Deretan Usul Peradi untuk KUHAP yang Baru: Batasi PK hingga Hapus Penyadapan
Suasana rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi III bersama LPSK dan Peradi membahas revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), Selasa (17/6/2025).(KOMPAS.com/NICHOLAS RYAN ADITYA)
07:08
18 Juni 2025

Deretan Usul Peradi untuk KUHAP yang Baru: Batasi PK hingga Hapus Penyadapan

- Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) mengusulkan penghapusan sejumlah aturan di dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kewenangan tersebut diusulkan dihapus karena, menurut mereka, berpotensi disalahgunakan aparat.

Usulan itu disampaikan saat rapat lanjutan yang membahas revisi KUHAP bersama Komisi III DPR RI dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (17/6/2025).

Berikut beberapa usulan yang disampaikan Peradi:

1. Hapus Ketentuan Penyadapan

Wakil Ketua Umum Peradi Sapriyanto Refa mengatakan, ketentuan penyadapan telah diatur di dalam UU sektoral seperti UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Penyadapan, terang dia, merupakan bagian dari upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum, yang berpotensi disalahgunakan. Oleh karena itu, ia berpandangan, ketentuan serupa tak perlu lagi diatur di dalam KUHAP yang sifatnya lebih umum.

"Bentuk-bentuk upaya paksa ini ada beberapa upaya paksa. Ini mengusulkan dalam upaya paksa yang dimiliki ini untuk tindak pidana umum yang ada di dalam KUHAP ini penyadapan ini harus dihilangkan karena kami khawatir penyadapan ini akan disalahgunakan oleh penyidik dalam mengungkap sebuah tindak pidana," kata Sapriyanto dalam rapat, Selasa.

2. Peninjauan Kembali maksimal dua kali

Ketentuan Peninjauan Kembali (PK), menurut Peradi, sebaiknya hanya dapat dilakukan paling banyak dua kali dan hanya boleh diajukan oleh terpidana.

Saat ini, PK yang masuk ke dalam upaya hukum luar biasa, bisa diajukan lebih dari satu kali untuk perkara pidana. Di luar perkara a quo, seperti perdata, tata usaha negara, dan agama, PK hanya bisa diajukan satu kali.

Hal ini berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan Pasa 268 ayat (3) KUHAP. Belakangan, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 yang mengesampingkan putusan MK, karena dianggap bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU MA.

“Kami berharap peninjauan kembali tidak dibatasi waktu dan hanya diajukan paling banyak dua kali, ini berkaitan dengan rasa keadilan. Bisa saja ketika dia mengajukan novum yang pertama yang menganggap ini belum menguntungkan, lalu kemudian dia menemukan novum baru lagi itu bisa saja menghasilkan sesuatu rasa keadilan bagi mereka," ucap Sapriyanto.

Sapriyanto menyoroti lamanya proses hukum akibat banyaknya alasan yang diperbolehkan untuk mengajukan PK. Menurutnya, kondisi itu bisa memperpanjang penanganan perkara dan menghambat kepastian hukum.

Oleh karena itu, Peradi mengusulkan agar PK dibatasi hanya dua, dengan alasan  ditemukan novum (bukti baru) dan adanya putusan yang saling bertentangan.

Di sisi lain, mereka menegaskan bahwa hak untuk mengajukan PK seharusnya hanya diberikan kepada terpidana, bukan kepada penuntut umum.

"Dan peninjauan kembali hanya milik terpidana, bukan penuntut umum," tegas Sapriyanto.

3. Bukti Petunjuk dan Keterangan Ahli Dihapus

Peradi juga mengusulkan agar bukti petunjuk dan keterangan ahli tidak lagi dimasukkan sebagai alat bukti dalam pembuktian perkara pidana dalam RKUHAP.

"Terkait alat bukti, kami hanya mengajukan empat alat bukti, yakni keterangan saksi, bukti surat, bukti elektronik, dan keterangan terdakwa,” kata Sapriyanto.

Bukti petunjuk sebagaimana Pasal 184 KUHAP adalah alat bukti sah.

Definisi “petunjuk” sebagaimana Pasal 188 ayat (1) KUHAP adalah suatu perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Menurutnya, bukti petunjuk sebaiknya dihapus karena dianggap berbahaya dan rawan disalahgunakan.

Dia menjelaskan, bukti petunjuk kerap dijadikan sebagai pelengkap keyakinan hakim ketika alat bukti lain tidak mampu secara eksplisit menunjukkan siapa pelaku tindak pidana.

Selain bukti petunjuk, Peradi juga mengusulkan agar keterangan ahli tidak lagi dimasukkan dalam kategori alat bukti.

Menurut Sapriyanto, selama ini posisi ahli dalam proses peradilan pidana dinilai tidak netral dan justru kerap menguntungkan salah satu pihak.

Tag:  #deretan #usul #peradi #untuk #kuhap #yang #baru #batasi #hingga #hapus #penyadapan

KOMENTAR