Wali Nanggroe dan Harapan Sahnya Bendera Aceh Usai Temui JK
Ilustrasi: Warga pendukung Qanun Bendera dan Lambang Aceh membentangkan bendera di halaman gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Banda Aceh, Aceh, Senin (1/4/2013). Mereka mendesak Pemerintah Pusat untuk tidak merevisi Qanun Bendera dan Lambang Aceh.(KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ)
07:02
18 Juni 2025

Wali Nanggroe dan Harapan Sahnya Bendera Aceh Usai Temui JK

- Wali Nanggroe Malik Mahmud Al Haythar menyinggung harapan masyarakat Aceh yang masih menyimpan harapan soal disahkannya bendera Aceh.

Hal tersebut disampaikannya di kediaman Wakil Presiden ke-10 dan 12 Jusuf Kalla (JK) usai pemerintah menetapkan Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek masuk wilayah Aceh.

"Ya bagi orang-orang Aceh itu diharapkan bahwa bendera itu disahkan. Kami menunggu saja," kata Malik usai bertemu dengan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla, Selasa (17/6/2025) malam.

Ia mengatakan, hingga kini legalitas terkait bendera Aceh belum terselesaikan.

Padahal, bendera Aceh menjadi salah satu poin dari Perjanjian Helsinki yang kemudian diatur dalam Undang-Undang 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Namun, ia tetap bersyukur karena pemerintah telah menyelesaikan sengketa empat pulau yang sebelumnya memicu ketegangan antara Aceh dan Sumatera Utara (Sumut).

"Saya sebagai Wali Nanggroe Aceh mengucapkan Alhamdulillah, syukur Alhamdulillah di atas sudah selesainya masalah polemik empat pulau yang berlaku baru-baru ini dan dengan ini saya ucapkan terima kasih banyak kepada Pak Presiden, kepada petinggi-petinggi kita yang menyelesaikan masalahnya, termasuk juga Pak Mendagri," kata Malik.

Bendera Aceh

Aceh sendiri memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne yang menjadi salah satu poin, terutama dalam poin 1.1.5 Perjanjian Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005.

"Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne," bunyi poin 1.1.5 Perjanjian Helsinki.

Sebagai informasi, Perjanjian Helsinki merupakan bentuk kesepakatan perdamaian antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berkonflik sejak 1976.

Delegasi Indonesia dalam perundingan tersebut dihadiri oleh Hamid Awaluddin, Sofyan A. Djalil, Farid Husain, Usman Basyah, dan I Gusti Wesaka Pudja.

Adapun dari pihak GAM adalah Malik Mahmud, Zaini Abdullah, M Nur Djuli, Nurdin Abdul Rahman, dan Bachtiar Abdullah.

Usai Perjanjian Helsinki, tindak lanjut pemerintah adalah mengesahkan Undang-Undang 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Dalam Pasal 246 ayat (2) UU 11/2006 diatur, pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan.

"Bendera daerah Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh," bunyi Pasal 246 ayat (3) UU 11/2006.

Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh dijelaskan, bendera Aceh berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 dari panjang, dua buah garis lurus putih di bagian atas, dua buah garis lurus putih di bagian bawah, satu garis hitam di bagian atas, satu garis hitam di bagian bawah, dan di bagian tengah bergambar bulan bintang dengan warna dasar merah, putih dan hitam.

Makna Bendera Aceh sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 adalah sebagai berikut:

  • dasar warna merah, melambangkan jiwa keberanian dan kepahlawanan;
  • garis warna putih, melambangkan perjuangan suci;
  • garis warna hitam, melambangkan duka cita perjuangan rakyat Aceh;
  • Bulan sabit berwarna putih, melambangkan lindungan cahaya iman; dan
  • Bintang bersudut lima berwarna putih, melambangkan rukun Islam.

Tag:  #wali #nanggroe #harapan #sahnya #bendera #aceh #usai #temui

KOMENTAR