5 Catatan Denny Indrayana Soal MK Hapuskan Presidential Treshold hingga Antisipasi Dinasti Politik
Pakar hukum tata negara Prof Dr Denny Indrayana 
14:30
3 Januari 2025

5 Catatan Denny Indrayana Soal MK Hapuskan Presidential Treshold hingga Antisipasi Dinasti Politik

- Pakar hukum tata negara Prof Denny Indrayana menyampaikan lima catatannya terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.

Nama Denny dan sejumlah tokoh lain disebut-sebut pakar hukum tata negara sekaligus mantan Ketua MK Mahfud MD pernah mengajukan permohonan serupa terkait penghapusan ketentuan presidential threshold.

Tercatat, Denny bersama Refly Harun pernah menjadi kuasa hukum dari sejumlah diaspora Indonesia yang mengajukan permohonan kepada MK terkait ketentuan presidential threshold tersebut pada medio 2022 lalu.

Denny mengungkapkan catatan yang pertama, menurutnya putusan itu tetap perlu diapresiasi meski menurut catatannya setelah lebih dari 50 permohonan terkait yang diajukan tidak pernah dikabulkan.

"Jadi ini berarti ada perubahan putusan yang sebelumnya mengatakan ambang batas presiden itu konstitusional, sekarang dianggap melanggar undang-undang dasar," kata Denny saat dihubungi Tribunnews.com pada Jumat (3/1/2025).

Kedua, Denny mencatay dalam putusannya MK memberi ruang kepada proses legislasi untuk mengatur agar calon-calon presiden dan wakil presiden itu tetap tidak banyak. 

Hal tersebut menurutnya juga perlu diantisipasi. 

Denny mengatakan meski MK sudah memberi batasan-batasan, akan tetapi tetap saja ada dua hal yang berpotensi menyebabkan putusan MK ini menjadi kurang bermakna.

Pertama, ujar dia, perubahan UU Pemilu yang akan menjadi pintu masuk putusan MK bisa jadi dianulir dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan politik. 

Kedua, ucapnya, potensi perubahan UUD 1945 kembali ke naskah asli. 

"Kalau yang pertama itu legislatif review melalui perubahan UU pemilu. Kedua ini adalah konstitusional review melalui proses perubahan UUD 45 di MPR yang bisa jadi membuka pintu kembalinya metode pemilihan presiden tidak langsung ke MPR," ucapnya.

"Jadi kalau pemilihan presidennya kembali ke MPR melalui perubahan UUD ya tidak ada maknanya, tidak ada artinya putusan MK itu. Karena putusan MK kan pondasi dasarnya adalah pemilihan presiden langsung. Atau direct presidential election," sambung dia.

Ketiga, putusan MK tersebut memungkinkan partai politik peserta pemilu bukan hanya partai politik yang punya kursi di DPR bisa mengajukan pasangan calon presiden atau wakil presiden.

Menurutnya, hal itu memiliki konsekuensi partai-partai yang ditetapkan KPU sebagai peserta pemilu punya kesempatan untuk mengajukan paslon pada Pilpres tahun 2029.

"Kalau sekarang yang ada di DPR-nya 8, tapi kalau yang non parlemen, yang ikut pemilu itu juga punya hak untuk mengajukam paslon. PSI dan kawan-kawan itu punya hak," katanya.

Keempat, karena berdasarkan putusan MK tersebut paslon-paslon non parlemen punya hak, maka muncul konsekuensi-konsekuensi politik.

Ia mencontohkan hal tersebut dengan kemungkinan munculnya kembali dinasti.

"Seperti munculnya lagi dinasti Jokowi misalnya melalui PSI, Ketua Umum Kaesang, Wakil Presiden Gibran yang perlu diantisipasi dampaknya bagi kesehatan demokrasi kita di Tanah Air," ungkapnya.

"Bagaimanapun demokrasi menurut saya harus membatasi politik-politik dinasti. Apalagi politik dinasti yang keluar dari prinsip-prinsip pemilu yang jujur dan adil," lanjut dia.

Terakhir, menurutnya bagaimana putusan MK ini disikapi ke depan akan menunjukkan arah politik hukum pemerintahan Prabowo dalam melakulan reformasi sistem kepemiluan kita. 

"Karena bagaimanapun sistem kepemiluan kita memang perlu dikoreksi agar tidak terus makin menjauh dari prinsip demokrasi dan makin terseret arus 'duitokrasi', daulat uang, daulat duit," pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya MK menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu melalui putusan atas permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024.

Dengan keputusan tersebut maka setiap partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa perlu memenuhi persyaratan minimal dukungan suara tertentu.

Namun demikian, MK juga memberikan catatan penting. 

Catat itu yakni dalam praktik sistem presidensial di Indonesia yang didukung model kepartaian majemuk, potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat membengkak hingga sama dengan jumlah partai peserta pemilu. 

Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran terhadap efisiensi pemilu dan stabilitas sistem politik.

Selain itu, Mahkamah juga menegaskan penghapusan ambang batas adalah bagian dari perlindungan hak konstitusional partai politik. 

Namun demikian, revisi UU Pemilu yang akan datang diharapkan dapat mengatur mekanisme untuk mencegah lonjakan jumlah pasangan calon yang berlebihan, sehingga pemilu tetap efektif dan sesuai dengan prinsip demokrasi langsung.

MK juga menyoroti, meskipun konstitusi memungkinkan pemilu dua putaran, jumlah pasangan calon yang terlalu banyak tidak selalu membawa dampak positif bagi perkembangan demokrasi presidensial di Indonesia. 

Sehingga, keputusan itu diharapkan menjadi titik balik dalam dinamika pemilu Indonesia, sekaligus menyeimbangkan hak konstitusional partai politik dengan kebutuhan stabilitas demokrasi.

Putusan MK terkait penghapusan ambang batas tersebut merupakan putusan atas permohonan yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 

MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama Gedung MK Jakarta Pusat pada Kamis (2/1/2025).

Editor: Wahyu Aji

Tag:  #catatan #denny #indrayana #soal #hapuskan #presidential #treshold #hingga #antisipasi #dinasti #politik

KOMENTAR