Dualitas Karakter Gibran dalam Debat Pilpres
Cawapres nomor urut 1 Muhaimin Iskandar (tengah) menyampaikan pandangannya saat Debat Keempat Pilpres 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Minggu (21/1/2024). Debat Keempat Pilpres 2024 mengangkat tema terkait pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa. (ANTARA FOTO//M Risyal Hidayat/tom.)
06:46
23 Januari 2024

Dualitas Karakter Gibran dalam Debat Pilpres

SESI debat calon wakil presiden (cawapres) 2024 selesai sudah, karena oleh KPU hanya dijatah dua kali.

Debat terakhir cawapres, Minggu, 21 Januari 2024, tentu menghadirkan berbagai penilaian, bahkan terus didiskusikan. Cawapres yang paling menyita perhatian tentu adalah Gibran Rakabuming Raka.

Ini antara lain karena publik masih minim referensi soal kemampuannya dalam debat, juga seperti ingin mendapat validasi atau konfirmasi soal kapasitas dan konsistensinya dengan debat sebelumnya.

Tak seperti Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD, Gibran memang tak punya rekam jejak yang memadai soal debat dan diskusi. Di platform digital, misalnya, sulit ditemukan konten debat atau diskusi dari Gibran.

Gibran yang pada debat pertama cawapres, atau debat kedua pilpres tampil cukup apik, menuai pujian, meski dengan sejumlah trik yang boleh dibilang unfairness, karena mengajukan pertanyaan yang cenderung menjebak lawan debat.

Bila pada debat pertama cawapres, Gibran mendapat sentimen positif, mungkin karena tampil melebihi ekspektasi atau menjawab keraguan, tapi dalam debat kedua ini justru menurunkan derajat dari debat pilpres.

Tentu saja, debat pilpres yang merupakan agenda resmi kenegaraan yang akan menjadi arsip negara, justru dijejali dengan sikap yang jauh dari kriteria calon pemimpin pemerintahan negara-bangsa.

Apa yang ditampilkan di bawah standar dialog dan diskusi yang kerap kali ditunjukan oleh para founding fathers, yang sekalipun tajam dan panas, mereka tak akan mengolok-olok lawan debat.

Ada sejumlah catatan, yang perlu diketengahkan terkait performance Gibran di panggung debat terakhir. Ini bukan karena sentimen, tapi lebih sebagai bentuk evaluasi atau pembelajaran dari perspektif komunikasi.

Pertama, melanggar aturan debat. Gibran terlihat melanggar aturan debat, dengan maju ke depan podium seperti dalam debat cawapres pertama.

Gibran juga menggunakan istilah baru yang belum familiar, atau singkatan dalam bahasa asing ketika mengajukan pertanyaan kepada lawan debat.

Konteks pelanggaran ini kemudian, mengonfirmasi bahwa tidak saja di atas panggung debat, namun juga saat mengisi sejumlah agenda kampanye.

Misalnya, soal pelanggaran karena bagi-bagi susu di era car free day di Jakarta, maupun terkait pertemuan dengan sejumlah kepala desa atau raja di Maluku.

Tanpa bermaksud menjustifikasi, namun seringnya seseorang melanggar peraturan, dalam psikologi, sesungguhnya dapat menunjukkan atau setidaknya memberikan konfirmasi kemungkinan adanya gejala gangguan perilaku atau gangguan kepribadian.

Hal semacam itu juga yang sering pula dikaitkan dengan adanya kecenderungan ketidakpatuhan terhadap norma sosial dan hukum yang berlaku.

Kedua, terlihat munculnya dua karakter atau kepribadian yang berbeda dan kontradiktif dalam penampilan Gibran di panggung debat cawapres.

Hal itu setidaknya dapat disaksikan dari sikap dan gestur Gibran yang kerap membungkuk dan bersedekap, terlihat santun pada lawan debatnya, namun dalam debat, hal itu justru tak terefleksikan.

Dalam konteks perdebatan atau diskusi, seseorang yang cenderung menampilkan dua sisi karakter dalam dirinya tersebut, disebut pula sebagai "dualitas karakter" atau "kontradiksi karakter."

Satu sisi ingin menunjukan atau memperlihatkan sikap yang hormat, sabar, dan respek dalam satu bagian debat, namun berubah menjadi agresif dalam bagian lainnya. Adalah dualitas karakter dalam perdebatan.

Beberapa kali Gibran yang mau terlihat santun itu, justru menyerang dengan kurang terukur, seperti jurus yang sudah disiapkan di luar arena, sekalipun kurang relevan tetap saja digunakan sekalipun tak tepat.

Dualitas karakter dalam perdebatan yang ditujukan Gibran, tentu saja meninggalkan dampak buruk.

Selain sentimen negatif yang mengemuka, juga bakal hilangnya kredibilitas, membuat orang lain sulit percaya, apakah yang ditampilkan dalam debat itu otentik atau sekadar polesan untuk showing.

Dualitas karakter yang ditunjukan oleh Gibran juga memengaruhi atau bertolak belakang dengan adab berdiskusi atau debat, karena inkonsistensi karakter.

Padahal adab berdiskusi atau debat sangat penting untuk menciptakan dialog yang bermakna dan kemampuan menghormati pendapat orang lain.

Etika melibatkan mendengarkan dengan penuh perhatian, menghormati perbedaan pendapat, dan menghindari sikap merendahkan lawan debat.

Etika berdiskusi penting karena menciptakan suasana yang mendukung pertukaran ide yang sehat. Ada penghormatan terhadap pendapat orang lain, sehingga dapat dibangun pemahaman yang lebih baik, bukan sekadar mau menang-menangan.

Apalagi di panggung debat pilpres yang tentu saja mendapat perhatian luas khalayak, etika berdiskusi tentu dapat membantu mempertahankan norma-norma sosial yang positif dalam komunikasi.

Etika tidak saja soal verbal, tapi juga meliputi aspek non-verbal seperti bahasa tubuh, ekspresi wajah, intonasi suara, dan gestur juga sangat penting.

Sehingga gestur Gibran yang terkesan mengolok-olok lawan debat terutama terhadap Mahfud MD yang merupakan profesor atau guru besar, tentu saja menuai sentimen yang kontraproduktif atau negatif.

Ketiga, strategi argumen ad hominem. Adalah dengan menyerang pribadi seseorang atau lawan debat dengan mengabaikan substansi pendapat dari pihak lawan debat tersebut.

Serangan yang dilakukan justru mengarah pada karakter pribadi dari lawan debat itu sendiri. Yang diserang bukan argumennya, melainkan orang yang mengemukakan argumen tersebut.

Hal yang tentu saja dapat mengganggu jalannya diskusi dan menghambat pertukaran ide yang lebih substantif dan bermakna antara peserta debat.

Istilah "ad hominem" berasal dari bahasa Latin dan dapat diterjemahkan sebagai "ke arah manusia." Istilah ini digunakan untuk merujuk pada jenis argumen di mana penyerangan atau kritik pribadi terhadap individu digunakan sebagai upaya untuk membantah argumen yang diajukan oleh orang tersebut.

Ad hominem tidak membahas substansi argumen, melainkan mencoba menghancurkan karakter atau integritas individu yang menyampaikan argumen tersebut. Ini cara menghindari substansi debat.

Istilah "ad hominem" telah ada sejak zaman dahulu. Filosof Romawi kuno seperti Cicero dan Quintilian, yang hidup pada abad ke-1 SM dan abad ke-1 M, merujuk pada konsep ini.

Orang yang menggunakan ad hominem biasanya cenderung melibatkan diri dalam argumen yang kurang substansial atau kurang mampu membantah argumen lawan secara langsung. Trik menutup kekurangan.

Strategi ini dipraktikan Gibran, misalnya, ketika menyerang dengan mengatakan Muhaimin
lucu, karena bertanya soal lingkungan, tapi menggunakan botol plastik di arena debat. Sementara Gibran mengklaim kalau ia menggunakan tumbler.

Trik ini sebenarnya terlihat kurang relevan dan menyesuaikan dengan situasi. Sebab semua pasangan kandidat yang masuk arena debat tak terlihat membawa botol minuman masing-masing.

Dari layar televisi juga tak terlihat ada botol minuman. Atau sekalipun ada minuman di atas meja, itu biasanya disiapkan oleh penyelenggara debat, sehingga tak ada kaitannya dengan komitmen soal lingkungan.

Dalam debat sebelumya pun Gibran tak terlihat membawa tumbler. Jadi mempersoalkan botol minuman plastik hanya gimik atau trik jatuhkan lawan debat. Seolah merupakan skenario untuk memojokan yang telah dipersiapkan, semacam agenda setting.

Strategi ad hominem dan sikap yang boleh dikata kurang santun dan juga ditunjukan dalam fragmen ketika Gibran bertanya kepala Mahfud bagaimana caranya mengatasi Greenflation?

Moderator sempat mengingatkan agar terminologi baru, apalagi dengan bahasa asing atau singkatan untuk dijelaskan lebih lanjut oleh penanya.

Gibran dengan agak ‘pongah’ mengatakan, “Ini tadi tidak saya jelaskan karena kan beliau kan seorang profesor, greenflation ini adalah inflasi hijau”. Seolah ingin mengecilkan kapasitas pemahaman Mahfud.

Tidak berhenti sampai disitu, setelah Mahfud menjelaskan pandangan atau perspektif-nya, Gibran menimpali lagi dengan sikap dan gestur yang boleh dikata kurang elok dalam debat cawapres.

“Saya lagi cari jawabannya Prof. Mahfud, Saya nyari-nyari di mana jawabannya, kok gak ketemu jawabannya, Saya tanya inflasi hijau kok malah menjelaskan ekonomi hijau”, sebutnya kepada Mahfud.

Bahkan lebih fatal lagi, Gibran yang seolah ingin memberikan penjelasan, nyatanya tak menjelaskan apa itu Greenflation yang ia ajukan ke Mahfud.

“Yang namanya Greenflation atau inflasi hijau itu ya kita kasih contoh yang simple aja, demo rompi kuning di Perancis bahaya sekali sudah memakan korban. Nah ini harus kita antisipasi jangan sampai terjadi di Indonesia, kita belajar dari negara maju," kata Gibran.

Sesuatu yang juga tak menjelaskan konteks Greenflation yang ia kemukakan sendiri. Kemungkinan diksi yang diutarakan itu hanya untuk memperlihatkan kalau ia paham hal-hal baru, tapi yang dipahami pun kelihatannya sebatas di permukaan saja.

Berikutnya saat Gibran menyebut Muhaimin telah mendapatkan atau diberikan contekan dari Tom Lembong, "Co Captain" Timnas Amin yang sejatinya juga bekas Menteri Investasi Joko Widodo.

Gibran juga menggunakan singkatan LFP atau “lithium ferro phosphate”, yang katanya sering digunakan oleh Tom Lembong dalam berbagai kesempatan, sehingga kemudian Gibran meminta Muhaimin menjelaskannya.

Semua itu menjadi semacam strategi atau trik untuk menyerang lawan debat. Gibran terkesan sengaja menggiring perdebatan sehingga teralihkan dari argumen yang lebih substansial ke hal-hal yang justru menunjukan inkonsistensi perilaku.

Keempat, memosisikan diri laksana Jokowi, atau merepresentasikan pemerintah sekarang. Beberapa kali dalam menyampaikan pendapat, Gibran seolah ingin menjadi perpanjang tangan pemerintah Jokowi.

Seperti mengatakan kalau pihaknya sudah membangun pabrik pupuk di Fakfak, Papua untuk menggenjot atau meningkatkan produktivitas petani.

“Kuncinya di sini adalah ekstensifikasi lahan kemarin tahun lalu kita sudah bangun pabrik pupuk di Fakfak kuncinya untuk meningkatakan produktivitas kita harus mengenjot kawasan industri pupuk kita dekatkan pupuknya dengan lahan-lahan pertaniannya," ujar Gibran dalam debat malam itu.

Kata ‘kita’ seolah Gibran yang telah hal melakukan itu, padahal posisinya hanya cawapres, dan tidak etis kemudian mengklaim apa pun yang sudah dilakukan oleh pemerintah sekarang sebagai hasil kinerjanya.

Termasuk saat Gibran mengaku telah ada panen singkong dan jagung di food estate Gunung Mas Kalimantan Tengah, yang kemudian belakangan itu diketahui juga tidak valid informasinya.

"Saya tegaskan sekali lagi, pak. Memang ada yang gagal, tapi ada yang berhasil juga, yang sudah panen, misalnya, di Gunung Mas, Kalteng itu sudah panen jagung, singkong, itu pak. Cek saja nanti intinya, cek saja datanya," jelas Gibran.

Klaim yang disampaikan oleh Gibran bak juru bicara pemerintah, ternyata berbeda dengan fakta yang ditemukan organisasi lingkungan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah (Kalteng).

Walhi Kalteng, memang menemukan jagung yang tumbuh di food estate Gunung Mas, tapi merupakan tanaman yang menggunakan medium polybag.

Pastinya, semua itu yang tersaji dalam debat, maupun diskursus pascadebat membuat Gibran menjadi sorotan, meski sentimennya cenderung negatif.

Penampilan Gibran malam itu menunjukan kalau para mentor debat yang melatihnya cukup lihai dalam mengarahkannya dan untuk berstrategi.

Namun sayang, semua itu baru sebatas untuk memenangkan debat. Belum untuk mampu memenangkan hati pemirsa atau penonton, yang banyak di antaranya tentu saja akan turut mempertimbangkan aspek adab dan kesantunan.

Pastinya ini adalah pelajaran berharga, bahwa adab itu jauh lebih penting dan utama, bahkan dibanding ilmu.

 

Tag:  #dualitas #karakter #gibran #dalam #debat #pilpres

KOMENTAR