Menyoal ''Tone'' Positif Penulisan Sejarah Pelanggaran HAM Berat
Aksi Kamisan yang digelar Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (30/6/2022). Aksi yang ke-733 ini juga untuk memeringati Hari Dukungan untuk Korban Penyiksaan Internasional yang diperingati setiap 26 Juni. Aksi Kamisan kosisten digelar untuk mendesak pemerintah menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM) 30-06-2022(KOMPAS/HERU SRI KUMORO%
11:14
4 Juni 2025

Menyoal ''Tone'' Positif Penulisan Sejarah Pelanggaran HAM Berat

BARU-baru ini, pemerintah Indonesia meluncurkan proyek penulisan ulang sejarah nasional dengan nada yang diklaim lebih positif, khususnya terkait pelanggaran HAM berat.

Langkah ini, meskipun tampak menjanjikan penyatuan bangsa dan penyegaran narasi sejarah, sesungguhnya menyimpan risiko serius: marginalisasi fakta-fakta kelam yang justru penting untuk dipahami demi mencegah pengulangan kesalahan sejarah.

Pendekatan “tone positif” dalam penulisan sejarah ini lebih mirip sebuah strategi retoris untuk menutupi kegagalan struktural dalam penegakan HAM dan akuntabilitas negara.

Dalam perspektif teori kritis, terutama sebagaimana dikembangkan oleh Theodor Adorno dan Max Horkheimer, sejarah yang “diwarnai” narasi dominan yang menghapuskan konflik dan ketidakadilan adalah bentuk “ideologi palsu” yang berfungsi mempertahankan status quo kekuasaan.

Sejarah semacam ini bukan hanya mengaburkan kebenaran, tetapi juga membungkam korban dan menyembunyikan relasi kuasa yang melahirkan pelanggaran HAM.

Dengan kata lain, “tone positif” dalam narasi sejarah berpotensi menjadi alat reproduksi dominasi politik yang mengorbankan keadilan dan kebenaran historis.

Pun, pendekatan ini bertentangan dengan prinsip dasar kajian sejarah kritis yang menuntut inklusivitas dan pluralitas perspektif.

Sebagaimana ditegaskan oleh Hayden White, sejarah tidak pernah netral—melainkan adalah konstruksi naratif yang dipilih berdasarkan kepentingan politik dan ideologis.

Maka, pemilihan untuk mengedepankan “tone positif” tanpa menampilkan seluruh aspek, khususnya pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, merupakan manipulasi naratif yang melemahkan kapasitas masyarakat untuk refleksi kritis dan pembelajaran dari masa lalu.

Sebagai konsekuensi praktis, penulisan sejarah yang menutup-nutupi atau meminimalisasi pelanggaran HAM dapat menghambat proses rekonsiliasi dan pemulihan keadilan yang sejati.

Ketiadaan pengakuan penuh terhadap kesalahan masa lalu sering kali menimbulkan luka kolektif yang terpendam dan potensi ketegangan sosial berulang di masa depan.

Sejarah harusnya menjadi ruang pengakuan, peringatan, dan pembelajaran—bukan sekadar alat pencitraan politik.

Sejatinya, dalam demokrasi yang sehat, penting bagi negara untuk mengedepankan narasi sejarah yang jujur dan kritis, meski pahit sekalipun.

Kebebasan berekspresi dan akses pada kebenaran sejarah adalah pilar utama penegakan hak asasi manusia dan pembangunan masyarakat yang berkeadilan.

Jika melihat sejarah di Indonesia, ada sejumlah peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diakui oleh negara, yang tidak boleh dikesampingkan dalam narasi sejarah nasional.

Antara lain, peristiwa 1965–1966 yang melibatkan pembantaian massal dan penindasan politik. Penembakan misterius atau Petrus pada 1982–1985 yang menimbulkan korban di luar proses hukum.

Tragedi Talangsari di Lampung pada 1989 yang masih menyisakan kontroversi mengenai tindakan aparat.

Selain itu, era reformasi pun tidak bebas dari luka sejarah: penghilangan paksa aktivis pada 1997–1998, tragedi Trisakti dan Semanggi I & II yang mengguncang legitimasi rezim Orde Baru di bawah ‘nakhoda’ Soeharto.

Lalu kerusuhan Mei 1998 yang menimbulkan jatuhnya korban sipil dan luka sosial yang mendalam.

Konflik di daerah-daerah seperti Aceh dan Papua—meliputi kasus Simpang KKA, Wasior, Wamena, dan Jambo Keupok—pun merupakan catatan kelam yang mencerminkan pelanggaran HAM sistemik.

Peristiwa pasca-referendum Timor Timur pada 1999 yang berujung pada kekerasan massal dan kontroversi dalam pengadilan HAM ad hoc memperkuat urgensi pengakuan penuh atas pelanggaran HAM sebagai bagian dari sejarah bangsa.

Selain peristiwa pelanggaran HAM berat yang diakui resmi, terdapat banyak kasus lain yang memenuhi kriteria serupa, tetapi belum mendapatkan pengakuan atau penanganan hukum yang memadai.

Penyederhanaan narasi sejarah dengan “tone positif” yang hanya menyoroti sebagian kecil peristiwa tersebut, tanpa mengakui atau mengangkat kasus-kasus serius lainnya, merupakan bentuk “seleksi” sejarah yang berbahaya.

Pendekatan ini tidak hanya merusak integritas sejarah, tetapi juga menghambat proses pemulihan hak dan keadilan yang sejati bagi seluruh korban pelanggaran HAM di Indonesia.

Rakyat berhak mengetahui dan belajar dari peristiwa masa lalu, termasuk fakta kelam yang dilakukan oleh negara atas dalih keamanan, stabilitas, atau pembangunan.

Pengingkaran atau penyembunyian kebenaran tersebut justru mengikis kemanusiaan dan hak-hak fundamental warga negara.

Dengan pengakuan yang jujur terhadap sejarah kelam, masyarakat dapat merawat kemanusiaan, menghindari pengulangan pelanggaran serupa, dan membangun masa depan yang lebih adil dan beradab.

Sejarah yang terbuka dan penuh integritas menjadi fondasi penting untuk memupuk kesadaran kolektif, memajukan hak asasi manusia, dan menjaga martabat bangsa.

Pun, negara sebagai duty bearer dalam hak asasi manusia memikul tanggung jawab untuk tidak hanya mengakui, tetapi juga menyelesaikan tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM, terutama pelanggaran berat yang terjadi pada masa lalu.

Penyelesaian ini tidak dapat sekadar dimaknai sebagai formalitas administratif atau retorika politik semata; melainkan harus diwujudkan dalam bentuk penegakan hukum yang nyata, transparan, dan akuntabel yang mampu memberikan keadilan substantif bagi para korban dan keluarganya.

Kegagalan negara dalam memenuhi kewajiban ini akan memperpanjang penderitaan korban, sekaligus merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara dan sistem hukum nasional.

Pengabaian terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat merupakan bentuk pembiaran struktural yang justru berpotensi mereproduksi siklus kekerasan dan pelanggaran pada masa depan.

Negara yang gagal berani menghadapi masa lalunya sendiri dan menuntaskan tanggung jawab hukum atas pelanggaran HAM, secara implisit membiarkan ruang bagi impunitas yang melemahkan supremasi hukum dan menodai nilai-nilai demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi.

Dalam hal ini, penyelesaian pelanggaran HAM berat bukan hanya soal menuntaskan sejarah kelam, tetapi juga soal membangun fondasi keadilan yang kokoh untuk masa depan bangsa.

Sebagai pembelajaran berharga, negara harus menjadikan penanganan pelanggaran HAM masa lalu sebagai instrumen reformasi struktural—menyempurnakan regulasi, memperkuat lembaga penegak hukum, dan mengedukasi publik agar kesadaran hak asasi manusia menjadi budaya yang melekat dalam setiap lini kehidupan bernegara.

Dengan demikian, narasi sejarah yang jujur dan menyeluruh, serta penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang sungguh-sungguh, akan menjadi pijakan kuat dalam mencegah pengulangan kesalahan yang sama, sekaligus mewujudkan cita-cita demokrasi yang berkeadilan dan menghormati martabat kemanusiaan.

Namun, tampaknya dalam realitas kontemporer, menghadirkan sejarah dengan segala kepahitannya dianggap sebagai hal yang “terlalu berat” untuk ditanggung oleh bangsa yang tengah berusaha ‘melangkah maju’.

Mungkin sudah saatnya kita bertanya, apakah benar memutihkan sejarah adalah cara terbaik untuk ‘menyatukan’ bangsa, atau justru strategi ampuh untuk menutupi luka lama sambil menari di atasnya dengan musik nada positif?

Sebab, sejarah yang disulap menjadi dongeng indah tanpa cela, pada akhirnya hanyalah cermin retak yang memantulkan bayangan palsu—dan siapa yang rela hidup dalam bayangan semu, ketika kebenaran yang pahit justru bisa membebaskan?

Tag:  #menyoal #tone #positif #penulisan #sejarah #pelanggaran #berat

KOMENTAR