



Sikapi Putusan MK soal Jeda Pemilu 2 Tahun, Perludem Minta DPR Segera Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada
- Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan agar penyelenggaran Pemilu nasional dipisahkan dari Pemilu daerah, yang akan berlaku pada 2029. Dalam hal ini pemilihan presiden (Pilpres), pemilihan DPR, DPD RI akan dipisahkan dengan pemilihan DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala daerah (Pilkada) tingkat gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota.
Hal ini setelah MK memutuskan sebagian permohonan yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), terkait norma penyelenggaraan Pemilu Serentak.
Merespons itu, peneliti Perludem Annisa Alfath mendorong agar DPR RI segera membahas Revisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada. Mengingat, kedua Undang-Undang itu telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
Oleh sebab itu, adanya Putusan MK ini harus menjadi momentum untuk menyegerakan pembahasan revisi undang-undang Pemilu dan undang-undang Pilkada.
"Mahkamah Konstitusi mengingatkan pentingnya revisi UU Pemilu dan UU Pilkada yang lebih komprehensif. MK menyerahkan hal ini kepada pembentuk UU untuk melakukan constitutional engineering dalam rangka memperbaiki sistem pemilu yang ada, demi memastikan pelaksanaan yang lebih efisien dan sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat," kata Annisa dalam siaran pers, Kamis (26/6).
Dengan putusan ini, lanjut Annisa, pihaknya mengapresiasi serta menghormati putusan MK ini dan mendorong agar pembahasan revisi UU Pemilu dan Pilkada segera dilakukan secara terintegrasi dengan metode kodifikasi.
Serta mematuhi putusan MK untuk mengubah desain keserentakan Pemilu di Indonesia untuk Pemilu 2029 mendatang menjadi pemilu serentak nasional untuk pemilihan presiden/wakil presiden, DPR RI, dan DPD dan pemilu serentak lokal yang terdiri atas pemilihan DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pemilihan gubernur dan bupati/wali kota dengan jeda waktu minimal 2 tahun atau maksimal 2,5 tahun.
Perludem menilai, kedua undang-undang tersebut perlu disusun dalam satu paket pembahasan menggunakan metode kodifikasi, untuk menghindari tumpang tindih regulasi dan menciptakan sistem pemilu dan pilkada yang lebih sistematis serta mudah dipahami.
"Hal ini diharapkan dapat menciptakan keseragaman dan efisiensi dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada, serta menjaga integritas dan kualitas demokrasi
Indonesia ke depannya," tegasnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mulai 2029, keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) dalam hal ini pemilihan presiden (Pilpres), pemilihan DPR, DPD RI akan dipisahkan dengan pemilihan DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala daerah (Pilkada) tingkat gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota.
Hal ini setelah MK memutuskan sebagian permohonan yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), terkait norma penyelenggaraan Pemilu Serentak.
"Mahkamah menyatakan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai ketentuan hukum mengikat secara bersyarat," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6).
Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua MK Saldi Isra menyebut, waktu penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang berdekatan dengan waktu penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, berpotensi membuat pemilih jenuh dengan agenda pemilihan umum.
Bahkan, jika ditelusuri pada masalah yang lebih teknis dan detail, kejenuhan tersebut dipicu oleh pengalaman pemilih yang harus mencoblos dan menentukan pilihan di antara banyak calon dalam pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang menggunakan model lima kotak.
“Fokus pemilih terpecah pada pilihan calon yang terlampau banyak dan pada saat yang bersamaan waktu yang tersedia untuk mencoblos menjadi sangat terbatas. Kondisi ini, disadari atau tidak, bermuara pada menurunnya kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum,” ujar Saldi.
Saldi menekankan, perihal waktu antara penyelenggaraan Pemilu nasional dengan waktu penyelenggaraan Pemilu daerah atau lokal, tidak mungkin ditentukan oleh Mahkamah secara spesifik.
Namun demikian, Mahkamah berpendapat jarak waktu tersebut tidak dapat dilepaskan dari penentuan waktu yang selalu berkelindan dengan hal-hal teknis semua tahapan penyelenggaraan Pemilu.
Karena itu, MK memerintahkan pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD dan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota.
"Sehingga Pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai Pemilu lima kotak tidak lagi berlaku," pungkasnya.
Tag: #sikapi #putusan #soal #jeda #pemilu #tahun #perludem #minta #segera #revisi #pemilu #pilkada