



Berkaca dari Polemik 4 Pulau Aceh: Presiden (Lagi) Pahlawannya?
DALAM sejumlah peristiwa nasional belakangan ini, pola yang sama terus berulang. Sebuah isu kontroversial mencuat, situasi memanas, publik bereaksi keras, lalu seorang tokoh tampil sebagai penyelamat.
Salah satu momen paling gaduh terjadi saat muncul dugaan akuisisi empat pulau strategis di Aceh ke wilayah Sumatra Utara yang dipimpin oleh menantu Presiden ketujuh, Joko Widodo.
Kecaman datang dari berbagai penjuru, mulai dari aktivis lingkungan, tokoh adat, akademisi, hingga masyarakat sipil yang menolak keras.
Di tengah kegaduhan tersebut, Presiden Prabowo Subianto mengambil sikap tegas. Ia menyatakan bahwa pulau-pulau itu tetap milik Aceh. Pernyataan itu menyegel kegelisahan nasional dan membentuk kesan bahwa negara hadir membela rakyat.
Sebelumnya, publik kembali dibuat terkejut oleh wacana penjualan gas elpiji 3 kilogram yang hanya boleh dibeli melalui agen resmi.
Masyarakat kecil yang selama ini mengandalkan akses dari warung-warung lokal merasa resah. Sekali lagi, Prabowo tampil di depan dan menyatakan kebijakan tersebut dibatalkan.
Setidaknya ada beberapa kegaduhan serupa yang kemudian dibatalkan Prabowo, seperti percepatan pengangkatan calon aparatur sipil negara pada Maret 2025 hingga pencabutan izin tambang nikel di Raja Ampat.
Dalam momen-momen itu, ia muncul sebagai sosok yang tanggap, mendengar keresahan, dan mengambil keputusan yang dianggap berpihak kepada rakyat kecil.
Pola ini sebenarnya bukan hal baru. Pada 2019, revisi Undang-Undang KPK disahkan secara cepat oleh DPR.
Substansi revisi tersebut dianggap melemahkan independensi lembaga antikorupsi. Mahasiswa dan aktivis turun ke jalan dalam demonstrasi besar yang meluas di berbagai kota.
Presiden Joko Widodo, yang saat itu menjabat, akhirnya menyampaikan penolakannya terhadap sejumlah poin krusial dalam revisi dan mencoba meredam situasi. Ia tampil sebagai hero di tengah tekanan publik dan menjaga agar kredibilitas institusi tetap terjaga.
Bila kejadian semacam ini berdiri sendiri, kita mungkin menyambutnya sebagai contoh kepemimpinan yang responsif.
Namun, ketika pola itu terus berulang, dengan irama yang sama—isu dilempar ke ruang publik, kegaduhan dipicu, lalu muncul figur penyelamat—maka pertanyaan kritis tak bisa dihindari.
Apakah ini bentuk kepemimpinan yang tulus atau narasi politik yang memang sudah dirancang?
Di era media sosial, kepemimpinan tidak hanya dibentuk tindakan nyata, tetapi juga oleh narasi yang dikonstruksi secara strategis.
Peran digital public relations menjadi sangat menentukan dalam membentuk persepsi publik. Ketika isu meledak, tim komunikasi politik biasanya sudah siap dengan respons balik seperti video klarifikasi, pernyataan tegas, hingga gestur simbolik seperti kunjungan lapangan atau sidak mendadak.
Munculnya sosok pahlawan bukan lagi kejutan, melainkan bagian dari pengelolaan persepsi yang masif.
Bahkan kebijakan yang gagal pun dapat dikemas menjadi kisah keberhasilan seorang pemimpin yang konon mendengar suara rakyat.
Transparansi/dramatisasi?
Pertanyaannya kini bergeser. Apakah digital public relations bertugas menciptakan transparansi atau justru menyutradarai dramatisasi?
Ketika algoritma bekerja lebih cepat dari logika, dan emosi publik lebih mudah dipantik daripada ditenangkan, maka narasi bisa menjadi senjata yang menggantikan substansi.
Publik dibuat kagum pada sosok penyelamat yang hadir di akhir drama, tetapi sering kali lupa bertanya siapa yang menyalakan apinya.
Untuk memahami fenomena ini secara lebih dalam, kita perlu menggunakan pendekatan etika kepemimpinan dan etika komunikasi publik.
Seorang pemimpin yang etis bertindak dengan integritas, berpijak pada komitmen jangka panjang terhadap kesejahteraan masyarakat, dan bertanggung jawab secara moral.
Ia tidak menunggu krisis terjadi, tetapi bekerja diam-diam untuk mencegahnya.
Pemimpin sejati tidak membiarkan kebijakan bermasalah lolos ke publik hanya untuk kemudian membatalkannya demi tepuk tangan.
Studi terbaru menegaskan, keteladanan moral dan konsistensi nilai adalah fondasi penting untuk memulihkan kepercayaan terhadap institusi politik (Mozumder, 2021).
Dari perspektif etika komunikasi, fungsi public relations bukan untuk memoles citra atau menggiring persepsi, melainkan menyampaikan informasi secara jujur dan akurat.
Komunikasi politik yang terlalu fokus membingkai pemimpin sebagai pahlawan, tanpa mengungkap asal muasal krisis yang terjadi, hanya akan menciptakan relasi publik semu.
Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa etika komunikasi sangat berpengaruh terhadap integritas institusi.
Pemimpin yang menjunjung nilai kejujuran dalam komunikasi turut menciptakan budaya organisasi lebih kuat dan bertanggung jawab (Lasthuizen, Heres, dan Webb, 2019).
Dalam masyarakat demokratis, kepercayaan hanya bisa tumbuh di atas dasar kejujuran dan nilai. Ketika kepercayaan dibangun di atas skenario dan sandiwara, maka kepercayaan rapuh dan mudah runtuh.
Jika sosok pahlawan politik terus bermunculan dalam pola yang sama tanpa transparansi proses, maka publik patut curiga. Kita tidak cukup hanya bertepuk tangan untuk tokoh yang muncul di akhir babak.
Kita juga harus bertanya siapa yang menulis naskahnya? Untuk siapa panggung ini dibuat? Dan yang paling penting, apa manfaatnya bagi rakyat yang makin hari makin berat memikul beban hidup?
Sudah waktunya kita berkata cukup. Hentikan produksi pahlawan-pahlawan dadakan. Demokrasi membutuhkan pemimpin sejati, bukan pemeran utama dalam skenario yang ditulis di ruang kendali pencitraan.
Tag: #berkaca #dari #polemik #pulau #aceh #presiden #lagi #pahlawannya