Penurunan Tingkat Pengangguran dan Lonjakan Sektor Informal
Sejumlah pengemudi ojek daring (ojol) melakukan aksi demonstrasi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa (20/5/2025). Dalam aksinya mereka menutut aplikator untuk menurunkan potongan komisi menjadi 10 persen dan juga mendesak pemerintah untuk menerbitkan UU Transportasi Online Indonesia. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
15:28
4 Juni 2025

Penurunan Tingkat Pengangguran dan Lonjakan Sektor Informal

PADA 20 Mei 2025 lalu, ribuan pengemudi ojek online dari berbagai daerah di Indonesia menggelar aksi unjuk rasa besar.

Mereka menuntut penurunan potongan komisi maksimal menjadi 10 persen, penegakan regulasi transportasi online, dan pengakuan status kerja yang lebih adil bagi pengemudi.

Fenomena ini mencerminkan tantangan struktural dalam pasar tenaga kerja Indonesia. Banyak pekerja, termasuk pengemudi ojek online, berada dalam sektor informal dengan perlindungan sosial yang minim dan ketidakpastian pendapatan.

Sebelumnya, rilis BPS menunjukkan tren penurunan tingkat pengangguran di Indonesia. Sempat melonjak mencapai 6,26 persen pada awal pandemi, tingkat pengangguran terbuka (TPT) terus mengalami perbaikan dari tahun ke tahun.

Turunnya TPT tidak selalu berarti jumlah penganggur secara absolut ikut menurun. TPT merupakan persentase dari angkatan kerja yang belum bekerja, sehingga ketika jumlah angkatan kerja tumbuh lebih cepat, misalnya karena bonus demografi atau masuknya lulusan baru ke pasar kerja, jumlah penganggur bisa tetap naik meskipun persentasenya menurun.

Terkini, TPT pada Februari 2025 sebesar 4,76 persen, lebih rendah dibanding masa sebelum pandemi (4,94 persen).

 

Sepintas, ini adalah kabar baik, indikasi bahwa ekonomi terus mengalami perbaikan. Namun benarkah demikian?

Jika kita menelaah lebih dalam, ternyata penurunan tingkat pengangguran sebagian besar justru terjadi karena lonjakan di sektor informal.

Data BPS menunjukkan, pangsa tenaga kerja informal meningkat dan mendominasi struktur ketenagakerjaan nasional.

Lebih lanjut, sektor-sektor penyerap tenaga kerja terbanyak saat ini adalah sektor pertanian, perdagangan, dan konstruksi. Semuanya tergolong padat karya dengan tingkat upah dan produktivitas relatif rendah.

Misalnya, di sektor pertanian yang menyerap hampir 30 persen tenaga kerja, rata-rata upah bulanan dalam 10 tahun terakhir masih di bawah Rp 2 juta, jauh tertinggal dibanding sektor lainnya.

Upah riil di sektor pertanian tersebut juga tumbuh lebih rendah dibanding rata-rata historisnya.

Sepanjang 2017 sampai 2024—dengan mengecualikan periode pandemi 2020-2021—upah riil sektor pertanian rata-rata tumbuh sekitar 5 persen per tahun, tapi relatif stagnan pada periode 2024 ke 2025.

Selaini itu, struktur jam kerja juga memburuk. Jumlah pekerja penuh, yakni yang bekerja setidaknya 35 jam per minggu, menurun ke kisaran 66 persen dari kisaran 68 persen di rentang 2022 sampai 2024.

Hal ini mengindikasikan bahwa sekalipun seseorang terhitung bekerja, kualitas pekerjaan yang dimiliki menurun.

Kita juga menyaksikan gelombang PHK yang terus berlanjut di berbagai sektor, dari industri tekstil hingga teknologi informasi.

Sektor manufaktur, yang dulunya menjadi tulang punggung industrialisasi dan pencipta lapangan kerja formal, kini justru menjadi titik rawan. Kabar dari lapangan menyebutkan masih banyak potensi PHK yang akan terjadi di sisa tahun ini.

Dengan latar kondisi seperti ini, wajar jika kita bertanya: apakah kita benar-benar sedang menciptakan lapangan kerja, atau hanya memindahkan masyarakat dari status pengangguran menjadi pekerja rentan?

Bergerak ke tempat yang kurang tepat

Meningkatnya serapan tenaga kerja di sektor informal bukanlah kebetulan, melainkan cerminan dari masalah struktural yang belum terselesaikan.

Pemulihan ekonomi Indonesia memang berjalan, tapi belum cukup kuat untuk mendorong penciptaan lapangan kerja formal yang layak secara merata. Kita menyaksikan pengangguran yang tidak hilang, tetapi bergerak ke tempat yang kurang tepat.

Pertama, pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya berdampak pada penciptaan pekerjaan berkualitas.

Studi internal Bank Indonesia (2025) menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 persen Produk Domestik Bruto (PDB) saat ini menyerap lebih sedikit tenaga kerja formal dibanding masa sebelum pandemi.

Di masa sebelum pandemi, setiap kenaikan 1 persen PDB mampu menyerap lebih dari 400.000 tenaga kerja formal. Jumlah ini turun hingga kurang dari 330.000 pascapandemi.

Ini menandakan bahwa perekonomian Indonesia makin padat modal. Sektor-sektor yang berkontribusi besar terhadap PDB, seperti pertambangan serta informasi dan komunikasi, merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah kecil.

Kedua, penurunan ekspektasi penghasilan di kalangan kelas bawah dan menengah juga menjadi indikator krusial.

 

Ekspektasi masyarakat terhadap masa depan pendapatan semakin menurun, sejalan dengan melemahnya permintaan tenaga kerja formal dan rendahnya kepastian kerja.

Hal ini memicu pesimisme rumah tangga dalam konsumsi dan investasi pendidikan anak, siklus jangka panjang yang dapat memperkuat jebakan pekerjaan berkualitas rendah.

Ketiga, fragmentasi kebijakan dan ketimpangan struktur ekonomi daerah ikut memperparah situasi.

Di Jawa, misalnya, gelombang PHK yang melanda sektor industri tekstil dan alas kaki tidak hanya menghapus ribuan pekerjaan, tetapi juga memperlihatkan lemahnya diversifikasi ekonomi lokal.

Di sisi lain, daerah di luar Jawa masih bergantung pada sektor primer berupah rendah dengan ketergantungan tinggi terhadap musim dan harga komoditas.

Situasi ini diperparah oleh rendahnya kepesertaan pekerja dalam sistem perlindungan sosial. Data terkini BPJS (2025) menunjukkan bahwa hanya sekitar 36 persen pekerja eligible yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.

Ketika PHK terjadi atau upah stagnan, jutaan pekerja Indonesia menghadapi risiko sosial dan ekonomi tanpa jaring pengaman memadai.

Dengan berbagai tantangan tersebut, jelas bahwa permasalahan pengangguran tidak bisa hanya diselesaikan melalui penciptaan lapangan kerja secara kuantitatif semata.

Kita butuh pendekatan lebih mendasar: membenahi struktur ekonomi agar mampu menyediakan pekerjaan yang layak, produktif, dan terlindungi.

Dari kuantitas ke kualitas

Jika kita sepakat bahwa pemulihan pasar tenaga kerja bukan hanya soal kuantitas, tetapi juga kualitas, maka solusinya pun tak bisa bersifat jangka pendek dan reaktif.

Indonesia memerlukan peta jalan ketenagakerjaan yang menjawab tantangan struktural sekaligus merespons dinamika masa depan kerja.

Pertama, pertumbuhan ekonomi ke depan harus diarahkan pada sektor-sektor dengan daya ungkit tinggi terhadap penciptaan lapangan kerja formal dan berkualitas. Sektor hijau, digital, dan manufaktur perlu menjadi prioritas.

Kebijakan seperti Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM) dapat dipertimbangkan untuk diarahkan ke sektor-sektor padat karya dan inklusif.

Kedua, reformasi sistem pelatihan dan pendidikan vokasi harus menjadi agenda utama. Banyak pelatihan kerja yang diselenggarakan saat ini belum sepenuhnya relevan dengan kebutuhan industri, apalagi untuk sektor-sektor yang tengah berkembang.

Perlu upaya bersama untuk menyambungkan kurikulum pelatihan dengan kebutuhan nyata industri, termasuk melalui pendekatan link and match dan kerja sama dengan pelaku usaha lokal.

Ketiga, perlindungan sosial bagi tenaga kerja informal harus diperkuat dan diperluas. Saat ini, sebagian besar pekerja informal masih belum terlindungi oleh skema jaminan sosial ketenagakerjaan, padahal mereka merupakan mayoritas dalam struktur pasar kerja Indonesia.

Inovasi skema perlindungan berbasis komunitas, subsidi iuran, atau integrasi dengan program bantuan sosial bisa menjadi jembatan menuju inklusi jaminan sosial yang lebih menyeluruh.

Keempat, sinergi pusat dan daerah harus diperkuat dalam menciptakan lapangan kerja. Banyak inisiatif daerah yang progresif, tetapi belum tertopang oleh regulasi dan dukungan fiskal yang kuat.

Pemerintah pusat perlu mendorong standardisasi peraturan perlindungan tenaga kerja lokal yang adaptif terhadap dinamika industri masing-masing wilayah, serta memberikan insentif bagi daerah yang berhasil meningkatkan serapan kerja formal.

Akhirnya, perlu disadari bahwa peningkatan kualitas pekerjaan adalah upaya berkelanjutan. Dibutuhkan konsistensi kebijakan lintas pemerintahan dan kesinambungan reformasi, termasuk dukungan dari lembaga keuangan, dunia usaha, dan masyarakat luas.

Bank Indonesia, sebagai bank sentral, turut berkontribusi melalui kebijakan makroprudensial dan koordinasi bauran kebijakan dengan pemerintah demi memastikan stabilitas yang kondusif bagi penciptaan lapangan kerja berkualitas.

Tag:  #penurunan #tingkat #pengangguran #lonjakan #sektor #informal

KOMENTAR