Revisi UU Pemilu Dinilai Mendesak, Harus Selesai Sebelum 2026
ilustrasi pemilu(canva.com)
22:48
11 Juni 2025

Revisi UU Pemilu Dinilai Mendesak, Harus Selesai Sebelum 2026

Revisi Undang-Undang Pemilu dinilai mendesak dilakukan agar sistem demokrasi Indonesia lebih partisipatif dan adaptif terhadap perkembangan zaman, termasuk teknologi.

Hal ini mengemuka dalam diskusi Forum Populi bertajuk “Revisi UU Pemilu: Tata Kelola Demokrasi Partisipatif Berbasis Inovasi” yang digelar Populi Center pada Rabu (11/6/2025).

Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya menegaskan, pemerintah ingin memastikan proses revisi ini memiliki arah dan tujuan yang jelas.

“Kami ingin memastikan cara pandang pemerintah dalam mengidentifikasi isu-isu strategis tepat sasaran. Revisi ini bukan sekadar teknis, tapi harus punya fondasi kuat: memperkuat sistem presidensial, kualitas representasi, dan sesuai dengan otonomi daerah,” kata Bima secara daring.

Ia juga menyampaikan bahwa pemerintah memilih pendekatan kodifikasi atau penyusunan dan penggabungan berbagai peraturan perundang-undangan yang tersebar ke dalam satu undang-undang yang sistematis, terstruktur, dan terpadu, bukan omnibus law.

“Kita akan membuat Undang-Undang baru yang menyatukan berbagai aturan, dengan fokus sistematis pada isu-isu seperti keserentakan pemilu, sistem kepartaian, pendanaan politik, dan integrasi bangsa,” lanjutnya.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin sepakat bahwa revisi perlu didasari oleh tujuan yang kuat dan berorientasi pada kepentingan publik.

“Sebelum melakukan perubahan, penting untuk lebih dulu menetapkan apa tujuan dari perubahan tersebut? Tujuan kita sebenarnya bisa kita lihat dari pengalaman pemilu selama ini. Dari pengalaman itu kita bisa mengarah kepada aturan yang merawat demokrasi, menjaga suara publik, dan kita harus semakin menegaskan hal ini,” ujarnya.

Zulfikar juga menekankan pentingnya efektivitas partai di parlemen dibanding sekadar jumlah.

Atur penggunaan teknologi dalam pemilu

Dalam forum ini, Yose Rizal, Founder Pemilu AI, menyoroti pentingnya regulasi terhadap penggunaan teknologi dalam pemilu.

“Potensi AI ini besar, jutaan data bisa diolah dengan cepat. Strategi kampanye bisa disimulasikan dulu. Ancamannya memang ada, tapi jangan sampai kita justru hanya dapat ancamannya tapi tidak dapat manfaatnya,” ujarnya.

Sementara, Direktur Fasilitasi Pemantauan Riset dan Inovasi Daerah BRIN, Moch Nurhasim, menyatakan bahwa kodifikasi penting dilakukan untuk menyelaraskan Pilkada dan Pemilu.

“Jika tidak ada perubahan akan terjadi kepincangan norma, dan kodifikasi menjadi penting untuk menyelaraskan Pilkada dan Pemilu,” ujarnya.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Populi Center, Afrimadona, mengatakan bahwa selama ini pegiat teknologi dan kepemiluan berjalan terpisah.

“Suka tidak suka teknologi menyelesaikan masalah integritas. Demokrasi juga punya sisi negatif dan teknologi mungkin bisa menetralisir hal ini, teknologi ini bisa diaudit, walau dikatakan akan ada bias algoritma, namun hal ini tetap bisa dicek,” katanya.

Kejar sebelum 2026

Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, menegaskan bahwa pembahasan RUU Pemilu harus selesai sebelum 2026 agar bisa diterapkan dalam Pemilu 2029.

“Perlu dipikirkan bagaimana cara mendapat trust masyarakat dalam proses pemilu ini. Hal ini perlu dipersiapkan dengan maksimal termasuk dengan kerangka hukum, SDM, dan mempertimbangkan aspek politik dari pengembang teknologi ini,” jelasnya.

Sementara, Peneliti Senior Populi Center, Usep Saepul Ahyar, menambahkan bahwa pembenahan menyeluruh perlu dilakukan.

“Kultur, struktur, dan regulasi benar-benar harus diperbaiki, karena dari teknologi juga banyak isunya,” kata Usep.

Tag:  #revisi #pemilu #dinilai #mendesak #harus #selesai #sebelum #2026

KOMENTAR