Mahfud MD: Kasus Eks Pejabat MA Zarof Ricar Titik Balik Marwah Hukum
Mantan Kepala Badan Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (2010-2022), Zarof Ricar, saat ditangkap dan digiring petugas ke mobil tahanan di Kejaksaan Agung RI, RI, Jakarta, Jumat (25/10/2024). Dia ditangkap dalam rangkaian operasi tangkap tangan (OTT) Kejaksaan Agung terhadap tiga hakim dan pengacara yang mengani kasasi terpidana kasus pembunuhan, Ronald Tannur. 
20:52
31 Oktober 2024

Mahfud MD: Kasus Eks Pejabat MA Zarof Ricar Titik Balik Marwah Hukum

- Kasus dugaan suap penanganan kasasi oleh mantan penjabat eselon 1 Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, merupakan secuil kasus dari mafia peradilan di republik Indonesia yang sudah berjalan lama.

Mantan Menko Polhukam dan eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, menilai pengungkapan kasus ini menjadi titik balik bagi pemerintah Indonesia untuk menegakkan kembali marwah hukum negara ini.

Mengingat kasus ini melibatkan sejumlah perkara yang sudah diputus sejak tahun 2012 hingga 2022. 

"Harusnya perkara ini ditelusuri, kejaksaan harus buka lagi perkaranya. Kalau bisa disidang kembali. Biar tidak ada korban yang dihukum karena hanya menjadi kambing hitam," ujar Mahfud dalam keterangannya, Kamis (31/10/2024).

Ia menilai jika ada korban kambing hitam dalam sejumlah perkara yang terindikasi dalam kasus ini, jaksa bisa melakukan Peninjauan Kembali (PK).

Kasus tersebut membuka fakta banyaknya perkara yang selama ini ditangani Mahkamah Agung terindikasi diputus secara tidak independen dan sarat intervensi. 

Perkara yang cukup jadi perhatian dampak dari kasus ini, terkait dengan kesesatan putusan hakim yang mengorbankan kebenaran adalah kasus Mardani Maming.


Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita, selaku Ketua Tim Penyusun RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan RUU Pembentukan KPK, menyebut terdapat delapan kekeliruan serius dalam penanganan perkara Maming. 

Ia mengatakan bahwa tuntutan dan putusan pemidanaan tidak didasarkan pada fakta hukum, melainkan lebih didasarkan pada imajinasi penegak hukum. 

"Proses hukum terhadap terdakwa bukan hanya menunjukkan kekhilafan atau kekeliruan nyata, tetapi merupakan sebuah kesesatan hukum yang serius," kata Romli.

Senada dengan Romli, akademisi Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Muhammad Arif Setiawan, menilai kasus Mardani Maming tanpa adanya bukti permulaan tapi sudah berstatus tersangka.

Hal ini menunjukkan kasus yang melibatkan mantan BPP HIPMI ini merupakan bukti kasus yang proses dan prosedurnya tidak benar.

"Mungkin enggak, menetapkan tersangka pembunuhan padahal bukti matinya belum ada," ujarnya.

Dalam kasus ini ia melihat Mardani Maming ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi tanpa adanya kepastian audit kerugian negara.

Sebagai ahli hukum acara pidana, Arif menyebut, kasus seperti ini biasanya bersifat materil, berarti harus ada kerugian negara terlebih dahulu sebelum penetapan tersangka. 

"Seharusnya kalau tidak ada pembuktiannya, tidak bisa dipaksakan. Karena untuk bukti ada hukum pembuktian," ujarnya.

Ia menerangkan dalam kasus ini, jika Mardani Maming dituduh menerima suap harus ada dua pihak, baik pemberi dan penerima.

Dalam pembuktiannya pun harus ditemukan kesepahaman antara kedua belah pihak, sedangkan dalam kasus ini si penerima tidak bisa dibuktikan menerima.

"Sekarang gimana cara pembuktiannya, pihak pemberi sudah tidak ada. Jadi gimana cara membuktikannya," ujarnya.

Menurutnya, pasal yang disangkakan pada Maming tidak bisa dibuktikan apakah yang bersangkutan menerima hadiah atau mengeluarkan surat keputusan atas Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Editor: Acos Abdul Qodir

Tag:  #mahfud #kasus #pejabat #zarof #ricar #titik #balik #marwah #hukum

KOMENTAR