Banjir Susu Impor dan Nasib Peternak Sapi Perah Rakyat yang Merana
Kebutuhan susu dalam negeri semakin bertambah dari tahun ke tahun. Data terbaru, kebutuhan rata-rata susu di Indonesia sudah mencapai 4,4 juta ton per tahun.
Ironisnya, peternak susu sapi perah lokal hanya bisa memenuhi sekitar 20 persen saja. Sementara sisanya sebesar 80 persen susu dipenuhi dari impor (susu impor).
Ketua Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI), Agus Warsito, mengatakan salah satu masalah utama peternak sapi perah lokal tidak bisa berkembang karena pemerintah tidak memberikan proteksi dari membanjirnya susu impor dari luar.
Yang jadi masalah, susu impor dari luar negeri selama ini nyaris seluruhnya berbentuk susu skim atau bubuk kering. Dari sisi harga susu impor ini memang jauh lebih murah dibandingkan susu segar yang dihasilkan peternakan lokal.
"Kita senang saja bersaing kalau yang diimpor susu segar cair. Tapi yang terjadi, susu impor itu susu skim. Rakyat kita selama ini dijejali dengan produk susu skim bubuk," beber Agus saat dihubungi pada Rabu (24/1/2024).
Impor susu dalam bentuk skim sangat beralasan, karena dalam susu bubuk memudahkan dalam pengiriman. Namun di sisi lain, susu dalam bentuk kering tentunya mengorbankan kualitas karena hilangnya nutrisi yang dikandungnya.
"Memang jadi efisien (susu skim impor). Tapi jatuhnya di sisi lain kualitasnya turun jauh. Karena susu yang awalnya cair (di negara asal) dikeringkan dengan pemanasan berkali-kali supaya jadi skim," ungkap Agus.
"Kemudian setelah jadi bubuk, dikirim ke Indonesia, oleh pabrik-pabrik susu di sini dicairkan lagi dengan pemanasan lagi. Artinya susu kembali mengalami proses pemanasan lagi berkali-kali. Otomatis nilai gizinya turun drastis, tinggal 40-45 persen saja," kata dia lagi.
Agus yang juga menjabat Ketua Koperasi Susu Andini Luhur Kabupaten Semarang ini berujar, banyak pabrik susu di Indonesia kemudian mencampur lagi susu skim yang sudah dicairkan melalui ultra proses dengan air. Imbasnya, kualitas susu lagi-lagi merosot.
"Sudah mengalami ultra proses berkali-kali, lalu masih dicampur air, lalu dijual mahal oleh pabrik susu di sini. Jadi ibaratnya banyak orang Indonesia realita sebenarnya minum air tapi rasa susu," ucap dia.
Agus secara blak-blakan menyebut, banyak susu dalam UHT (ultra high temperature) kemasan yang dijual di Indonesia komposisinya malah lebih dominan airnya dibanding susunya.
"Makanya anak-anak penduduk Indonesia konsumsi susunya setiap tahun naik, tapi tumbuh (badannya) tidak maksimal. Karena yang diminum bukan susu segar seperti di negara lain," tutur Agus.
"Anak-anak kita di perkotaan, itu mengonsumsi susu bubuk yang dicairkan lagi, lalu dikasih air. Konsumsi susu per kapita orang Indonesia memang sudah 16-17 liter per tahun. Tapi ingat, itu bukan susu segar," bebernya lagi.
Di negara yang jadi pengekspor susu, masyarakatnya mengkonsumsi susu segar, bukan susu olahan, terlebih yang dicampur dengan air. Itu sebabnya, susunya pun jauh lebih berkualitas dibandingkan susu yang banyak beredar di Indonesia.
"Kalau di negara-negara yang dia mengolah susu segar, pertumbuhan anak-anak yang mengonsumsi susu segar lebih bagus, kecerdasannya juga bagus, sementara negara kita dijejali susu skim," kata Agus.
Agus bahkan berani menyebut, kalau Indonesia adalah negara dengan konsumsi susu skim per kapitanya paling tinggi di seluruh dunia.
"Anda bisa cari datanya di internet, konsumsi susu UHT skim per kapita, dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia adalah yang terbesar," ucap Agus.
Peternak susu lokal tidak dilindungi
Agus melanjutkan, selain masalah membanjirnya susu skim impor, peternak lokal dibiarkan bersaing secara bebas dengan importir susu.
"Tidak ada proteksi sama sekali, peternak rakyat dibiarkan di pasar yang sangat liberal ini. Brutal sekali persaingannya," tambah dia.
Padahal susu skim secara kualitas jauh di bawah susu sapi segar karena sudah melalui berbagai macam proses pemanasan (ultra proses).
Banjir susu impor tentunya berimbas pada harga jual susu dari sapi perah lokal. Banyak peternak sebenarnya merugi memelihara sapi perah. Jika itu bukan karena pekerjaan sampingan, sudah pasti memelihara sapi perah akan ditinggalkan peternak.
Ia bercerita, harga susu sapi segar dari peternak rakyat saat ini hanya di kisaran Rp 7.000 per liter, di mana harga yang ideal sebenarnya adalah setidaknya Rp 9.000 per liter.
"Peternak sapi perah rata-rata sudah tua, kalau menguntungkan, tidak perlu disuruh-suruh, pasti banyak anak muda yang mau terjun ke usaha sapi perah. Kalau ini tidak dibenahi, 25 tahun lagi, sudah habis itu peternak sapi rakyat," ucap dia.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mencatat, populasi nasional sapi perah 2020 berjumlah 584.582 ekor, sementara pada 2022, menurut data BPS, mencapai 592.897 ekor. Jumlah ini relatif stagnan dari tahun ke tahun.
Tag: #banjir #susu #impor #nasib #peternak #sapi #perah #rakyat #yang #merana