



Akhir Cerita Sengketa 4 Pulau: Dimulai Mendagri, Diakhiri Prabowo
- Empat pulau yang sempat disengketakan oleh Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara (Sumut) akhirnya selesai.
Sengketa itu berakhir setelah Presiden Prabowo Subianto turun tangan untuk mengumumkan keputusan akhir, pada Selasa (17/6/2025).
Keputusan itu diambil di sela-sela perjalanannya ke Rusia untuk menemui Presiden Rusia Vladimir Putin.
Kepala Negara bahkan menyempatkan diri untuk memimpin rapat langsung secara daring melalui video konferensi.
Sementara peserta rapat hadir langsung di Istana Kepresidenan Jakarta.
Mereka adalah Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Gubernur Aceh Mazakir Manaf, dan Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Bobby Nasution.
Prabowo memutuskan bahwa empat pulau yang disengketakan, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan, masuk ke dalam wilayah administratif Aceh.
"Berdasarkan laporan dari Kemendagri, berdasarkan dokumen-dokumen, data-data pendukung kemudian tadi Bapak Presiden memutuskan bahwa pemerintah berlandaskan pada dasar-dasar dokumen yang telah dimiliki pemerintah telah mengambil keputusan bahwa keempat pulau yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang dan Pulau Mangkir Ketek, secara administratif berdasarkan dokumen yang dimiliki pemerintah adalah masuk ke wilayah administratif wilayah Aceh," kata Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi, di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (17/6/2025).
Diawali Kemendagri
Polemik ini bermula ketika Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengeluarkan keputusan yang salah satunya berisi keempat pulau masuk wilayah Sumatera Utara (Sumut).
Keputusan dimaksud, yakni Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau.
Keputusan ini lantas dikritisi dan dipertanyakan banyak pihak. Gubernur Aceh Muzakir Manaf pun merasa keberatan atas keputusan yang baru terbit itu.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh mengeklaim mengantongi jejak historis di keempat pulau.
Mengatasi persoalan, Muzakir alias Mualem menggelar pertemuan khusus dengan Forum Bersama (Forbes) DPR/DPD RI, DPR Aceh, dan rektor di wilayahnya.
Pertemuan dengan lintas elemen pejabat Aceh itu berlangsung di ruang restoran Pendopo Gubernur Aceh, Jumat (13/6/2025) malam.
Hasil silaturahmi dengan Forbes DPR/DPD RI ini menyepakati untuk memperjuangkan keempat pulau kembali menjadi milik Aceh.
"Itu hak kami, kewajiban kami, wajib kami pertahankan. Pulau itu adalah milik kami, milik Pemerintah Aceh. Mereka-mereka tetap (harus) mengembalikan pulau ini kepada Aceh," kata Mualem, kepada awak media usai rapat.
Sumut tak mau kalah
Meski Aceh mempertahankan, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution tidak mau kalah. Ia berdalil bahwa keputusan itu sudah berdasarkan hasil survei yang dilakukan Kemendagri.
Pengaturan wilayah pun merupakan kewenangan pemerintah pusat sehingga ia hanya menjalankan putusan pemerintah pusat.
"Kami hanya jalankan keputusan," kata Bobby.
Bobby juga sempat mengajak Pemprov Aceh untuk mengelola bersama keempat pulau, menyusul potensi pariwisata di empat pulau itu.
"Kalau jadi milik Provinsi Sumatera Utara, pengelolaannya itu nanti di Provinsi Sumatera Utara, jadi opsi kami mau mengajak kerja sama siapa-siapa. Kalau mau nolak ya silakan," ujar Bobby.
Namun, pengelolaan bersama ditolak mentah-mentah oleh Mualem. Sebab, Pemprov Aceh sudah banyak mengantongi dokumen secara historis bahwa keempat pulau adalah miliknya.
"Tidak kita bahas itu, macam mana kita duduk bersama itu kan hak kita. Kepunyaan kita, milik kita," tegas Mualem, usai pertemuan dengan DPR/DPD RI asal Aceh.
"Wajib kita pertahankan. Mereka-mereka tetap (harus) mengembalikan pulau ini kepada Aceh," tambah Mualem.
Disorot Jusuf Kalla
Polemik ini turut disorot Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla.
Senada dengan Mualem, ia mementahkan ajakan Bobby untuk mengelola bersama empat pulau tersebut.
Menurut dia, tidak pernah ada pulau di suatu provinsi yang dikelola oleh dua pemerintah daerah berbeda secara bersama-sama.
“Setahu saya tidak ada pulau atau daerah yang dikelola bersama. Tidak ada, masa dua bupatinya. Masa dua, bayar pajaknya dan ke mana?” tanya Jusuf Kalla, saat ditemui di kediamannya, Jumat pekan lalu.
Di sisi lain dilihat dari aspek historis, ia meyakini keempat pulau adalah milik Aceh. Hal tersebut merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1956 yang menjadi dasar penetapan batas wilayah Aceh dalam Perjanjian Helsinki tahun 2005 silam.
UU ini, kata JK, jauh lebih tinggi dari Kepmendagri soal empat pulau. Keputusan menteri tidak bisa membatalkan UU.
JK pun meyakini bahwa Pemerintah Provinsi Aceh berupaya mempertahankan kepemilikan pulau tersebut, bukan karena ada potensi minyak yang dapat dikelola.
Oleh karena itu, dia berharap agar pemerintah bisa menyelesaikan persoalan tersebut secara sebaik-baiknya, dengan mengedepankan kepentingan masyarakat.
“Ya, itu pulaunya tidak terlalu besar. Jadi, bagi Aceh itu harga diri. Kenapa diambil? Dan itu juga masalah kepercayaan ke pusat. Jadi, saya kira dan yakin ini agar sebaik-baiknya demi kemaslahatan bersama,” kata JK.
Dokumen "penyelamat"
Dalam sengketa, ada sejumlah dokumen yang digunakan Aceh untuk menguatkan posisi dan pernyataannya.
Selain UU Nomor Tahun 1956, dokumen yang digunakan adalah Surat Gubernur Sumatera Utara pada tahun 1953 yang menyatakan bahwa empat pulau merupakan bagian dari wilayah Aceh.
Begitu pula UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan hasil kerja lapangan dari Tim Pemetaan Pulau Aceh Tahun 2016 dan Tahun 2018.
Ada juga Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh pada 1992 yang disaksikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) saat itu, Jenderal Rudini.
Dilengkapi dengan dokumen historis menunjukkan bahwa keempat pulau selama ini berada dalam struktur pemerintahan dan pelayanan administratif Aceh.
Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh, Syakir menyatakan, Undang-Undang 1956 dan Perjanjian MoU Helsinki tidak dapat dipisahkan dari kesepakatan yang dibuat pada tahun 1992 antara Gubernur Aceh dan Sumatera Utara.
"Yang jelas kalau kita pelajari secara hukum bahwa kesepakatan ini menjadi UU bagi para pihak. Dan ini mengikat bagi kedua para pihak itu sendiri," ujar dia, di depan Kantor Gubernur Aceh, Senin (16/6/2025).
Terlebih, Permendagri 141 Tahun 2017 tentang penegasan batas daerah, pada Pasal 3 Ayat 2 huruf f, menyebutkan, bahwa dokumen penegasan batas daerah mencakup kesepakatan yang pernah dibuat oleh pemerintah daerah yang berbatasan.
Dalam lampiran Permendagri tersebut, dijelaskan tahapan penegasan batas daerah di laut, yang meliputi pengumpulan semua dokumen terkait, seperti peta dasar dan dokumen lain yang disepakati oleh para pihak.
"Dokumen penyelesaian batas daerah salah satunya adalah kesepakatan kedua daerah yang berbatasan. Ini aturan yang ngomong, bukan kata orang," tegas dia.
Prabowo gunakan dokumen penting
Setelah berlarut dan tidak kunjung selesai, Kepala Negara memutuskan keempat pulau masuk wilayah Aceh berdasarkan bukti-bukti dan dokumen pendukung.
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyatakan, ada sejumlah dokumen milik pemerintah yang digunakan.
Pertama, Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh pada 1992 yang disaksikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) saat itu, Jenderal Rudini.
Kemudian, Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 111 tahun 1992 tentang Penegasan Batas Wilayah Antara Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara dengan Propinsi Daerah Istimewa Aceh pada 24 November 1992.
"Ada yang dari Pemerintah Provinsi Aceh juga, kemudian ada yang dimiliki Setneg dokumen di Setneg, kemudian ada juga dokumen yang dimiliki kementerian dalam negeri," ujar Prasetyo.
Prasetyo berharap, keputusan ini menjadi yang terbaik bagi kedua pihak dan seluruh masyarakat Indonesia.
Usai keputusan, Gubernur Aceh dan Sumatera Utara yang sebelumnya terlibat dalam polemik menunjukkan kedekatan.
Keakraban itu terlihat setelah keduanya berjabat erat usai konferensi pers terkait keputusan Presiden.
Mereka tampak mengepalkan tangan setinggi pundak, sembari tersenyum.
"Wah, ini (saling bersalaman) wajib ini, wajib," kata Prasetyo berseloroh.
Mualem dan Bobby memilih duduk bersebelahan di buggy car setelah keluar dari Kantor Presiden.
Buggy car itu berjalan perlahan, mengantar para pejabat ke luar Kompleks Istana Kepresidenan sebagai tanda masalah selesai dan keputusan akhir bersifat final.
Tag: #akhir #cerita #sengketa #pulau #dimulai #mendagri #diakhiri #prabowo