Cerita Raja Smash Liem Swie King: Dulu, kalau Nggak Juara Dianggap Kalah
- Sebagai salah satu legenda bulu tangkis Indonesia yang mendunia, Liem Swie King telah meninggalkan jejak tak terlupakan dalam sejarah olahraga ini. Dikenal dengan julukan "Raja Smash", gaya permainannya yang agresif dan pukulan smash-nya yang mematikan telah menginspirasi banyak atlet muda. Jawa Pos berkesempatan untuk berbincang langsung dengannya:
Apa kabar Coach Liem Swie King?
Halo, baik.
Sekarang jadi tim pemandu bakat di Audisi Umum. Bagaimana Coach melihat antusiasme peserta?
Antusias yang banyak itu menguntungkan. Kedua, kita anggap perkembangan bulu tangkis berkembang dari tahun ke tahun, menarik minat anak. Itu baik sekali saya rasa.
Kriteria seperti apa yang dicari?
Kalau menurut saya sih yang dicari itu atlet yang mulai umur 14 tahun ya, baru kita lihat. Kalau sekarang (di bawah 12 tahun) masih terlalu kecil saya lihat. Tapi kan tujuan PB Djarum bukan hanya itu. Djarum pengin lebih awal. Kalau saya menilai, dari umur 14 baru bisa dilihat.
Kalau usia muda ini apa yang dilihat?
Bakatnya, berbakat atau tidak, kan kelihatan.
Bagaimana patokan lihat anak yang ada bakatnya?
Ya itu insting seseorang. Bakat itu kan bisa juga (dilihat) dari footwork-nya. Langkahnya memang langkah badminton. (Kadang) ada orang kan langkahnya agak aneh, itu dari seperti begitu ketahuan.
Setelah 2000-an sepertinya tidak ada tunggal putra top dari PB Djarum, itu bagaimana?
Makanya saya menilai dengan diadakannya event pencarian bakat, ada kejuaraan beberapa kali ikut, harusnya ada ya, dan sudah cukup lama juga. Kalau puluhan tahun belum juara, saya rasa harus dipertanyakan juga. Zaman saya nggak seperti ini kok. Cukup dua lapangan saja sudah cukup. Berarti ada sesuatu yang membuat nggak bisa mencetak juara, wong semuanya ada kok.
Kenapa zaman itu dengan fasilitas terbatas bisa berprestasi?
Iya, mungkin sekarang sudah bisa ranking 1 aja merasa puas. Dengan kontrak yang ada, dapat penghasilan, kan puas. Kalau dulu nggak ada masalah duit, takarannya prestasi. Kalau kamu nggak juara, dianggap kalah. Mungkin faktor manjanya juga ada.
Mungkin ada faktor nonteknis lain?
Begini, dulu orang tua kita sakit aja itu bisa kita kesampingkan loh kalau pas pertandingan gede.
Kalau Coach melihat hasil tunggal putra Indonesia yang gugur di babak awal Olimpiade bagaimana?
Ya jangankan kalian, saya juga bertanya-tanya. Padahal Jojo (Jonatan Christie) baru juara (All England). Kok ini di awal (babak grup Olimpiade) sudah kalah. Itu pertanyaannya. Kalau dia kalah di semi atau final, kami maklumi. Bersaing ketat, itu saya nggak tahu sih. Orang (Jonatan) Maret-nya masih juara kok. Ya kan, di All England masih dia, harusnya beberapa bulan setelahnya dia masih berbicara. Paling nggak semifinal.
Kalau menurut Coach, kendalanya apa tuh?
Lebih ke jaga kondisi ya. Itu ada jarak (All England ke Olimpiade) sekitar 4–5 bulan ya. Harus jaga kondisi selama itu. Nanti ada saatnya sampai di titiknya. Jangan sampai waktunya kita bosan latihan. Saya rasa cari motivasi ya. Harus bisa jaga momentum, kan sudah tahu targetnya Olympic. Ya itu harus dipersiapkan dengan baik.
Apa mungkin tekanan publik lebih besar karena diserang melalui media sosial?
Kalau tekanan dari publik dari dulu ada kok. Cuma bentuknya lain. Dulu kita runner-up aja dianggap kalah lho. (Disebut) kalah karena cuma masuk final, jadi ya gimana ya, kalau zamannya lain.
Ketika Coach menjadi atlet terkenal dengan jumping smash. Itu dilatihnya seperti apa?
Semua itu dari bakat. Kedua dari latihan. Kalau masih umur 9-10 ini masih belum kelihatan menurut saya. Umur-umur segitu harus cari minat yang baik, bakat yang baik, dan senang badminton. Itu dulu deh.
Adakah spesifikasi khusus latihan untuk jumping smash?
Ada, intinya harus sering dilatih, semua dari latihan.
Apa kejuaraan paling berkesan buat Coach?
Ya banyak, terutama yang event gede seperti All England, Thomas Cup. Waktu itu yang besar (skalanya) kan itu-itu saja. Ya itu paling berkesan. Juara All England juga kan, dari anak muda begitu bisa juara. Dulu idola saya kan Rudy Hartono misalnya. Saya bisa ngalahin waktu itu, (padahal) dulu cuma bermimpi. Itu event yang saya tidak lupa sampai sekarang. Thomas Cup juga begitu, bisa memenangkan (edisi 1984) itu juga kenangan yang tidak terlupakan.
Ada nggak lawan yang sulit di zaman itu?
Han Jian, Morten (Frost) juga. Itu orang ulet-ulet, pemain ulet semua, Han Jian sama Morten.
Kalau sesama Indonesia yang sulit?
Sesama Indonesia yang ulet waktu itu sih Icuk Sugiarto, tetapi kan dia muncul setelah saya sudah agak senior, tidak dalam fase galak. Ya tapi tipe ulet-ulet begitu yang saya tidak suka.
Coach terkenal pernah bermain di berbagai nomor. Saat itu gimana?
Saya awal pertama pas junior itu tunggal, tidak ada kepikiran ke sana (main ganda). Tapi setelah dewasa, matang, lihat teman-teman menarik gitu loh. Saya coba-coba dan saya ikut double waktu itu
Lebih enak main di sektor mana?
Enakan tunggal kalau saya ya, hehehe.
Sekarang kegiatan di luar bulu tangkis apa saja?
Sekarang sih saya waktunya untuk keluarga. Cucu saya lima lho, sudah banyak keluarga.
Cucu ada yang meneruskan?
Masih kecil-kecil. Kalau dia senang (badminton), ya kita kasih kesempatan nanti, disuruh latihan. Kalau anak kan tidak sempat (meneruskan). Sekarang giliran cucu.
Cucu umur 8, 10, 12. Sebetulnya badminton itu kan gampang, asal tekun latihan saja. Beda dengan tenis, kalau tenis itu susah. Lebih susah menurut saya kalau tenis. Nggak tahu ya. Apa karena saya pemain bulu tangkis, tapi susah tenis. Badminton itu asal tekun saja pasti menonjol. (raf/c17/bas)
Tag: #cerita #raja #smash #liem #swie #king #dulu #kalau #nggak #juara #dianggap #kalah