Penyintas Perdagangan Orang di Indonesia Menuntut Keadilan
PENYINTAS PERDAGANGAN ORANG - Rokaya berdiri di depan rumahnya di Indramayu, Jawa Barat. Kesulitan yang dialami Rokaya bukanlah hal asing bagi 544 pekerja migran Indonesia yang didampingi IOM antara tahun 2019 dan 2022 bersama Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). 
19:09
14 Februari 2025

Penyintas Perdagangan Orang di Indonesia Menuntut Keadilan

Setelah jatuh sakit dan terpaksa meninggalkan pekerjaannya sebagai asisten rumah tangga di Malaysia, Rokaya membutuhkan waktu untuk memulihkan diri di kampung halamannya, Indramayu, Jawa Barat. Namun, tekanan dari agen yang menagih biaya penempatan sebesar 2 juta rupiah membuatnya menerima tawaran pekerjaan di Erbil, Irak.

Di sana, ia harus mengurus kompleks keluarga yang luas, bekerja tanpa henti dari pukul 6 pagi hingga lewat tengah malam, tujuh hari dalam seminggu. Kelelahan yang terus menumpuk memperparah sakit kepala dan gangguan penglihatannya, masalah yang sebelumnya memaksanya pulang dari Malaysia. Namun, alih-alih mendapatkan perawatan, keluarga majikannya menolak membawanya ke dokter dan bahkan menyita telepon genggamnya. "Saya tidak diberi hari libur. Saya hampir tidak punya waktu untuk istirahat," katanya. "Rasanya seperti di penjara."

Kesulitan yang dialami Rokaya bukanlah kasus yang asing. Antara tahun 2019 dan 2022, sebanyak 544 pekerja migran Indonesia yang didampingi IOM bersama Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menghadapi berbagai bentuk kekerasan, baik fisik, psikologis, maupun pelecehan seksual saat bekerja di luar negeri.

Situasi ini terjadi meskipun Jakarta telah menerapkan moratorium sejak 2015 terhadap pengiriman tenaga kerja ke 21 negara di Timur Tengah dan Afrika Utara. Keputusan tersebut diambil setelah Arab Saudi mengeksekusi dua asisten rumah tangga asal Indonesia.

Untuk meminimalkan dampak perdagangan manusia, IOM bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia dalam memperkuat regulasi terkait migrasi tenaga kerja. Selain itu, IOM juga melatih penegak hukum agar lebih responsif terhadap kasus perdagangan orang serta bermitra dengan organisasi seperti SBMI guna melindungi pekerja migran dari eksploitasi, termasuk memulangkan mereka jika diperlukan.

“Kasus-kasus seperti yang dialami Ibu Rokaya menekankan perlunya pendekatan yang berpusat ada korban dan penguatan sistem perlindungan untuk mencegah pekerja migran menjadi korban perdagangan orang,” ujar Jeffrey Labovitz, Kepala Perwakilan IOM di Indonesia.

Setelah video yang direkam secara sembunyi-sembunyi tentang Rokaya menjadi viral dan sampai ke SBMI, pemerintah turun tangan untuk membebaskannya. Namun, dia mengatakan bahwa agensinya secara ilegal mengambil biaya tiket psaeat pulang-pergi dari gajinya dan - dengan tangan di lehernya - memaksanya untuk menandatangani sebuah dokumen yang membebaskan mereka dari tanggung jawab. Dia sekarang tahu: “Kita harus benar-benar berhati-hati dengan informasi yang diberikan kepada kita, karena jika kita melewatkan detail-detail penting, kita akan membayarnya.”

Rokaya merasa lega bisa kembali ke rumah, tambahnya, namun tidak memiliki jalan lain untuk  mendapatkan kembali uang yang telah diperas darinya.

Ini adalah situasi yang terlalu umum, kata ketua SBMI, Hariyono Surwano, karena para korban seringkali enggan untuk berbagi rincian pengalaman mereka di luar negeri: "Mereka takut dianggap gagal karena pergi ke luar negeri untuk memperbaiki kondisi keuangan mereka, namun kembali dengan masalah keuangan."

Lambatnya penuntutan kasus perdagangan orang tidak hanya disebabkan oleh rasa malu yang dirasakan para korban. Ketidakjelasan hukum serta berbagai hambatan yang dihadapi aparat dalam menangani kasus-kasus ini juga menjadi faktor utama. Lebih buruk lagi, korban kerap disalahkan oleh pihak berwenang atas situasi yang mereka alami.

Menurut data SBMI, sekitar 3.335 warga Indonesia menjadi korban perdagangan orang di Timur Tengah antara 2015 hingga pertengahan 2023. Meskipun sebagian besar telah dipulangkan, hanya 2 persen yang berhasil mendapatkan akses keadilan.

Pada tahun 2021, Bank Indonesia mencatat sekitar 3,3 juta warga Indonesia bekerja di luar negeri, sementara BP2MI memperkirakan ada lebih dari 5 juta pekerja migran tidak berdokumen di luar negeri. Mayoritas dari mereka bekerja di sektor pekerjaan berkeahlian rendah dengan upah rata-rata enam kali lebih tinggi dibandingkan di dalam negeri. Menurut Bank Dunia, sekitar 70% pekerja migran yang kembali ke Indonesia menganggap pengalaman bekerja di luar negeri sebagai sesuatu yang positif dan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka.

Namun, bagi mereka yang terjebak dalam perdagangan manusia, kenyataannya jauh berbeda. Di kantor pusat SBMI di Jakarta, seorang nelayan bernama Saenudin dari Kepulauan Seribu menceritakan bagaimana ia menandatangani kontrak kerja di kapal penangkap ikan asing pada 2011 dengan harapan dapat memperbaiki kehidupan keluarganya. Namun, di tengah laut, ia dipaksa bekerja hingga 20 jam sehari, mengangkut jaring dan membagi hasil tangkapan. Dari 24 bulan kerja yang melelahkan, ia hanya menerima upah untuk tiga bulan pertama.

Pada bulan Desember 2013, pihak berwenang Afrika Selatan menahan kapal tersebut di lepas pantai Cape Town, di mana kapal tersebut melakukan penangkapan ikan secara ilegal, dan menahan Saenudin selama tiga bulan sebelum IOM dan Kementerian Luar Negeri membantu memulangkan dia dan 73 pelaut Indonesia lainnya.

Selama sembilan tahun, Saenudin telah berjuang untuk mendapatkan kembali 21 bulan gajinya yang belum dibayar, sebuah perjuangan hukum yang memaksanya untuk menjual semua yang ia miliki kecuali rumahnya. "Perjuangan ini memisahkan saya dari keluarga," katanya.

Survei IOM terhadap lebih dari 200 calon nelayan Indonesia memberikan wawasan berharga bagi pemerintah dalam memperbaiki proses perekrutan, menekan biaya terkait, meningkatkan pelatihan pra-keberangkatan, serta memperkuat manajemen migrasi.

Sebagai bagian dari upaya memberantas perdagangan orang, pada tahun 2022, IOM melatih 89 hakim, praktisi hukum, dan paralegal dalam menangani kasus perdagangan manusia. Pelatihan ini menekankan pendekatan yang lebih peka terhadap korban, khususnya anak-anak dan perempuan. Selain itu, IOM juga membekali 162 anggota gugus tugas anti-perdagangan orang di Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Utara dengan keterampilan yang lebih baik dalam menangani dan mencegah eksploitasi terhadap pekerja migran.

Bagi Saenudin, perbaikan dalam penanganan kasus tidak bisa dilakukan dengan cepat. Namun, tekad sang nelayan tidak menunjukkan kegoyahan. "Saya akan terus memperjuangkannya, meski butuh waktu lama," katanya.

Artikel ini merupakan hasil kerja sama United Nations Indonesia dengan Tribunnews. Untuk informasi lengkap, kunjungi laman resmi UN Indonesia.

Editor: Content Writer

Tag:  #penyintas #perdagangan #orang #indonesia #menuntut #keadilan

KOMENTAR