Bukan Salah Hujan: Menggugat Negara yang Absen Merawat Hulu
Warga berjalan di atas sampah kayu gelondongan pasca banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). Sampah kayu gelondongan tersebut menumpuk di pemukiman warga dan sungai pasca banjir bandang pada Selasa (25/11). ANTARA FOTO/Yudi Manar/bar(Yudi Manar)
09:14
7 Desember 2025

Bukan Salah Hujan: Menggugat Negara yang Absen Merawat Hulu

IRONI ini begitu tajam menusuk nurani kebangsaan kita. Hampir delapan dekade silam, rakyat Aceh dengan ikhlas melucuti perhiasan mereka demi republik.

Mereka mengumpulkan 20 kilogram emas demi menghadiahi Republik ini sayap pertamanya, yakni Seulawah RI-001. Peristiwa heroik itu terjadi tepat saat Belanda hendak mencekik kemerdekaan kita.

Namun hari ini, di tengah kepungan banjir Desember 2025, sayap penyelamat dari pemerintah pusat justru terasa begitu berat mengepak. Bantuan negara terasa begitu jauh untuk sekadar hadir membalas budi ke Tanah Rencong.

Mari kita jujur melihat cermin retak ini. Tragedi di Aceh sesungguhnya hanyalah gejala dari penyakit kronis yang lebih besar dalam tubuh birokrasi kita.

Persoalan ini bukan semata tentang Aceh yang terendam atau lambatnya perahu karet tiba di lokasi. Ini adalah tentang pertanyaan eksistensial yang mengusik benak setiap warga negara.

Di manakah negara saat bencana belum mengetuk pintu? Di manakah negara dalam sunyi senyap keseharian rakyatnya?

Sindrom obat pereda nyeri

Peristiwa banjir di ujung barat Indonesia ini kembali menelanjangi pola tata kelola yang terjebak dalam sindrom obat pereda nyeri.

Kita memiliki kecenderungan birokratis yang hanya sibuk memberikan dosis bantuan ketika rasa sakit sudah tak tertahankan.

Pejabat kita baru terlihat berkeringat ketika air sudah menenggelamkan atap. Mereka baru sibuk ketika tagar kemarahan sudah memuncaki tren media sosial.

Negara seolah hanya berfungsi sebagai unit gawat darurat. Namun, negara sering kali lupa cara menjadi penjaga kesehatan harian warganya.

Lihatlah data di lapangan dengan jernih. Runtuhnya 224 jembatan dan air bah yang membawa material kayu gelondongan di Aceh Tamiang bukan terjadi semalam. Itu adalah bukti nyata kegagalan negara merawat hulu.

Hutan yang gundul dan daerah aliran sungai yang rusak dibiarkan tanpa pemulihan berarti selama bertahun-tahun.

Air tidak turun begitu saja sebagai musibah hujan. Ia meluncur deras tanpa hambatan karena benteng ekologis kita telah runtuh oleh izin-izin tambang dan perkebunan yang tak terkendali.

Jembatan tidak ambruk hanya karena arus deras sehari, tapi karena negara absen melakukan audit kelayakan saat matahari bersinar. Banjir besar ini hanyalah hakim yang menjatuhkan vonis atas kelalaian panjang tersebut.

Ketidakhadiran dalam fase pencegahan ini diperparah dengan kelambanan dalam fase kritis atau yang dikenal sebagai golden time.

Ketika birokrasi masih sibuk dengan prosedur administrasi pencairan dana siap pakai saat nyawa warga terancam justru inisiatif warga melesat mendahului negara.

Sosok pemengaruh seperti Ferry Irwandi mampu menggalang Rp 10,3 miliar dan mengirim 5,2 ton logistik hanya dalam 24 jam.

Di sini kita melihat kontras yang mencolok. Pemengaruh media sosial bekerja dengan modal kepercayaan publik yang tinggi.

Sementara itu, negara bekerja dengan kerangka acuan yang kaku dan lamban. Kecepatan inilah yang menyelamatkan nyawa dan bukan stempel basah administrasi.

Fenomena 87.000 donatur yang menitipkan uangnya kepada figur publik adalah tamparan keras bagi sistem kita. Rakyat sesungguhnya telah membayar pajak untuk perlindungan negara.

Namun, saat krisis terjadi, rakyat lebih percaya menyalurkan dana lewat jalur nonpemerintah. Ini adalah mosi tidak percaya yang sunyi, tapi memekakkan telinga.

Lebih jauh lagi terdapat paradoks yang menyedihkan perihal makna kedaulatan. Dulu Aceh memberikan harta fisik berupa emas demi kedaulatan politik Indonesia di mata dunia.

Kini, Jakarta justru mengatasnamakan kedaulatan politik untuk menolak bantuan teknologi asing yang diminta warga terdampak demi kelancaran komunikasi.

Kedaulatan macam apa yang kita rayakan di atas penderitaan pemegang saham republik ini?

Kita tidak bisa membiarkan Republik ini dikelola dengan manajemen pemadam kebakaran semata. Rakyat membutuhkan negara yang hadir sebagai penjaga malam yang waspada. Rakyat butuh pengayom siang yang bekerja dalam senyap.

Kualitas pemerintahan modern tidak diuji dari seberapa banyak bantuan yang disalurkan pascabencana.

Kualitas itu justru diukur dari seberapa sedikit warganya yang menderita karena risiko yang sebenarnya bisa dimitigasi sejak awal.

Momentum reformasi birokrasi

Suasana perkotaan Aceh Tamiang pascabanjir bandang di Aceh Tamiang, Aceh, Kamis (4/12/2025). Berdasarkan data Posko Komando Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh pada Selasa (2/12) sebanyak 1.452.185 jiwa terdampak bencana hidrometeorologi yang melanda 3.310 desa di 18 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/tom.BAYU PRATAMA S Suasana perkotaan Aceh Tamiang pascabanjir bandang di Aceh Tamiang, Aceh, Kamis (4/12/2025). Berdasarkan data Posko Komando Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh pada Selasa (2/12) sebanyak 1.452.185 jiwa terdampak bencana hidrometeorologi yang melanda 3.310 desa di 18 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/tom.Inilah mengapa narasi balas budi kepada Aceh tidak cukup dibayar dengan dana rekonstruksi triliunan rupiah setelah semuanya hancur.

Hutang sejarah itu hanya bisa dicicil dengan reformasi paradigma birokrasi secara total. Kita membutuhkan aparatur sipil yang menjadikan melayani sebagai etos harian. Melayani bukan sekadar kewajiban saat status darurat sipil ditetapkan.

Presiden Prabowo Subianto memiliki momentum emas untuk mengubah kultur usang ini. Perintah Presiden harus melampaui sekadar mobilisasi tentara untuk tanggap darurat bencana.

Instruksi yang lebih mendesak adalah memastikan seluruh organ pemerintahan bekerja dalam mode antisipatif.

Negara harus hadir di ruang sunyi dan di lorong birokrasi perizinan yang bersih. Negara harus hadir dalam pemeliharaan infrastruktur yang disiplin. Negara harus hadir di perlindungan lingkungan yang tak bisa ditawar lagi.

Ketika negara alpa dalam keseharian, maka bencana alam akan selalu bermutasi menjadi bencana kemanusiaan yang parah.

Sebaliknya ketika negara hadir secara penuh dalam rutinitas pembangunan yang berkualitas, maka dampaknya akan berbeda.

Bencana mungkin tetap datang sebagai takdir alam, tapi ia tidak akan meluluhlantakkan martabat manusia di dalamnya.

Aceh hari ini memberi kita pelajaran mahal agar kita tidak menjadi bangsa pelupa. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang hanya memiliki memori jangka pendek. Kita jangan hanya menangis saat bencana lalu lupa dan kembali abai saat air surut.

Solidaritas sosial yang meledak saat ini adalah modal sosial luar biasa. Namun, hal itu tidak boleh menjadi alasan bagi negara untuk melepaskan tanggung jawab utamanya. Jangan sampai negara menyerahkan urusan publik kepada inisiatif swasta semata.

Pada akhirnya republik ini didirikan bukan hanya untuk mengelola krisis. Republik ada untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang berkelanjutan.

Rakyat Aceh dulu memberikan emas agar negara ini ada dan berdaulat penuh. Kini saatnya negara membuktikan kedaulatannya bukan dengan pamer kekuatan politik.

Negara harus membuktikan diri dengan hadir melayani warganya yang paling rentan. Negara harus hadir merawat hutan sebelum gundul dan hadir menyiapkan perahu sebelum air naik.

Kehadiran negara adalah soal rasa aman yang dirasakan warga setiap kali mereka memejamkan mata di malam hari.

Mereka harus yakin bahwa ada sistem yang bekerja melindungi mereka saat terlelap. Itulah hakikat republik yang sesungguhnya.

Tanpa jaminan rasa aman itu kita hanya sekadar kerumunan orang yang hidup bersama di atas tanah yang rawan. Kita hanya menunggu giliran siapa yang akan berteriak minta tolong berikutnya.

Tag:  #bukan #salah #hujan #menggugat #negara #yang #absen #merawat #hulu

KOMENTAR