MK Nilai Pileg DPRD Gabung Pemilihan Presiden-DPR Lemahkan Parpol
Hakim konstitusi Arief Hidayat sempat mengomentari ketidaksiapan salah satu pemohon membacakan pokok permohonannya dalam sidang sengketa Pileg 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Jumat (3/5/2024). (Dok. YouTube Mahkamah Konstitusi RI)
18:16
26 Juni 2025

MK Nilai Pileg DPRD Gabung Pemilihan Presiden-DPR Lemahkan Parpol

- Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat mengatakan, pemilihan umum (Pemilu) untuk mencoblos presiden/wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD provinsi hingga kabupaten/kota pada tahun yang sama justru melemahkan partai politik.

Pernyataan Arief itu merupakan salah satu pertimbangan MK yang akhirnya memutuskan pemilu nasional dan daerah digelar terpisah mulai 2029.

Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden-wakil presiden. Sedangkan pemilihan legislatif (Pileg) anggota DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).

"Tahapan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang berada dalam rentang waktu kurang dari 1 (satu) tahun dengan pemilihan kepala daerah, juga berimplikasi pada partai politik. Terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum," ujar Arief membacakan pertimbangan MK, Kamis (26/6/2025).

Akibat keserentakan pemilu nasional dan daerah, partai politik terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologinya.

Selain itu, partai politik juga tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan perekrutan calon anggota legislatif di level DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Adanya hal itu, MK menilai agenda yang berdekatan tersebut juga menyebabkan pelemahan pelembagaan partai politik yang akhirnya tidak berdaya berhadapan dengan kepentingan politik praktis.

"Akibatnya, perekrutan untuk pencalonan jabatan-jabatan politik dalam pemilihan umum membuka lebar peluang yang didasarkan pada sifat transaksional, sehingga pemilihan umum jauh dari proses yang ideal dan demokratis. Sejumlah bentangan empirik tersebut di atas menunjukkan partai politik terpaksa merekrut calon berbasis popularitas hanya demi kepentingan elektoral," terang Arief.

Diketahui, MK memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024. Gugatan diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

"Menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, ‘Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden’," ujar Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, Kamis (26/6/2025).

Dengan adanya putusan ini, MK mengusulkan pilkada dan pileg DPRD dapat digelar paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR/DPD dan presiden/wakil presiden.

Tag:  #nilai #pileg #dprd #gabung #pemilihan #presiden #lemahkan #parpol

KOMENTAR