Seseorang dari Dalam Baliho dan Pak Tua
ILUSTRASI. (BUDIONO/JAWA POS)
18:48
6 Oktober 2024

Seseorang dari Dalam Baliho dan Pak Tua

I

Diterpa angin malam musim bediding,

seseorang tiba-tiba melompat

keluar dari dalam baliho.

Begitu sol pantofelnya beradu trotoar,

ia diam mematung sejenak.

Sepasang matanya melirik kanan-kiri.

Desir angin dan garukan daun-daun kering

di atas jalanan aspal yang lengang.

Lampu jalanan memancar sekuat tenaga.

Seorang penjual kopi tua, di seberang, terlelap

berbantal tangan di meja warungnya.

Ia merapikan jas dan meluruskan dasinya yang agak miring.

Setelah memperbaiki letak pecinya, ia menyeberang.

 

 


Duduk di bangku panjang,

ia memperhatikan penjual kopi tua

yang mendengkur lembut.

Mbah . . . Mbah . . .

Ia menepuk-nepuk lembut

lengan penjual kopi tua.

Penjual kopi tua itu menggeliat dan tergeragap.

Berulang-ulang Pak Tua itu menatap

bergantian, antara laki-laki berpeci di hadapannya dan

baliho kosong melompong di seberang jalan.

Ko . . . pi, suaranya tandas tegas,

mau menyadarkan orang tua yang kebingungan.

 

 


Saat Pak Tua meletakkan

secangkir kopi di depannya,

ia sodorkan lengan sambil membimbing

tangan Pak Tua itu menekan-nekannya.

Daging dan tulang, katanya sambil tersenyum.

Pak Tua mengangguk-angguk, tapi

sepasang matanya masih jeri-ngimpi.

 


Betul, saya orang di dalam baliho itu.

Kenapa saya berdiam di dalam baliho?

Pak Tua menggelengkan kepala.

Saya ingin mendengarkan suara rakyat,

langsung dari jalanan, tanpa calo.

Keluhan tentang harga beras sampai

sulitnya lowongan kerja;

keluhan tentang harga bensin sampai

berengseknya para pejabat negara.

Pak Tua mengangguk-angguk.

 


Laki-laki berwajah ramah itu menyeruput kopi.

Dingin, Pak Tua itu berupaya ramah.

Mengusir rasa jeri-ngimpinya yang keras kepala.

Masih panas, laki-laki berpeci itu menanggapi.

Hawanya dingin.

O . . . aku kira kopi.

 


Di dalam baliho tidak ada panas atau dingin.

Tidak ada terang atau gelap.

Tidak terdengar suara-suara.

Tidak terdengar suara-suara? Selidik Pak Tua.

Tidak. Aku juga tak punya suara

dan tak bisa melihat apa-apa.

Bacalah tulisan besar di baliho itu:

’’Suara Rakyat, Suara Tuhan”.

Pak Tua melihat ke arah baliho sekilasan

Apakah kamu pernah dengar suara Tuhan, Pak Tua?

Pernah melihat Tuhan?

Laki-laki berpeci itu terkekeh.

Lalu menghilang, kembali ke dalam baliho.

 


Pak Tua terkesiap sebentar,

lalu menyeberang jalan.

Berdiri ia di depan baliho,

Tolong jangan bilang-bilang

Anda pernah ngopi di warungku.

Ia merasa tetap harus mengatakannya,

meskipun tahu, orang di dalam baliho itu bisu, buta, dan tuli.

Lampu jalanan memancar sekuat tenaga.

---

II

Pagi berikutnya, agak siang,

warung Pak Tua dipagar

orang-orang berbadan tegap.

Dan dikepung para wartawan.

 


Suara sirene pengawalan meraung mendekat.

 


Mobil hitam panjang berhenti di depan warung,

seseorang keluar sambil tersenyum lebar

Kilatan lampu bertubi-tubi

Pak Tua duduk diam

 


Apa kabar? kata orang yang keluar dari mobil

Pak Tua diam saja

Saya mau bayar kopi yang kemarin, kata orang itu lagi

Pak Tua menunjuk ke arah baliho di seberang

Orang yang keluar dari mobil,

orang berpeci itu, mengangguk.

Saya Presiden. Mau bayar kopi kemarin

Pak Tua menunjuk telinganya sendiri

 


Orang berpeci menengok

ke lelaki tegap di sampingnya

Lalu mengarahkan telunjuknya ke meja warung

Sekoper uang diperlihatkan kepada Pak Tua

 


Kilatan lampu kamera wartawan bertubi

 


Pak Tua mengemasi seluruh perabot warungnya.

Menggantungkan lembaran kardus

di tiang bambu penyangga atap warung.

Lembaran kardus bertulisan: TUTUP

 


Lalu ia ngeloyor pergi,

meninggalkan presiden, para pengawalnya, para wartawan.

Meninggalkan sekoper uang di meja warung.

Selembar kertas bergaris juga di atas meja warung,

bertulisan: AKU TAK MENDENGARMU

 


Agustus 2024

---

DWI PRANOTO, Esais, penyair, dan penerjemah

Editor: Ilham Safutra

Tag:  #seseorang #dari #dalam #baliho

KOMENTAR