RUU Narkotika Bakal Prioritaskan Pengguna Narkoba Direhabilitasi Bukan Dipenjara
Kata Eddy, dengan Revisi UU itu nantinya, akan memuat soal penerapan hukuman atau sanksi terhadap narapidana pengguna narkoba.
Jika pada UU sebelumnya pengguna narkoba dijatuhi hukuman penjara, di dalam Revisi UU ini penerapan pidana untuk pengguna narkoba akan didahulukan dengan rehabilitasi.
"Jadi kita balik, kalau dalam undang-undang narkotika yang lama, undang-undang nomor 35 tahun 2009, itu kan penegakan hukum. Baru kemudian nanti apakah dia direhalabilitasi atau tidak menunggu proses lebih lanjut," kata Eddy saat Media Gathering di Kantor Kementerian Hukum RI, Jakarta, Rabu (4/12/2024).
"Nah sekarang ini dibalik. Yang lebih dulu itu adalah rehabilitasinya dulu," sambungnya.
Setelah itu, akan diterapkan penelaahan lebih jauh terhadap narapidana pengguna narkoba itu melalui tim dari Badan Narkotika Nasional (BNN).
Tim tersebut kata Eddy, akan memberikan asesmen terhadap napi pengguna narkoba soal apakah akan dilanjutkan ke tahapan hukuman penjara atau pada sebatas rehabilitasi lanjutan.
"Baru kemudian TAT, Team Assessment Terpadu, ini dia yang akan memberikan penilaian apakah ini akan diproses secara hukum atau tindakan rehabilitasi, tindakan itu apakah rawat inap atau rawat jalan, ini semua berada pada TAT," kata dia.
Aturan yang nantinya bakal ada di RUU Narkotika tersebut kata Eddy, semata untuk mengatasi penuhnya lembaga pemasyarakatan (lapas) yang ada di Indonesia.
"Tetapi, intinya di dalam RUU Narkotika itu aspek rehabilitasi diutamakan tetapi tidak meninggalkan penegakan hukum. Bahwa, apakah dua-duanya akan diterapkan penegakan hukum dan rehabilitasi ini tergantung dari tim asesment terpadu dan BNN sebagai vocal pointnya," tandas Eddy.
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum RI (Wamenkum) Edward Omar Hiariej alias Eddy Hiariej menegaskan, sejatinya dorongan pemerintah untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 35 tahun 2009 adalah salah satunya untuk mencegah terjadinya over kapasitas di lembaga pemasyarakatan.
Pasalnya kata Eddy, dari data yang dimilikinya, 52 persen penghuni lapas di Indonesia merupakan narapidana narkoba.
"Memang kita tahu persis 52 persen penghuni lapas itu adalah kejahatan narkotika. Dan yang cukup menyedihkan itu 80 persen pengguna," kata Eddy saat media gathering di Kantor Kementerian Hukum RI, Jakarta, Rabu (4/12/2024).
Mirisnya kata Eddy, dari jumlah 80 persen napi yang merupakan pengguna narkoba itu sebagian besarnya hanya memiliki barang bukti yang kecil.
Dirinya secara terang-terangan menyebut, kalau rata-rata barang bukti yang membuat pengguna narkoba harus mendekam di lapas yakni di bawah 1 gram.
Meski memang hal tersebut dilarang, namun kata Eddy, kondisi itu yang membuat sebagian besar lapas di Indonesia penuh saat ini.
"Tetapi karena undang-undang, mereka (narapidana) kan harus mendekam di dalam penjara minimal 4 tahun kan, padahal barang bukti mereka itu di bawah 1 gram. Kalau kita mau lihat average itu berkisar antara 0,4 sampai 0,5 gram," kata dia.
Atas hal itu, pemerintah mendorong agar dilakukannya Revisi UU tentang Narkotika tersebut agar dalam beleid nantinya bisa diatur soal penerapan hukuman pidana terhadap tersangka narkoba.
Kata dia beberapa alternatif bisa dilakukan yang sifatnya berupa sanksi pidana terhadap napi pengguna narkoba, bukan hanya hukuman badan, tetapi juga penerapan rehabilitasi.
"Tapi karena undang-undang, undang-undang narkotika itu kan dia pakai indeterminate sentence. Jadi ada ancaman minimum, ada ancaman maksimum. Ini yang akan kita perbaharui dalam RUU narkotika," kata dia.
Kekinian, RUU Narkotika yang menjadi usulan atau inisiatif dari Pemerintah itu masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 yang akan segera dibahas oleh DPR RI.
Tag: #narkotika #bakal #prioritaskan #pengguna #narkoba #direhabilitasi #bukan #dipenjara