''Meaningful Participation'': Menjawab Ketegangan antara DPR dan MK
Suasana Rapat Paripurna ke-15 DPR Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/3/2025). Rapat Paripurna tersebut menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI untuk disahkan menjadi undang-undang. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)
10:40
19 Juni 2025

''Meaningful Participation'': Menjawab Ketegangan antara DPR dan MK

DALAM Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada 17 Juni 2025, Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, mengungkapkan kekecewaannya terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) yang kerap membatalkan undang-undang.

DPR capek bikin UU, tapi malah dipatahkan MK”, ujarnya.

Pernyataan ini menggarisbawahi ketegangan laten antara dua pilar demokrasi konstitusional: legislatif dan yudikatif.

Namun, kritik tersebut memunculkan pertanyaan penting: apakah proses legislasi di Indonesia telah memenuhi prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation)?

Atau justru, sebagaimana yang dikhawatirkan banyak pengamat, partisipasi hanya dijalankan sebagai formalitas administratif tanpa substansi demokratis yang sejati?

Pentingnya partisipasi bermakna

Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya menjadikan prinsip partisipasi bermakna, hak untuk didengar, dan hak untuk dipertimbangkan sebagai tolok ukur keabsahan proses legislasi.

Prinsip-prinsip ini menekankan bahwa publik tidak boleh sekadar diberi ruang, tetapi juga didengarkan secara nyata dalam proses pembentukan hukum.

Perspektif ini sejalan dengan pandangan Komite Hak Asasi Manusia PBB/UN Human Rights Committee (HRC) (1996) dalam General Comment No. 25, yang menekankan bahwa partisipasi politik harus berlangsung melalui proses yang bermakna, inklusif, serta didasarkan pada informasi yang memadai.

Artinya, keterbukaan dalam proses legislasi tidak cukup jika tidak disertai dengan keterlibatan aktif masyarakat; tanpa itu, prinsip demokrasi partisipatif belum benar-benar terpenuhi.

Sayangnya, dalam praktik legislasi di Indonesia, partisipasi publik sering kali terbatas pada uji publik atau konsultasi yang diselenggarakan dalam waktu singkat, tanpa umpan balik yang jelas atas masukan yang diberikan.

Teori demokrasi deliberatif memberikan kerangka teoretis yang relevan untuk memahami urgensi partisipasi dalam pembentukan undang-undang.

Jurgen Habermas, filsuf asal Jerman, menekankan bahwa kekuatan hukum yang sah hanya lahir dari proses diskursif, yaitu perdebatan terbuka di antara warga negara yang setara (Habermas, 1996).

Menurut Habermas, demokrasi bukan semata hasil pemungutan suara mayoritas, melainkan hasil proses komunikasi publik yang rasional dan inklusif.

 

Dalam konteks ini, partisipasi bermakna tidak hanya menjadi tuntutan normatif, tetapi juga sumber legitimasi hukum itu sendiri.

Senada dengan itu, Gutmann & Thompson (2004) menyatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik melalui alasan yang masuk akal bagi semua pihak yang terdampak.

Ketegangan antara DPR dan MK tidak lepas dari dinamika checks and balances yang melekat dalam sistem ketatanegaraan demokratis.

Namun demikian, pernyataan Habiburokhman juga mencerminkan paradoks yang selama ini terjadi: DPR mengakui pentingnya partisipasi publik, tetapi sering kali gagal mengoperasionalkannya secara substansial.

Kritik ini semakin relevan ketika melihat tren legislasi yang terkesan terburu-buru dan kurang transparan, terutama dalam pembentukan undang-undang strategis.

Dalam banyak kasus, partisipasi dilakukan tanpa mekanisme umpan balik yang jelas dan tanpa kejelasan apakah masukan publik benar-benar berpengaruh terhadap isi rancangan undang-undang.

Stone Sweet (2000) dalam kajiannya mengenai pengadilan konstitusi di Eropa, menekankan bahwa peran yudisial dalam sistem demokrasi modern seharusnya dipahami secara dialogis, bukan konfrontatif.

MK tidak bertindak sebagai “penjegal” DPR, tetapi sebagai mitra konstitusional dalam memastikan bahwa hukum yang dilahirkan memenuhi prinsip keadilan prosedural dan substantif.

Arah perbaikan: Partisipasi yang terukur dan inklusif

Agar legislasi lebih responsif, DPR perlu membangun sistem partisipasi yang terukur dan berbasis data.

Salah satu langkah awal adalah mengembangkan prosedur standar dalam setiap tahapan legislasi, mulai dari perencanaan, perumusan, hingga pengesahan, yang mencakup batas waktu konsultasi publik, metode pengumpulan masukan, dan mekanisme umpan balik.

Fung & Wright (2003) menekankan pentingnya empowered participatory governance, yaitu partisipasi publik yang tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga berpengaruh langsung terhadap kebijakan.

Inovasi digital juga dapat menjadi solusi. Penggunaan platform daring, media sosial, hingga aplikasi khusus dapat menjangkau partisipan lebih luas.

 

Laporan OECD (2001) bahkan merekomendasikan penggunaan teknologi digital untuk meningkatkan transparansi dan efektivitas dalam proses perumusan kebijakan publik.

Selain itu, evaluasi pasca-legislasi sangat penting dilakukan. DPR perlu mengukur efektivitas partisipasi berdasarkan data konkret, seperti jumlah masukan yang diterima, isu yang diangkat publik, dan seberapa banyak yang tercermin dalam draf final.

Evaluasi ini tidak hanya memperkuat akuntabilitas, tetapi juga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif.

Dialog kelembagaan antara DPR dan MK dapat menjadi solusi jangka panjang. Pertemuan rutin berbasis kasus konkret dapat memperjelas ekspektasi dan peran masing-masing lembaga, serta membuka ruang untuk perbaikan prosedural tanpa harus saling menyalahkan.

Dengan reformasi menyeluruh dalam hal partisipasi, DPR dapat meningkatkan kualitas legislasi sekaligus memperkuat legitimasinya di mata publik.

Dalam sistem demokrasi modern, partisipasi publik bukan sekadar pelengkap, tetapi fondasi utama dari proses legislasi yang adil dan berkelanjutan.

Tag:  #meaningful #participation #menjawab #ketegangan #antara

KOMENTAR