Bahan Bakar Baru E10 Digadang Ramah Lingkungan, Seberapa Siap Indonesia?
Ilustrasi bioetanol. (Dok. Istimewa)
14:20
13 Oktober 2025

Bahan Bakar Baru E10 Digadang Ramah Lingkungan, Seberapa Siap Indonesia?

Baca 10 detik
    • Kebijakan E10 disebut langkah menuju energi bersih, tapi kesiapan infrastruktur dan standar kualitas masih jadi tanda tanya.
    • Risiko teknis muncul karena etanol mudah menyerap air dan bisa menyebabkan korosi jika tidak dikontrol ketat.
    • Dampak pangan dan ekonomi perlu diperhatikan karena bahan baku bioetanol bersaing dengan kebutuhan pangan, sehingga perlu beralih ke biomassa generasi kedua.

Langkah Indonesia menuju energi bersih kembali diuji lewat rencana penerapan bahan bakar etanol 10 persen (E10). Pemerintah menyebutnya sebagai upaya menuju kemandirian energi dan target net zero emission.

Namun di balik narasi hijau itu, muncul pertanyaan: seberapa siap infrastruktur, industri, dan lingkungan menghadapi kebijakan ini?

Menurut Dr. Leopold Oscar Nelwan, Dosen Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB University, E10 memang menjanjikan, tetapi tanpa kesiapan matang bisa menimbulkan masalah baru.

Ilustrasi Toyota Avanza mengisi BBM jenis Bioetanol (Suara x Gemini) PerbesarIlustrasi Toyota Avanza mengisi BBM jenis Bioetanol (Suara x Gemini)

“E10 membuka peluang besar untuk memperluas pemakaian energi terbarukan, tapi ada aspek teknis yang perlu benar-benar diperhatikan agar tidak menimbulkan masalah di lapangan,” ujarnya.

Salah satu sorotan utamanya adalah kualitas etanol. Zat ini bersifat higroskopis—mudah menyerap air—yang bisa menyebabkan korosi pada sistem bahan bakar bila kadar air melewati ambang batas.

“Pada produk E5 yang sudah beredar, kadar air dijaga di bawah 0,15 persen. Standar seperti ini perlu diperketat lagi untuk E10,” jelasnya.

Leopold juga menyinggung dimensi ekonomi dan pangan. Di satu sisi, produksi bioetanol bisa membuka lapangan kerja dan memperkuat kemandirian energi nasional. Namun di sisi lain, bahan baku utama bioetanol masih berasal dari tanaman penghasil gula dan pati yang juga menjadi kebutuhan pangan.

“Karena itu, pengembangan sebaiknya diarahkan ke biomassa generasi kedua seperti limbah tanaman agar tidak mengganggu sektor pangan,” tegasnya.

Kebijakan E10 memang tampak sebagai langkah hijau, tapi juga menjadi ujian bagi arah transisi energi Indonesia apakah benar berpihak pada keberlanjutan, atau hanya sekadar pergantian bahan bakar tanpa perubahan sistemik?

Penulis: Muhammad Ryan Sabiti

Editor: Bimo Aria Fundrika

Tag:  #bahan #bakar #baru #digadang #ramah #lingkungan #seberapa #siap #indonesia

KOMENTAR