Tambang di Raja Ampat Harus Dihentikan Seluruhnya, Risikonya Mengerikan
Tambang nikel di Raja Ampat, Papua akan membawa kerugian yang mengerikan. (Shutterstock)
10:04
12 Juni 2025

Tambang di Raja Ampat Harus Dihentikan Seluruhnya, Risikonya Mengerikan

Pemerintah diingatkan untuk berpikir ulang soal kegiatan penambangan nikel di Raja Ampat, Papua mengingat masih ada satu perusahaan yang izin usaha penambangan (IUP) tidak dicabut, yakni PT GAG Nikel.

Pakar Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan seluruh kegiatan tambang di Raja Ampat harus dihentikan, karena risikonya mengerikan: merusak ekosistem yang sangat rentan dan tak bisa tergantikan.

"Di Raja Ampat itu ada fauna flora yang sangat spesifik, yang langka. Kalau misalnya mereka tercemar kemudian punah, itu enggak bisa dikembalikan dengan reklamasi apa pun," kata Fahmy kepada Suara.com Rabu (11/6/2025).

Menurut dia, reklamasi hanya bisa memulihkan kerusakan tanah, tetapi tidak mampu menghidupkan kembali ekosistem laut yang telah rusak.

Meski Fahmy mengakui bahwa sumber daya alam perlu dimanfaatkan secara bijak untuk pembangunan, ia menilai kawasan Raja Ampat harus menjadi pengecualian

"Kalau misalnya membiarkan kekayaan alam tidak dimanfaatkan, itu juga enggak benar, mubazir juga. Kan harus dilakukan eksplorasi dan eksploitasi tadi. Tapi untuk khusus di Raja Ampat menurut saya semua tambang di situ harus dilarang," tuturnya.

Pernyataan itu juga sekaligus merespons polemik izin tambang yang sempat diberikan di wilayah Raja Ampat. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebelumnya menyatakan tambang itu berjarak 40 kilometer dari zona ekowisata, sehungga dianggap aman. Namun Fahmy menilai argumen itu keliru.

"Kalau Pak Bahlil mengatakan jaraknya 40 km dari kawasan eko-pariwisata, itu pencemaran udara bisa sampai juga ke situ. Jadi misalnya setiap penggalian itu ada debu halus. Nah, debu itu di bawa angin bisa terbang sampai radius ratusan kilometer," jelasnya.

Ia menambahkan, pencemaran udara dan laut akibat pertambangan bukan hanya mengancam ekosistem, tetapi juga keberlanjutan pariwisata berbasis alam yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat lokal.

Utamakan Nilai Ekonomi Jangka Panjang

Senada dengan Fahmy, Konservasi Indonesia juga mewanti-wanti, nilai ekologis, ekonomi, dan sosial, yang telah dibangun oleh masyarakat adat di Raja Ampat sejak lama tidak dapat digantikan nilainya.

Senior Vice President and Executive Chair KI Meizani Irmadhiany mengatakan dunia sudah mengakui kelestarian kawasan Raja Ampat dengan pengukuhannya sebagai situs geopark UNESCO pada 2023. Dengan demikian setiap kebijakan yang menyangkut Raja Ampat seperlunya berpijak pada prinsip keberlanjutan dan perlindungan jangka panjang, bukan hanya kepentingan ekonomi sesaat.

Dalam pernyataan serupa, Senior Ocean Program Advisor KI, Victor Nikijuluw menyebut bahwa studi pada 2017 oleh Konservasi KI bersama Universitas Pattimura (Unpatti) dan Universitas Papua (Unipa) menunjukkan Raja Ampat mampu menampung hingga 21.000 wisatawan per tahun tanpa merusak lingkungan.

Dia mencontohkan secara sederhana jika satu wisatawan asing menghabiskan sekitar 1.000 dolar AS selama satu pekan kunjungannya di Raja Ampat untuk biaya sewa homestay, konsumsi, hingga transportasi, maka setiap 1.000 wisatawan akan berkontribusi sekitar 1 juta dolar AS ke ekonomi lokal.

Sejumlah warga Desa Manyaifun bersama aktivis Greenpeace Indonesia berpose untuk foto bersama dengan spanduk bertuliskan ‘Selamatkan Raja Ampat, Stop Nikel’ dan ‘Selamatkan Hutan Papua’, dengan Desa Manyaifun dan perbukitan Pulau Batang Pele di latar belakang. Pulau Batang Pele merupakan destinasi wisata yang juga masuk dalam kawasan hutan lindung dan menjadi bagian dari UNESCO Global Geopark. Saat ini, izin usaha pertambangan nikel tengah diajukan untuk pulau tersebut oleh PT Mulia Reymond Perkasa, yang mencakup wilayah konsesi seluas 2.193 hektare, yang meliputi Desa Manyaifun dan Pulau Batang Pele. (Dok: Alif R Nouddy Korua / Greenpeace)Sejumlah warga Desa Manyaifun bersama aktivis Greenpeace Indonesia berpose untuk foto bersama dengan spanduk bertuliskan ‘Selamatkan Raja Ampat, Stop Nikel’ dan ‘Selamatkan Hutan Papua’, dengan Desa Manyaifun dan perbukitan Pulau Batang Pele di latar belakang. Pulau Batang Pele merupakan destinasi wisata yang juga masuk dalam kawasan hutan lindung dan menjadi bagian dari UNESCO Global Geopark. Saat ini, izin usaha pertambangan nikel tengah diajukan untuk pulau tersebut oleh PT Mulia Reymond Perkasa, yang mencakup wilayah konsesi seluas 2.193 hektare, yang meliputi Desa Manyaifun dan Pulau Batang Pele. (Dok: Alif R Nouddy Korua / Greenpeace)

"Angka tersebut belum termasuk efek dari perputaran transaksi selama kunjungan turis tersebut. Kami mengestimasikan untuk trickle-down and multiplier effects sektor wisata Raja Ampat ini bisa mencapai 31,5 juta dolar AS, sehingga total value wisata keseluruhan sangat mungkin untuk mencapai 52,5 juta dolar AS," jelas Victor dilansir dari Antara.

"Aktivitas tambang tidak hanya dapat merusak lingkungan, tapi juga bisa membuat masyarakat dan pemerintah daerah kehilangan potensi besar yang dapat menopang ekonomi lokal hingga puluhan tahun ke depan," tambahnya.

Dia juga mengestimasikan kehancuran ekonomi jika ekosistem bawah laut Raja Ampat rusak akibat spillover sisa atau sampah serta dari hilir mudik transportasi pertambangan di perairan tersebut. Victor menilai fisheries externality yang merupakan dampak perikanan sangat bisa menjadi ancaman besar.

Dalam salah satu studi, pihaknya mendapati sebaran larva dispersal atau larva ikan yang bertelur di perairan dekat pertambangan dapat terbawa ke kawasan lain, yang kemudian mempengaruhi sebaran ikan di wilayah tersebut.

“Jika kerusakan ekosistem laut di perairan Raja Ampat terjadi, maka jumlah ikan tuna dan cakalang pun akan menurun di perairan Indonesia, khususnya di Laut Banda dan Teluk Tomini. Padahal ikan tuna dan cakalang yang melintasi Raja Ampat bermigrasi hingga ke Samudera Hindia, Samudera Pasifik. Artinya, efek pencemaran perairan Raja Ampat sangat dapat berdampak luas tidak hanya ke spesies di bawah laut, namun juga masyarakat di Gorontalo, Bitung, Ambon, hingga perairan Arafura, Maluku Tenggara,” beber Victor.

Tak berhenti sampai di situ, hal lain yang termasuk fisheries externality yakni terkait migrasi dari ikan-ikan yang disebut dengan spesies karismatik seperti jenis-jenis hiu, manta, hingga penyu.

Dari sekitar 30 jenis mamalia laut yang melintasi perairan Indonesia, 15 di antaranya melalui dan mendiami perairan Raja Ampat. Konservasi Indonesia meyakini spesies-spesies tersebut diprediksi tidak akan lagi menjadikan Raja Ampat sebagai rumah atau jalur migrasi mereka jika terjadi pencemaran.

Editor: Liberty Jemadu

Tag:  #tambang #raja #ampat #harus #dihentikan #seluruhnya #risikonya #mengerikan

KOMENTAR