Praperadilan Paman Birin dan Tom Lembong, KPK Perlu Studi ke Kejagung agar Tidak Kalah di Pengadian
Suasana sidang praperadilan Tom Lembong di PN Jakarta Selatan, Senin (25/11/2024). 
00:22
8 Desember 2024

Praperadilan Paman Birin dan Tom Lembong, KPK Perlu Studi ke Kejagung agar Tidak Kalah di Pengadian

– Dua institusi penegak hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) memiliki nasib berbeda saat tersangka kasus korupsi yang ditanganinya mengajukan praperadilan ke pengadilan. 

Adalah mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Lembong yang menjadi tersangka dalam dugaan korupsi importasi gula periode 2015-2016 yang menggugat praperadilan terhadap Jampidsus, Kejagung.

Sementara, Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel), Sahbirin Noor atau Paman Birin mempraperadilankan KPK atas status tersangkanya karena tertangkap dalam sebuah operasi pada 6 Oktober 2024. Berjarak 5 hari dari penangkapan itu, Paman Birin mendaftarkan praperadilan pada 10 Oktober.

Sepanjang waktu itu, KPK terus mengumpulkan bukti dengan memeriksa 17 saksi hingga 31 Oktober 2024 untuk menjerat Paman Birin.

Sidang praperadilan Paman Birin terhadap KPK berlangsung hingga 12 November yang pada akhirnya majelis Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan mengabulkan permohonan itu.

Berselang sehari putusan praperadilan itu, Paman Birin mengundurkan diri sebagai Gubernur Kalsel meski masih menyisakan waktu masa jabatannya.

Sedangkan praperadilan Thomas Lembong lewat kuasa hukumnya mendaftar ke PN Jakarta Selatan pada 5 November 2024.

Selama persidangan itu, kuasa hukum Tom Lembong berupaya membuktikan ada kesalahan prosedur dalam penetapan tersangka untuk kasus dugaan korupsi importasi gula. Salah satu yang ingin dibuktikan kuasa hukum Tom Lembong terkait dengan perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus itu.

Soal ini, Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017 memutus demi kepastian hukum dan mencegah kesewenang-wenangan aparat penegak hukum, maka terlebih dulu harus membuktikan adanya kerugian keuangan negara sebelum dilakukan penyidikan perkara korupsi. Selanjutnya, unsur merugikan keuangan atau perekonomian negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss), tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss).

Mencermati masalah tersebut, pengamat hukum pidana dari Universitas Bung Karno Cecep Handoko mengatakan, KPK yang kerap kalah dalam praperadilan harusnya lebih cermat dalam menindak sebuah perkara. Apalagi KPK merupakan lembaga hukum khusus menangani perkara korupsi.

"Menarik bila ditarik ke belakang, di mana KPK hadir untuk memberantas korupsi, tidak seperti lembaga hukum lainnya seperti Kejaksaan dan Polri, yang memang lahir mencakup seluruh penanganan perkara hukum. Harusnya KPK lebih matang dan fokus menangani sebuah perkara," kata Cecep kepada wartawan, Sabtu (7/12/2024).

Pria yang karib disapa Ceko ini mengimbau agar KPK mawas diri dengan cara belajar kepada Kejaksaan Agung. Agar dalam menangani sebuah perkara tidak digugat dan kalah lagi lewat praperadilan.

"Segmennya kan jelas, tipikor, bukan perkara lainnya. Ini perlu ditekankan agar KPK kembali belajar. Agar apa? Supaya penanganan sebuah perkara itu tidak dipatahkan," kata Ceko.

Sementara itu, pengamat hukum pidana UPN Veteran Jakarta, Benny Harmoni Harefa mengatakan, terpenting dari kasus korupsi adalah membuktikan perbuatan niat jahatnya. Dan itu pula yang ingin dibuktikan Tom Lembong lewat kuasa hukumnya pada waktu praperadilan termasuk soal belum ada perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus itu.

"Sejatinya objek praperadilan berdasarkan Pasal 77 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sah tidaknya penangkapan, penahanan, sah tidaknya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan serta ganti rugi dan rehabilitasi. Pasca-perluasan objek praperadilan melalui Putusan MK No 21/PUU/XII/2014, maka termasuk objek praperadilan sah tidaknya penetapan tersangka, sah tidaknya penggeledahan dan sah tidaknya penyitaan. Pembatasan semuanya pengujian ini dalam ranah acara/formil," ujar Benny.

Namun, kuasa hukum Tom Lembong sepertinya lupa bahwa untuk menetapkan seseorang tersangka merujuk KUHAP setidak-tidaknya adanya bukti permulaan yang cukup atau 2 alat bukti yang sah. Nah, berdasarkan pemaparan penyidik pada Jampidsus, Kejagung dalam sidang praperadilan tersebut, mampu membuktikan alat bukti untuk menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka justru sudah melebihi dari ketentuan sebagaimana yang tertuang dalam KUHAP.

"Sehingga seharusnya KPK tidak hanya mengandalkan OTT yang disertai penyadapan. Namun harus mengkonstruksi (membangun) suatu perkara sejak awal dengan mengumpulkan seluruh bukti tanpa melanggar hukum acara (formil). Hal inilah yang sering dilakukan pidsus Kejaksaan," kata Benny.

Berdasarkan itu pula, kata Benny, hakim tunggal pada PN Jakarta Selatan, Tumpanuli Marbun, menolak permohonan praperadilan Tom Lembong.

Atas dasar fakta itu, kata Benny, maka penting mendiskusikan proses dan hasil praperadilan terhadap KPK dan Jampidsus pada Kejagung. 

"Karena hal itu pula, (KPK) perlu mengkonstruksi suatu perkara sejak awal. Sehingga terkumpul seluruh bukti dengan tanpa melanggar hukum acara atau formilnya suatu perkara," ungkap Benny.

Apalagi kedua kasus yang dimohonkan itu, kata Benny, sangat berbeda dalam penanganannya.

Kasus yang ditangani KPK berdasarkan operasi tangkap tangan atau OTT, sementara penyidik Jampidsus pada Kejagung membangun kasusnya yang menjerat Tom Lembong dari awal tanpa OTT. 

Tentu saja membangun kasus dari awal itu, kata Benny, jauh lebih sulit ketimbang mengandalkan OTT yang selalu berdasarkan pengintaian dan penyadapan. Membangun kasus dari awal itu membutuhkan pemahaman hukum tinggi khususnya soal tindak pidana korupsi. 

Apalagi, kata Benny, tindak pidana korupsi selalu pula melibatkan mereka yang disebut sebagai penjahat kerah putih atau orang-orang cerdas yang kerap memegang kekuasaan atau jabatan tertentu dalam pemerintahan.

Karena itu, kata Benny, penyidik pada KPK penting untuk belajar dari Jampidsus, Kejagung dalam menangani kasus tindak pidana korupsi agar tidak mudah kalah ketika digugat praperadilan. 

"KPK kendati punya kewenangan supervisi, tidak perlu malu untuk studi banding ke Jampidsus Kejagung untuk belajar mempertahankan argumentasi dalam menghadapi praperadilan. Itu sebabnya, penting mendiskusikan hal tersebut terutama dalam rangka menyiapkan roadmap pemberantasan korupsi ke depan," tandas Benny.
 
 
 
 
 
 

Editor: Eko Sutriyanto

Tag:  #praperadilan #paman #birin #lembong #perlu #studi #kejagung #agar #tidak #kalah #pengadian

KOMENTAR