Putusan MK Soal Pemisahan Pelaksanaan Pemilu Dinilai 'Lompat Pagar', DPR: Ini Paradoks!
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahaan pelaksanaan Pemilu dinilai paradoks. [Suara.com]
13:44
27 Juni 2025

Putusan MK Soal Pemisahan Pelaksanaan Pemilu Dinilai 'Lompat Pagar', DPR: Ini Paradoks!

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal dinilai sebagai sebuah paradoks.

Penilaian ini disampaikan oleh Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB, Muhammad Khozin.

Ia menyatakan bahwa dalam putusan sebelumnya, MK telah memberikan enam opsi model keserentakan pemilu.

Namun, dalam putusan terbaru, MK justru membatasi hanya pada satu model keserentakan.

"Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada 26 Februari 2020 memberi enam opsi keserentakan pemilu. Tapi putusan MK yang baru justru membatasi—ini paradoks," kata Khozin di Jakarta, Jumat (27/6/2025).

Menurutnya, MK seharusnya konsisten dengan putusan sebelumnya yang memberikan keleluasaan kepada pembentuk undang-undang (UU) dalam merumuskan model keserentakan pemilu.

"Bahwa UU Pemilu belum diubah pasca putusan 55/PUU-XVII/2019 tidak lantas menjadi alasan bagi MK untuk ‘lompat pagar’ atas kewenangan DPR. Urusan pilihan model keserentakan pemilu merupakan domain pembentuk UU," tegasnya.

Khozin menambahkan, dalam pertimbangan hukum angka 3.17 pada Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 secara tegas disebutkan bahwa MK tidak berwenang menentukan model keserentakan pemilu.

“Putusan 55 cukup jelas. Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyadari bahwa urusan model keserentakan bukan domain MK. Tapi sekarang justru MK yang menentukan model keserentakan,” ujarnya.

Ia menyayangkan putusan MK terbaru yang dinilai bertolak belakang dengan putusan sebelumnya.

Menurutnya, putusan ini berpotensi menimbulkan implikasi konstitusional, baik terhadap kewenangan lembaga pembentuk UU (DPR dan Presiden), konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu, maupun teknis pelaksanaannya.

Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB Muhammad Khozin saat rapat membahas soal IKN. (bidik layar video)Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB Muhammad Khozin saat rapat membahas soal IKN. (bidik layar video)

“Implikasi putusan MK ini cukup komplikatif. Sayangnya, MK hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Di sinilah pentingnya hakim yang negarawan, karena dibutuhkan kedalaman pandangan dan proyeksi atas setiap putusan,” tuturnya.

Ia menambahkan bahwa DPR akan menjadikan putusan terbaru MK sebagai bahan penting dalam merumuskan perubahan UU Pemilu yang memang diagendakan untuk segera dibahas.

DPR, menurutnya, akan melakukan rekayasa konstitusional dalam desain kepemiluan nasional.

“Dalam putusan MK sebelumnya, disebutkan bahwa pembentuk UU diminta melakukan rekayasa konstitusional melalui perubahan UU Pemilu ini,” ujarnya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi resmi memutuskan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah harus dilaksanakan secara terpisah.

Pelaksanaannya diberi jeda waktu minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan.

Putusan ini dibacakan langsung oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis, 26 Juni 2025.

Putusan ini merupakan respons atas permohonan yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), melalui Ketua Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Irmalidarti.

MK menyatakan bahwa sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilu dan Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak dimaknai secara berbeda ke depan.

Selama ini, pelaksanaan pemilu nasional dan daerah kerap dilakukan secara serentak dalam satu tahun yang sama.

Namun, berdasarkan pertimbangan MK, praktik ini menyulitkan proses demokrasi dan menghambat efektivitas pemerintahan.

Editor: Chandra Iswinarno

Tag:  #putusan #soal #pemisahan #pelaksanaan #pemilu #dinilai #lompat #pagar #paradoks

KOMENTAR