



Tidak Ada Unsur Pidana, Aktivis Greenpeace yang Berorasi Save Raja Ampat Telah Dibebaskan
Empat orang aktivis Greenpeace dan pemudi asal Papua telah dibebaskan oleh pihak kepolisian usai membentangkan spanduk dan berorasi Save Raja Ampat.
Adapun aksi tersebut terjadi dalam agenda Indonesia Minerals Conference & Expo di sebuah hotel di Grogol Petamburan, Jakarta Barat, Selasa (3/6/2025) kemarin.
Kapolsek Grogol Petamburan, Kompol Reza Hafiz Gumilang, mengatakan keempatnya dilepaskan lantaran tidak ada unsur pidana atas aksi yang dilakukan oleh mereka.
"Tidak ada unsur pidana. Mereka sudah dilepaskan dari kemarin," ujar Reza, saat dihubungi awak media, Rabu (4/6/2025).
Reza mengklaim sejak awal pihaknya tidak melakukan penangkapan terhadap para aktivis Greenpeace. Penangkapan, dilakukan oleh pihak keamanan dari panitia.
Kemudian keempatnya digelandang ke Polsek Grogol Petamburan, lantaran dianggap mengganggu jalannya acara.
"Kemarin yang menangkap dari panitia, lalu dibawa ke Polsek Grogol Petamburan. Kami tidak melakukan penangkapan,” katanya.
“Kami mengamankan yang bersangkutan agar pelaksanaan agenda itu berjalan kembali dengan kondusif," katanya menambahkan.
Sebelumnya diberitakan, sejumlah aktivis Greenpeace dan Papua ditangkap saat menyuarakan Save Raja Ampat, dari tambang nikel di acara Indonesia Critical Mineral Expo, and Conference 2025, di Hotel Pullman, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, Selasa (3/6/2025).
Aksi ini viral usai diunggah di akun sosial media, salah satu yang mengunggahnya yakni Instagram @menanampadi***it.
Dalam tayangan video tersebut ada sekitar 4 orang aktivis yang diamankan petugas keamanan lantaran membentangkan spanduk.
Mereka membentangkan spanduk saat Wakil Menteri Luar Negeri, Arief Havas Oegroseno berpidato.
“Save Raja Ampat,” teriak salah seorang masa aksi sembari digelandang oleh petugas, Selasa.
Sementara itu, Juru Kampanye Hutan Greeenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, mengatakan aksi itu dilakukan oleh aktivis Greenpeace Indonesia bersama empat anak muda Papua dari Raja Ampat.
Mereka melakukan aksi guna menyuarakan dampak buruk pertambangan dan hilirisasi nikel yang membawa nestapa bagi lingkungan hidup dan masyarakat.
“Melalui aksi damai ini, Greenpeace ingin mengirim pesan kepada pemerintah Indonesia dan para pengusaha industri nikel yang meriung di acara tersebut, serta kepada publik, bahwa tambang dan hilirisasi nikel di berbagai daerah telah membawa derita bagi masyarakat terdampak,” jelas Iqbal.
Industri nikel juga dianggap merusak lingkungan dengan membabat hutan, mencemari sumber air, sungai, laut, hingga udara, dan jelas akan memperparah dampak krisis iklim karena masih menggunakan PLTU captive sebagai sumber energi dalam pemrosesannya.
“Saat pemerintah dan oligarki tambang membahas bagaimana mengembangkan industri nikel dalam konferensi ini, masyarakat dan bumi kita sudah membayar harga mahal,” jelasnya.
“Industrialisasi nikel yang makin masif seiring tren naiknya permintaan mobil listrik telah menghancurkan hutan, tanah, sungai, dan laut di berbagai daerah, mulai dari Morowali, Konawe Utara, Kabaena, Wawonii, Halmahera, hingga Obi. Kini tambang nikel juga mengancam Raja Ampat, Papua, tempat dengan keanekaragaman hayati yang amat kaya yang sering dijuluki sebagai surga terakhir di bumi,” tambahnya.
Berdasarkan catatan Greenpeace, pihaknya telah menemukan aktivitas pertambangan di sejumlah pulau di Raja Ampat.
Pertambangan tersebut di antaranya berada di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.
Menurut Iqbal, ketiga pulau itu termasuk kategori pulau-pulau kecil yang sebenarnya tak boleh ditambang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.
Menurut analisis Greenpeace, eksploitasi nikel di ketiga pulau itu telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami khas.
Sejumlah dokumentasi pun menunjukkan adanya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir–yang berpotensi merusak karang dan ekosistem perairan Raja Ampat–akibat pembabatan hutan dan pengerukan tanah.
“Selain Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, pulau kecil lain di Raja Ampat yang terancam tambang nikel ialah Pulau Batang Pele dan Manyaifun. Kedua pulau yang bersebelahan ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Piaynemo, gugusan bukit karst yang gambarnya terpacak di uang pecahan Rp100.000,” jelasnya.
Selama ini, kata Iqbal, Raja Ampat, yang sering disebut sebagai ‘surga terakhir di Bumi’, terkenal karena kekayaan keanekaragaman hayati baik di darat maupun di lautnya.
Perairan Raja Ampat merupakan rumah bagi 75 persen spesies coral dunia dan punya lebih dari 2.500 spesies ikan.
Daratan Raja Ampat memiliki 47 spesies mamalia dan 274 spesies burung.
UNESCO juga telah menetapkan kawasan Raja Ampat sebagai global geopark.
“Raja Ampat sedang dalam bahaya karena kehadiran tambang nikel di beberapa pulau, termasuk di kampung saya di Manyaifun dan Pulau Batang Pele. Tambang nikel mengancam kehidupan kami. Bukan cuma akan merusak laut yang selama ini menghidupi kami, tambang nikel juga mengubah kehidupan masyarakat yang sebelumnya harmonis menjadi berkonflik,” kata Ronisel Mambrasar, salah seorang anak muda Papua yang ikut dalam aksi.
Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan industrialisasi nikel yang telah memicu banyak masalah. Sesumbar tentang keuntungan hilirisasi, yang digaungkan sejak era pemerintahan Jokowi dan kini dilanjutkan Prabowo-Gibran, sudah seharusnya diakhiri.
Industrialisasi nikel terbukti menjadi ironi, bukannya mewujudkan transisi energi yang berkeadilan, tapi justru menghancurkan lingkungan hidup, merampas hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal, dan memperparah kerusakan.
“Bumi yang sudah menanggung beban krisis iklim,” tandasnya.
Tag: #tidak #unsur #pidana #aktivis #greenpeace #yang #berorasi #save #raja #ampat #telah #dibebaskan