah istilah yang menggambarkan upaya membuat ide atau tindakan ekstrem terlihat lebih masuk akal. Misalnya, ketika media menyederhanakan pernyataan rasis seorang politikus sebagai 'kekeliruan kecil'. Istilah ini mirip gaslighting atau sportswashing (pemanfaatan olahraga untuk menutupi pelanggaran HAM), tapi dengan muatan stigmatisasi mental health.
Masalahnya, kata 'sane' dan 'insane' dalam sanewashing mengacu pada kondisi kejiwaan—sesuatu yang seharusnya dibahas dengan sensitif. Menurut Stephanie Wijkstrom, terapis dari Pittsburgh, menyamakan "tindakan jahat" dengan "gangguan mental" sama saja seperti menyalahkan kopi karena nasi goreng terlalu pedas. Keduanya tidak berkaitan, tapi stigma tetap tertanam.
2. Dikotomi Sane/Insane: Jebakan Klasik yang Merugikan
Membagi orang hanya dalam kategori 'waras' atau 'tidak waras' adalah pendekatan usang. Dr. Patricia Dixon, terapis asal AS, menegaskan bahwa dalam dunia kesehatan mental, istilah "normal" pun sudah dihindari karena bersifat subjektif. Bayangkan jika semua yang tidak sepaham dengan kita langsung dicap 'gila'—bukankah itu justru mengerdilkan diskusi?
Contoh nyatanya ada di media sosial. Ketika seseorang mengkritik kebijakan pemerintah, bukan hal aneh jika dia dianggap 'emosional' atau 'tidak stabil'. Padahal, bisa jadi kritik tersebut berdasar data valid. Dikotomi ini hanya mengalihkan fokus dari substansi masalah ke label negatif.
3. Efek Domino pada Penyintas Gangguan Mental
Stigma yang dibawa istilah sanewashing tidak hanya menyasar figur publik, tapi juga penyintas gangguan mental sehari-hari. Data menunjukkan, orang dengan depresi atau anxiety justru lebih sering menjadi korban kekerasan daripada pelaku. Namun, narasi populer kerap membalikkan fakta ini—seperti anggapan "orang dengan bipolar pasti tak bisa dikendalikan".
Wijkstrom memberi analogi sederhana: Mengaitkan kejahatan dengan gangguan mental seperti menyuruh semua pemotor memakai rompi antisinar UV hanya karena ada satu kasus kanker kulit. Tindakan ini tidak efektif dan merugikan banyak pihak yang tidak bersalah.
4. Alternatif Istilah yang Lebih Inklusif
Alih-alih memakai sanewashing, pakar menyarankan frasa yang lebih netral seperti "normalisasi narasi ekstrem" atau "pengaburan fakta". Istilah-istilah ini tetap mengkritik manipulasi media tanpa menyentuh ranah kesehatan mental.
Dr. Dixon menambahkan, penting untuk memilah antara "perilaku buruk" dan "kondisi psikologis". Misalnya, koruptor yang sengaja mencuri uang rakyat bukanlah 'orang sakit', melainkan 'penjahat'. Dengan bahasa yang tepat, kita bisa melawan misinformasi tanpa mengorbankan kelompok rentan.
Tag: #sanewashing #istilah #kontroversial #yang #justru #picu #stigma #mental #health