Polemik Tambang Nikel di Raja Ampat, Gagal Paham Esensi Berkelanjutan?
Ilustrasi Kepulauan Raja Ampat.(Dok. Kemenpar)
19:42
17 Juni 2025

Polemik Tambang Nikel di Raja Ampat, Gagal Paham Esensi Berkelanjutan?

- Akademisi IPB University, Dr. Nimmi Zulbainarni menilai absennya pendekatan kebijakan berbasis valuasi ekonomi yang komprehensif menjadi masalah utama polemik tambang nikel di kawasan Raja Ampat, bukan pada ada atau tidaknya izin pertambangan

Ia menegaskan, valuasi ekonomi tidak hanya tentang keuntungan maksimum, melainkan tentang menjaga kelestarian sumber daya alam.

“Lebih dari sekadar mengonversi nilai lingkungan menjadi angka rupiah, valuasi ekonomi merupakan upaya ilmiah dan normatif untuk menempatkan lingkungan di pusat pertimbangan kebijakan,” kata Nimmi seperti dilansir dari laman IPB University, Selasa (17/6/2025).

Selain itu, pendekatan valuasi menyeluruh, yang meliputi nilai penggunaan langsung (perikanan, pariwisata), nilai tidak langsung (perlindungan pantai, penyerap karbon), dan nilai eksistensi, akan menunjukkan ekosistem Raja Ampat memiliki nilai ekonomi jangka panjang yang jauh melampaui royalti sesaat dari ekstraksi nikel.

“Alih fungsi ekosistem di wilayah pesisir Raja Ampat memperlihatkan kontradiksi kebijakan yang mencolok,” jelas Nimmi.

Di satu sisi, pemerintah mempromosikan pariwisata berkelanjutan dan ekonomi biru. Namun, di sisi lain justru mengizinkan aktivitas ekstraktif di kawasan yang sama.

Studi empiris menunjukkan bahwa setiap hektare terumbu karang di Raja Ampat mampu menghasilkan miliaran rupiah per tahun melalui pariwisata bahari, tangkapan perikanan, dan jasa ekosistem lainnya.

“Kehilangan nilai-nilai ini akibat sedimentasi, kerusakan karang, dan polusi air dari aktivitas tambang tidak hanya menggerus basis ekonomi lokal, tetapi juga merusak integritas ekologis yang menjadi fondasi keberlangsungan hidup generasi mendatang,” ungkap Nimmi.

Dr Nimmi Zulbainarni, akademisi IPB University dari Sekolah BisnisDok. IPB University Dr Nimmi Zulbainarni, akademisi IPB University dari Sekolah BisnisIa menyoroti praktik pertambangan yang tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Baginya, praktik tersebut juga memperlihatkan lemahnya instrumen tata kelola dan penegakan prinsip kehati-hatian.

“Banyak izin tambang di masa lalu dikeluarkan tanpa Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) yang partisipatif dan ilmiah, bahkan sebelum kajian valuasi ekonomi yang kredibel,” tegas Nimmi.

Dalam konteks kebijakan publik, Nimmi menekankan bahwa valuasi ekonomi seharusnya menjadi alat bantu bagi para pengambil keputusan untuk menginternalisasi eksternalitas negatif dari setiap kebijakan.

Jika kerusakan lingkungan akibat tambang dapat dihitung sebagai biaya nyata seperti kerugian produksi nelayan, biaya pemulihan terumbu karang, atau penurunan kualitas hidup masyarakat pesisir, maka keputusan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan akan menjadi jauh lebih masuk akal secara ekonomi.

“Tanpa valuasi ekonomi, lingkungan akan terus dianggap sebagai variabel bebas yang bisa dikorbankan demi investasi jangka pendek,” tuturnya.

Lebih lanjut, ia berpandangan bahwa Raja Ampat harus dilihat bukan sekadar gugus pulau-pulau kecil dengan potensi tambang, tetapi sebagai ekosistem hidup yang memiliki nilai intrinsik, nilai sosial, dan nilai ekonomi yang bersifat regeneratif.

“Keberadaannya bukan hanya penting bagi masyarakat adat dan pelaku wisata, tetapi juga bagi Indonesia secara global yang tengah membangun narasi kepemimpinan dalam transisi menuju pembangunan hijau,” imbuh Nimmi.

Pariwisata Raja Ampat Pariwisata Raja AmpatIa kembali menegaskan, pembangunan nasional sejati harus mampu menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan ekologi, antara pemanfaatan dan pelestarian, antara masa kini dan masa depan.

“Dengan menjadikan kelestarian sumber daya alam sebagai pusat kebijakan, Indonesia tidak hanya menjaga alam, tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi, sosial, dan kultural bangsa. Raja Ampat sedang berbicara, meminta pembangunan yang bijak dan beradab,” pungkasnya.

Ia menilai, isu pertambangan nikel di kawasan Raja Ampat telah menimbulkan konflik ekologi, keresahan masyarakat adat, dan mempertanyakan pemaknaan pembangunan.

Wilayah yang semestinya dilindungi ini justru menjadi sasaran eksploitasi tambang nikel, memicu gejolak serius dan krisis kepercayaan terhadap arah pembangunan nasional.

Ia mengatakan dalam beberapa bulan terakhir, laporan mengenai alih fungsi lahan di Pulau Gag, Kawe, Manuran, dan sejumlah kawasan lain di Raja Ampat telah menimbulkan konflik ekologis, keresahan masyarakat adat, dan mempertanyakan pemaknaan pembangunan.

“Jika pembangunan hanya diartikan sebagai akumulasi kapital dan pertumbuhan ekonomi jangka pendek, maka kasus Raja Ampat menjadi cerminan kegagalan dalam memahami esensi keberlanjutan,” ujar Nimmi.

Tag:  #polemik #tambang #nikel #raja #ampat #gagal #paham #esensi #berkelanjutan

KOMENTAR