![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/view.png)
![Kasus SPK Fiktif 2023-2024, Kemenperin Segera Tempuh Langkah Hukum](https://jakarta365.net/uploads/2025/02/11/kompas/kasus-spk-fiktif-2023-2024-kemenperin-segera-tempuh-langkah-hukum-1208112.jpg)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/clock-d.png)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/calendar-d.png)
Kasus SPK Fiktif 2023-2024, Kemenperin Segera Tempuh Langkah Hukum
- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berencana melaporkan kasus penerbitan surat perintah kerja (SPK) fiktif yang sebelumnya melibatkan oknum eks ASN Kemenperin kepada aparat hukum.
Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif, mengatakan pelaporan rencananya dilakukan pada Selasa (11/2/2025) atau besok.
Adapun oknum yang dimaksud berinisial LHS, yang sebelumnya diberhentikan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Direktorat Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kemenperin.
"Kemenperin akan melaporkan kasus dugaan SPK fiktif ke aparat penegak hukum besok," ujar Febri dalam keterangan resmi pada Senin (10/2/2025).
"Kemenperin juga meminta kepada aparat penegak hukum untuk segera mengusut tuntas kasus dugaan penipuan, penggelapan, dan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan LHS, agar tidak berlarut-larut," jelasnya.
Febri bilang, pelaporan dilakukan untuk memberikan kepastian hukum bagi seluruh pihak terkait, utamanya bagi vendor-vendor yang dirugikan karena menerima SPK fiktif dari LHS.
Febri menjelaskan, oknum LHS telah membuat SPK fiktif yang diduga melanggar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018.
Pada Pasal 52 ayat (2) Perpres tersebut disebutkan, PPK dilarang menandatangani kontrak/perikatan kerja sama dengan pihak lain dalam hal belum tersedia anggaran belanja atau tidak cukup tersedia anggaran belanja yang dapat mengakibatkan dilampauinya batas anggaran belanja yang tersedia untuk kegiatan belanja yang dibiayai APBN/APBD.
"Melihat kondisi di atas, disimpulkan bahwa tindakan oknum PPK atas nama LHS tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga, SPK yang diterbitkan tidak berlandaskan hukum atau fiktif," tutur Febri.
Selain itu, ia mengungkapkan, penerbitan SPK fiktif yang dilakukan oleh oknum LHS seperti skema ponzi, yakni menerbitkan SPK fiktif baru untuk menutup atau membayar SPK fiktif yang diterbitkan sebelumnya.
Hal itu, kata Febri, terungkap dari penelusuran Kemenperin terhadap LHS setelah diberhentikan sebagai PPK pada tanggal 15 Februari 2024.
Febri menyebut, LHS masih melakukan pembuatan SPK fiktif. "Setelah dicopot, pada rentang 18 Februari – 15 Maret 2024, LHS masih menerbitkan 21 SPK fiktif dengan nilai total lebih dari Rp 4,325 miliar," ungkapnya. "Hal ini jelas mengindikasikan adanya dugaan perbuatan melawan hukum oleh yang bersangkutan," lanjut Febri.
Untuk diketahui, sejumlah vendor telah menggelar aksi unjuk rasa di Kemenperin pada 3 Februari 2025 menuntut belum dibayarkannya tagihan senilai ratusan miliar.
Dilansir pemberitaan Tribunnews.com, pada Senin, para vendor mengeklaim telah melaksanakan kewajiban untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan SPK yang telah diterima dari Kemenperin.
Ada dugaan suap
Lebih lanjut, Febri menyampaikan, Kemenperin juga memegang bukti penyerahan dana dari beberapa vendor kepada LHS.
Dana tersebut diduga sebagai biaya operasional kegiatan yang ada dalam SPK fiktif.
Padahal, kata Febri, pemberian dana dari beberapa vendor ke PPK atau ASN dilarang dalam peraturan perundang-undangan dan patut diduga adalah upaya penyuapan terhadap PPK Kemenperin. "Kami memegang bukti kuat dokumen dugaan penyuapan beberapa vendor pada LHS tersebut," ujar Febri.
Ia menjelaskan, Kemenperin sedianya sudah berupaya mempertemukan para vendor dengan LHS beberapa waktu lalu.
Namun, upaya itu tidak berhasil karena LHS tidak dapat dihubungi.
Untuk diketahui, usai LHS diberhentikan sebagai PPK pada tanggal 15 Februari 2024, Kemenperin menjatuhkan hukuman disiplin berat berupa pemberhentian dengan tidak hormat (PDTH) pada tanggal 7 Agustus 2024.
Saat ini, LHS berstatus sebagai tersangka dan dinyatakan DPO oleh aparat penegak hukum dengan tuduhan tindak pidana penipuan, penggelapan, dan tindak pidana pencucian uang.
Tak akan bayar dana ke vendor
Dalam penjelasannya, Febri mengungkapkan, Kemenperin tidak akan membayar dana, baik yang sudah diberikan oleh vendor kepada LHS maupun dana yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan yang didasarkan pada SPK fiktif.
Alasannya, dana yang sudah diberikan vendor kepada LHS atau digunakan untuk kegiatan didasarkan pada SPK fiktif.
Kedua, Kemenperin menilai ada kesalahan vendor yang tidak cermat dalam mempelajari SPK fiktif. "Apabila Kemenperin melakukan pembayaran dana yang keluar berdasarkan SPK fiktif dengan menggunakan anggaran tahun 2025, artinya anggaran tersebut tidak dipakai sesuai peruntukkannya, tapi malah untuk membayar vendor-vendor tersebut," tutur Febri. "Hal tersebut bisa dinilai sebagai perbuatan melawan hukum dan berindikasi pidana korupsi. Kami tidak mau melanggar hukum dan melakukan korupsi demi membayar vendor-vendor tersebut," tambahnya.
Diberitakan sebelumnya, dugaan SPK fiktif yang melibatkan oknum Kemenperin terungkap setelah ada aduan dari masyarakat pada 2024 lalu.
Dalam konferensi pers pada 6 Mei 2024 lalu, ada empat aduan dugaan SPK fiktif.
Berdasarkan hasil pemeriksaan internal Kemenperin, seluruh paket pekerjaan yang diadukan tersebut tidak terdaftar pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) tahun 2023.
Sebab, paket pekerjaan yang dimaksud memang tidak terdapat dalam alokasi DIPA Kemenperin Tahun Anggaran 2023. "Hasil pemeriksaan internal kami menemukan adanya penipuan yang dilakukan oleh LHS dengan membuat Surat Perintah Kerja (SPK) fiktif," ungkap Febri saat itu.
Febri bilang, terdapat empat SPK yang dilaporkan masyarakat kepada Kemenperin dengan nilai kerugian Rp 80 miliar. "Yang perlu ditegaskan adalah kasus ini tidak menimbulkan kerugian pada keuangan negara," tuturnya.
Tag: #kasus #fiktif #2023 #2024 #kemenperin #segera #tempuh #langkah #hukum