Keputusan Prabowo Soal 4 Pulau Aceh Baru Permulaan, Tapi Pembuka Kotak Pandora Sengketa Wilayah
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (tengah) bersama Mensesneg Prasetyo Hadi (kedua kiri), Mendagri Tito Karnavian (kedua kanan), Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution (kanan) dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf (kiri) berjabat tangan usai memberikan keterangan pers di Kantor Presiden, Selasa (17/6/2025). [ANTARA FOTO/Galih Pradipta/bar]
21:32
18 Juni 2025

Keputusan Prabowo Soal 4 Pulau Aceh Baru Permulaan, Tapi Pembuka Kotak Pandora Sengketa Wilayah

Intervensi cepat Presiden Prabowo Subianto yang mengakhiri sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara mungkin terlihat seperti sebuah penyelesaian. Namun, pengakuan yang datang dari Istana setelahnya justru mengungkap sebuah kenyataan yang jauh lebih mengkhawatirkan: keputusan itu bukanlah akhir, melainkan pembuka dari "Kotak Pandora" sengketa wilayah yang tersebar di seluruh nusantara.

Juru Bicara Presiden, Prasetyo Hadi, secara tidak langsung telah menyalakan alarm tanda bahaya. Dalam pernyataannya, ia mengonfirmasi bahwa masalah carut-marutnya arsip dan batas wilayah bukanlah isu tunggal yang hanya terjadi di perbatasan Aceh-Sumut. Ini adalah sebuah penyakit kronis yang menjangkiti banyak daerah.

"Berdasarkan laporan dari Bapak Mendagri (Tito Karnavian), ternyata juga tidak hanya di empat pulau... tetapi ada juga di beberapa provinsi yang juga mirip-mirip ini," kata Prasetyo di Istana Kepresidenan sebagaimana dilansir Antara, Selasa (18/6/2025).

Pernyataan ini, meski disampaikan dengan tenang, adalah pengakuan resmi pertama dari lingkaran utama kekuasaan bahwa Indonesia sedang duduk di atas tumpukan "bom waktu" sengketa perbatasan internal yang bisa meledak kapan saja.

Prabowo Menjinakkan Satu Naga, Puluhan Lain Mengintai

Langkah Presiden Prabowo yang mengambil alih langsung sengketa empat pulau (Panjang, Lipan, Mangkir Kecil, dan Mangkir Besar) menunjukkan gaya kepemimpinan yang tegas dan berani mengambil keputusan. Dengan memimpin rapat terbatas bahkan di sela-sela perjalanan ke luar negeri, ia mengirim pesan bahwa stabilitas daerah adalah prioritas utama. Keputusannya yang berpihak pada Aceh—berdasarkan pertimbangan data dan arsip—berhasil meredam potensi konflik yang panas.

Mendagri Tito Karnavian (ketiga kiri) bersama Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (ketiga kanan), Mensesneg Prasetyo Hadi (kedua kanan), Wamensesneg Bambang Eko Suhariyanto (kanan), Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution (kedua kiri) dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf (kiri) memberikan keterangan pers usai mengikuti rapat terbatas dengan Presiden Prabowo Subianto secara daring di Kantor Presiden, Selasa (17/6/2025). [ANTARA FOTO/Galih Pradipta/bar]Mendagri Tito Karnavian (ketiga kiri) bersama Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (ketiga kanan), Mensesneg Prasetyo Hadi (kedua kanan), Wamensesneg Bambang Eko Suhariyanto (kanan), Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution (kedua kiri) dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf (kiri) memberikan keterangan pers usai mengikuti rapat terbatas dengan Presiden Prabowo Subianto secara daring di Kantor Presiden, Selasa (17/6/2025). [ANTARA FOTO/Galih Pradipta/bar]

Namun, di sinilah analisisnya menjadi krusial. Keputusan ini menciptakan sebuah preseden baru yang sangat kuat. Kini, setiap daerah yang merasa dirugikan oleh penetapan batas wilayah dari Kemendagri akan melihat ada "jalur cepat" penyelesaian: eskalasi isu hingga menarik perhatian langsung Presiden.

Pemerintahan Prabowo mungkin berhasil menjinakkan satu "naga" di Aceh, tetapi di luar sana, puluhan naga lain yang selama ini tertidur kini mungkin mulai terbangun, menuntut perlakuan dan keadilan yang sama.

Dosa Warisan Birokrasi: Arsip yang Berantakan

Akar masalah dari semua ini, seperti yang diakui Istana, adalah kekacauan arsip kewilayahan. Ini adalah "dosa warisan" birokrasi yang telah menumpuk selama puluhan tahun. Peta-peta dari zaman kolonial, peraturan daerah yang tumpang tindih, SK menteri dari era berbeda, dan data badan-badan sektoral seperti Badan Informasi Geospasial (BIG) dan TNI yang belum terintegrasi sempurna, semuanya menciptakan sebuah labirin administratif.

Dalam labirin inilah, sengketa lahir. Sebuah desa atau pulau bisa tercatat di dua kabupaten atau provinsi yang berbeda, tergantung arsip mana yang dijadikan acuan. Selama ini, banyak dari sengketa tersebut dibiarkan dalam status quo yang dingin. Namun, intervensi Prabowo telah menghangatkan kembali isu ini.

"Momentum untuk Berbenah" atau Misi yang Mustahil?

Prasetyo Hadi menyebut situasi ini sebagai "momentum yang baik untuk kita berbenah." Rencananya adalah merapikan seluruh arsip dan mendorong kesepakatan antar-daerah.
Secara teori, ini adalah langkah yang benar dan ideal. Namun dalam praktiknya, ini adalah sebuah misi raksasa yang penuh dengan ranjau politik. Merapikan arsip berarti akan ada pihak yang dikonfirmasi sebagai pemilik sah, dan pihak lain yang harus merelakan klaimnya.

Ini bukan sekadar pekerjaan teknis di atas peta, melainkan negosiasi politik yang sangat pelik dan emosional, menyangkut harga diri, potensi ekonomi, dan suara elektoral.

Editor: Bangun Santoso

Tag:  #keputusan #prabowo #soal #pulau #aceh #baru #permulaan #tapi #pembuka #kotak #pandora #sengketa #wilayah

KOMENTAR