



PHK dan Efektivitas Job Fair (Bagian I)
BADAI pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia belum berakhir. Belakangan ini, beredar berbagai infografis dan data yang menggambarkan fenomena PHK di sejumlah sektor.
Gelombang pemutusan hubungan kerja terjadi di berbagai bidang, mulai dari sektor penyiaran, seperti RRI, TVRI, dan Kompas TV, hingga sektor manufaktur.
Sebelumnya, PHK massal juga terjadi di PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Contoh lain datang dari PT Yamaha Music Indonesia di Kabupaten Bekasi, serta PT Victory Chinglu di Kabupaten Tangerang.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pada awal Mei 2025, tercatat lebih dari 257.000 peserta BPJS Ketenagakerjaan terhenti dari keanggotaan pada tahun 2024.
Angka-angka ini bisa menjadi indikator menarik untuk mencermati perkembangan fenomena PHK di Indonesia.
Selain itu, hasil survei internal Apindo juga mengungkap lima masalah utama yang mendorong terjadinya PHK.
Pertama, hampir 70 persen responden (69 persen) menyatakan bahwa penurunan permintaan telah mengganggu arus kas perusahaan.
Kedua, 43 persen pengusaha menyebutkan kenaikan biaya produksi sebagai penyebab terbesar berikutnya.
Ketiga, 33 persen responden menyoroti perubahan regulasi ketenagakerjaan, khususnya terkait upah minimum, sebagai faktor penting.
Keempat, 21 persen responden menyatakan bahwa membanjirnya produk impor telah melemahkan daya saing perusahaan dan berdampak pada pendapatan.
Kelima, 21 persen responden menilai bahwa perubahan akibat adopsi teknologi dan otomatisasi telah memengaruhi proses bisnis mereka.
Lebih jauh, Apindo memprediksi bahwa korban PHK bisa mencapai 250.000 pada 2025, dengan mempertimbangkan kondisi saat ini serta tanpa kebijakan yang tepat.
Sebenarnya, permasalahan ini tidak berhenti pada angka PHK semata. Ketika mencoba menelusuri data dari Kementerian Ketenagakerjaan, BPS, maupun asosiasi industri dan serikat pekerja, sering kali justru ditemukan beragam definisi yang digunakan.
Perbedaan definisi ini kadang menyebabkan perbedaan analisis dan interpretasi terhadap data.
Misalnya, berdasarkan publikasi BPS pada awal Mei 2025, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2025 tercatat sebesar 4,76 persen.
Angka ini memang menunjukkan penurunan sebesar 0,06 persen poin dibandingkan Februari 2024, tapi penurunan tersebut relatif tidak signifikan.
Dalam laporan yang sama, jumlah angkatan kerja mencapai 153 juta orang, meningkat 3,7 juta orang dibanding tahun sebelumnya.
Sementara itu, jumlah penduduk bekerja tercatat sebanyak 146 juta orang, naik 3,6 juta orang dibanding Februari 2024.
Di sisi lain, data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa hingga 20 Mei 2025, terdapat 26.455 orang korban PHK. Jumlah ini meningkat dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, yakni sebesar 24.036 orang.
Provinsi dengan jumlah PHK terbanyak adalah Jawa Tengah (10.695 orang), diikuti DKI Jakarta (6.269 orang), dan Riau (3.570 orang).
Industri manufaktur tercatat sebagai sektor penyumbang PHK terbesar, disusul sektor perdagangan dan sektor jasa.
Sementara itu, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mencatat bahwa terdapat potensi sekitar 70.000 kasus PHK dalam empat bulan pertama tahun 2025.
Perbedaan angka ini kemungkinan besar disebabkan oleh beragam metode pengumpulan data yang digunakan oleh masing-masing lembaga.
Sebagai contoh, data yang dikumpulkan berdasarkan laporan dari perusahaan tentu akan berbeda hasilnya dengan data yang bersumber dari laporan tenaga kerja. Jumlahnya juga dapat berbeda jika merujuk pada data klaim penghentian iuran BPJS Ketenagakerjaan.
Di sisi lain, hasil survei berskala nasional seperti yang dilakukan oleh BPS akan menghasilkan angka berbeda.
Perbedaan pendekatan dan sumber data inilah yang membuat kita sulit memperoleh gambaran utuh dan akurat mengenai situasi PHK di Indonesia.
Efektivitas job fair
Satu pernyataan mengejutkan datang dari Kementerian Ketenagakerjaan, sebagai tanggapan atas kericuhan yang terjadi dalam pameran tenaga kerja (job fair) di Bekasi pada akhir Mei 2025.
Salah satu insiden dalam acara tersebut adalah peserta yang berdesakan saat hendak memindai kode QR untuk mendaftar pekerjaan. Kode QR tersebut merupakan tautan resmi untuk proses pendaftaran.
Namun, menurut Biro Humas Kementerian Ketenagakerjaan, membludaknya peserta tidak dapat dijadikan indikator bahwa mencari pekerjaan saat ini semakin sulit.
Sebaliknya, tingginya jumlah peserta dinilai mencerminkan antusiasme masyarakat yang tinggi untuk bekerja.
Lebih lanjut, banyak dari peserta job fair merupakan lulusan baru yang tengah semangat mencari pekerjaan. Job fair juga dianggap sebagai sarana bagi mereka untuk mengenal situasi pasar tenaga kerja dan menjajaki berbagai peluang, termasuk pekerjaan sampingan.
Sebenarnya, pernyataan tersebut dapat dianggap prematur. Mengapa? Karena pernyataan itu disampaikan tanpa didukung data akurat.
Belum ada kejelasan apakah Kementerian Ketenagakerjaan telah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan job fair tersebut.
Jika pun Kementerian Tenaga Kerja sudah melakukan publikasi, publik berhak mengetahui seperti apa metode evaluasi yang digunakan.
Evaluasi terhadap efektivitas job fair seharusnya dilakukan secara cermat dan berbasis bukti, sebelum mengeluarkan pernyataan resmi.
Kementerian Ketenagakerjaan dapat melibatkan evaluator independen untuk menilai dari dua sisi: perusahaan (pengguna tenaga kerja) dan pencari kerja.
Survei bisa dilakukan secara terpisah pada kedua kelompok tersebut untuk menggali persepsi, pengalaman, serta efektivitas pelaksanaan job fair.
Sebagai contoh, beberapa aspek penting yang dapat dievaluasi. Pertama, kesesuaian antara lowongan yang ditawarkan dan kebutuhan pencari kerja.
Kedua, kualitas interaksi antara perusahaan dan pencari kerja. Ketiga, ketersediaan informasi yang mamadai di lokasi.
Contoh di atas hanyalah satu aspek dari berbagai hal yang bisa dievaluasi dalam penyelenggaraan job fair.
Hal penting lainnya yang tidak boleh diabaikan adalah kenyataan bahwa tingginya jumlah pencari kerja dapat mencerminkan adanya ketidakseimbangan antara permintaan (demand) dan penawaran (supply) tenaga kerja.
Perusahaan tentu mencari tenaga kerja yang memiliki kualifikasi tertentu sesuai kebutuhan bisnis. Namun, tidak semua pencari kerja memiliki kompetensi atau kualifikasi yang sesuai dengan yang dibutuhkan perusahaan.
Ketimpangan ini mencerminkan adanya ketidaksesuaian (mismatch) antara sistem pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan dunia usaha dan industri.
Dengan demikian, job fair bisa jadi hanya menjadi puncak dari gunung es. Namun, perlu segera dicari terkait masalah struktural dan segera dibereskan agar puncak gunung es bisa meluruh.
Tag: #efektivitas #fair #bagian