Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal: Refleksi Kontroversi Penjabat Kepala Daerah
Gedung Mahkamah Konstitusi.(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
06:56
28 Juni 2025

Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal: Refleksi Kontroversi Penjabat Kepala Daerah

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) terkait waktu pelaksanaan Pilkada Serentak dua tahun dari Pemilu Nasional 2029, bagi penulis yang berkutat di bidang komunikasi massa, sontak mengingatkan pada polah komunikasi penjabat gubernur/wali kota/bupati periode 2022-2024 lalu.

Hal ini penting karena cepat atau lambat, suka tak suka, periode PJ akan segera dilaksanakan terhadap 551 pemerintah daerah (38 provinsi dan 513 kabupaten/kota). Dengan sendirinya, lebih dari 250 juta rakyat Indonesia akan mereka pimpin.

Sebagai bentuk menjaga ingatan kolektif sehingga bisa pasang “kuda-kuda” ke depan, penulis menghimpun sejumlah kontroversi komunikasi publik para PJ.

Misal, Heru Budi Hartono selaku Penjabat Gubernur DKI Jakarta, dengan polemik komunikasi, antara lain mengganti slogan “Jakarta Kota Kolaborasi” tanpa dialog publik memadai.

Tagline warisan Anies Baswedan itu oleh Heru diubah menjadi, “Sukses Jakarta untuk Indonesia” dengan momen bersamaan mulai ground breaking IKN.

Sulit untuk tidak menyambungkan situasi ini dengan posisi Heru sebagai ASN yang bertugas di lingkungan Istana.

Kemudian, Heru juga menghapus anggaran jalur sepeda, serta memotong layanan JakWifi secara sepihak.

Bahkan, kebijakan infak 50 persen dari masjid untuk bantuan bencana diambil tanpa perencanaan komunikasi matang, sehingga memicu resistensi dari komunitas Betawi dan warganet.

Alhasil, gaya komunikasinya dinilai lebih menyerupai administrator pusat ketimbang pemimpin yang terhubung dengan denyut publik Jakarta.

Di Aceh, PJ. Gubernur Achmad Marzuki mengeluarkan Surat Edaran penutupan warung kopi pada pukul 00.00 WIB, demi mendukung pelaksanaan syariat Islam.

Namun, pendekatan sepihak ini dianggap menutup ruang publik dan melemahkan kegiatan ekonomi rakyat kecil di malam hari.

Gaya kepemimpinannya yang berasal dari latar militer juga dinilai terlalu “komando-is”, dengan komunikasi tertutup dan minim pelibatan masyarakat sipil.

Penggantinya, Bustami Hamzah, memang membawa angin baru lewat pengaktifan kembali wacana Qanun Disabilitas, tetapi pendekatannya pun masih elitis.

Di tingkat kabupaten dan kota, komunikasi publik terkait mereka tidak kalah gaduh. Ery Putra, yang menjabat singkat sebagai Penjabat Bupati Indragiri Hilir, dilantik dengan proses yang dipersoalkan DPRD setempat karena dianggap terburu-buru dan minim dialog.

Sementara itu, penunjukan Pj Bupati Pati, Pulau Morotai, dan dua kabupaten di Sulawesi Tenggara menuai protes karena dilakukan tanpa persetujuan atau usulan dari pemerintah provinsi.

 

Gubernur Sulawesi Tenggara bahkan menolak melantik Pj yang ditunjuk Kementerian Dalam Negeri, menegaskan bahwa proses ini sarat politisasi dan miskin legitimasi sosial.

Ketika kepala daerah hadir tanpa basis dukungan lokal, maka komunikasi publik menjadi sulit dibangun secara otentik dan akuntabel.

Kinerja Pemerintahan PJ. Gubernur

Apakah kinerja bidang pemerintahan tak cukup cakap berkomunikasi publik? Laporan hal ini sudah dibuat organisasi nonpemerintah Transparency International berjudul “Dampak Kinerja Pj Gubernur Terhadap Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Menjelang Pemilihan Kepala Daerah Serentak” pada 2023 lalu.

Hasilnya? Rata-rata skor nasional hanya berada di angka 2,92 dari total skor maksimal 9 poin --pada penelitian di 25 provinsi.

Artinya, kinerja para Pj Gubernur hanya mencapai sepertiga dari capaian ideal. Evaluasi ini dilakukan terhadap tiga klaster penting: perencanaan dan penganggaran, pelayanan publik, serta pengawasan.

Masing-masing klaster dianalisis berdasarkan lima dimensi: transparansi, akuntabilitas, partisipasi, inklusivitas, dan manfaat.

Hasilnya menunjukkan, kehadiran Pj Gubernur bukan hanya gagal memperkuat demokrasi lokal, tetapi justru menegaskan lemahnya sistem pemerintahan yang responsif terhadap kelompok rentan.

Dalam klaster perencanaan dan penganggaran, hampir seluruh provinsi menunjukkan lemahnya akses dan partisipasi publik.

Dokumen seperti RPJMD, RKPD, hingga APBD memang tersedia secara daring di banyak daerah, tetapi hanya menyajikan informasi umum.

Publik, terutama kelompok rentan, tidak bisa mengetahui alokasi anggaran yang menyasar kebutuhan mereka secara rinci.

Banyak pemerintah daerah hanya melibatkan masyarakat sebagai pemenuhan formalitas, bukan sebagai mitra deliberatif.

Usulan yang masuk pun lebih sering dicatat daripada diakomodasi. Implikasinya, kebijakan perencanaan tetap bias pada kepentingan dominan dan gagal menjawab disparitas sosial.

Sementara itu, pelayanan publik juga dinilai masih jauh dari inklusif. SOP layanan memang tersedia di situs resmi pemerintah daerah, tetapi tidak mudah diakses dan tidak disosialisasikan dengan baik.

Banyak kantor pelayanan publik yang belum menyediakan fasilitas dasar seperti jalur disabilitas atau ruang laktasi.

Kondisi lebih memprihatinkan tampak dalam klaster pengawasan yang cenderung eksklusif dan tertutup.

Pemerintah daerah umumnya berpegang pada regulasi yang menyatakan bahwa hasil pengawasan tidak dapat dipublikasikan.

Konsekuensinya, masyarakat tidak memiliki informasi atas hasil audit atau tindak lanjut atas laporan mereka.

Kanal pengaduan tersedia tetapi sulit diakses, minim respons, dan tidak memberikan jaminan perubahan.

Proses pengawasan hanya berjalan normatif dan baru digerakkan bila isu sudah viral di media sosial. Fenomena ini menunjukkan lemahnya etika kepemimpinan serta nihilnya budaya akuntabilitas publik.

Singkat kata, memang Putusan MK ini sudah final dan mengikat. Namun, bagaimana persiapan kita ke depan, tentu tak bersifat permanen; seluruh pihak bisa bercermin pada kinerja holitik PJ. kepala daerah 2022-2024 lalu.

Mari melihat sejarah dan lalu menggeliat. Jangan yang terjadi di negeri sebesar Indonesia pada 2031 ke depan, “Lagi-lagi begini.”

Tag:  #pemisahan #pemilu #nasional #lokal #refleksi #kontroversi #penjabat #kepala #daerah

KOMENTAR